Harapan Jemaat Tentang Pendeta….. Sebuah Opini

Silakan dibagi
Oleh Pdt. (em) Joko Sudomo
Pdt. (Em) Joko Sudomo saat ini tinggal di Desa Sri Menanti, Sri Bhawono bersama dengan istrinya. Terlahir dari keluarga muslim. Mengenal kekristenan dan belajar agama Kristen semenjak remaja ketika sekolah di Surakarta. Dilahirkan dan dibesarkan dalam kultur dan nilai-nilai Jawa yang sangat kental. Pdt. (Em) Joko Sudomo bukan hanya paham unggah-ungguh Jawa, melainkan juga sangat menguasai budaya Jawa. Pdt. (Em) Joko Sudomo memiliki ketrampilan menggubah lagu macapat, menyanyikan dan mendalang dengan wayang kulit. Pada waktu masih aktif sebagai pendeta, Pdt. (Em) Joko Sudomo sering mendalang.

Tulisan ini dihasilkan dari pengalaman subyektifnya, Pdt. (Em) Joko Sudomo. Melalui tulisannya hendak memberikan sumbangan yang konstruktif. Tentu saja akan ada pihak-pihak yang tidak sepaham dengan pemikiran Pdt. (Em) Joko Sudomo, tetapi jika pemikiran ini bisa memancing berkembangnya sebuah diskusi, sebagian tujuan sudah bisa dicapai, yakni semakin banyak orang yang peduli dengan persoalan kependetaan di GKSBS.
POKOK PIKIRAN
Jabatan pendeta – sampai saat ini – masih merupakan titik sentral dalam kepemimpinan jemaat. Oleh karena itu jemaat memiliki pandangan atau citra tertentu mengenai pendeta. Bahkan sebenarnya bukan hanya jemaat, masyarakat umumnya juga memiliki pandangan atau citra tertentu terhadap pendeta atau ulama pada umumnya.
Masyarakat Indonesia sejak awal sudah mengenal “jabatan” pendeta yang berakar pada budaya Hindu dan Budha. Disamping pendeta Hindu atau Budha, masyarakat Indonesia juga mengenai kiyai dalam budaya Islam dan pastor dalam budaya Katolik. Kekayaan budaya ini pasti menjadi referensi bagi jemaat Kristen dalam memahami jabatan pendeta di gereja.
Masyarakat Indonesia pada umumnya memahami bahwa pendeta adalah manusia pinilih (pilihan). Proses untuk menjadi pendeta, pastor, kiyai, biksu melewati jalan panjang dan tidak mudah. Untuk menjadi manusia pinilih ini tidaklah cukup bermodalkan kecakapan intelektual saja. Proses-proses yang yang harus ditempuh oleh seorang pinilih inilah yang membuat pendeta, pastor, kiyai, biksu ditempatkan dalam strata sosial yang unik dan terhormat.
Di kalangan gereja-gereja protestan, termasuk GKSBS, juga memberlakukan proses tertentu dalam mempersiapkan seorang pendeta. Dalam rangka menyempurnakan proses dan mekanisme yang sudah ada, penulis ingin memberikan sumbangan gagasan. Menurut penulis, untuk menghasilkan seorang pendeta yang memiliki kesadaran akan keberadaan dan kemampuan yang diperlukan, proses pemendetaan seorang pendeta di GKSBS harus memperhatikan tahapan-tahapan yang akan penulis sampaikan berikut.
  • Penilaian Calon Mahasiswa Teologia
Bagi warga gereja yang ingin masuk ke pendidikan teologi harus mengajukan permohonan kepada Majelis Jemaat untuk mendapatkan persetujuan dan rekomendasi.
Dalam rangka menanggapi permohonan rekomendasi tersebut, Majelis Jemaat wajib melakukan percakapan dengan pemohon. Percakapan dimaksud harus meliputi bidang:
    • Minat pemohon – untuk mengetahui seberapa besar minat pemohon terhadap pendidikan teologia dan pelayanan gereja.
    • Tingkat pendidikan formal – untuk mengetahui tingkat pengetahuan umum pemohon.
    • Tingkat pengetahuan Alkitab – untuk mengetahui seberapa luas pengetahuan pemohon terhadap Alkitab.
    • Sikap pemohon terhadap pokok ajaran gereja – untuk mengetahui seberapa paham pemohon terhadap pokok ajaran gereja.
    • Budi pekerti – untuk mengetahui tampilan budi pekerti, sikap sosial pemohon.
    • Keterlibatan dalam jemaat – untuk mengetahui seberapa dalam/intens keterlibatan pemohon terhadap kehidupan berjemaat.
Sebelum melakukan pembicaraan, Majelis Jemaat harus telah menentukan standar penilaian kelayakan yang jelas dan terukur. Apabila dari hasil pembicaraan didapatkan bahwa pemohon telah memenuhi standar, maka Majelis Jemaat memberikan rekomendasi yang diperlukan bagi pemohon untuk mendaftarkan ke perguruan teologia yang dikehendaki.
  • Penilaian Ulang Mahasiswa Yang Telah Lulus
Majelis Jemaat harus mengadakan pertemuan pastoral dengan warganya yang telah menyelesaikan pendidikan teologia. Pembicaraan pastoral dimaksudkan untuk mengetahui tingkat perkembangan kepribadian dan pengetahuan teologianya. Disamping melakukan pertemuan pastoral, Majelis Jemaat juga perlu memberikan kesempatan kepada warganya yang telah menyelesaikan studi teologianya dalam pelayanan jemaat, khususnya dalam pelayanan kotbah dan katekisasi.
Jika tamatan perguruan teologia tersebut telah menunjukkan kemampuannya dalam pelayanan dan kepemimpinan, Majelis Jemaat dapat memberitahukan kepada klasis atau persekutuan yang lebih luas. Tujuan pemberitahuan kepada klasis atau persekutuan yang lebih luas adalah agar keberadaannya dapat diketahui oleh jemaat yang sedang membutuhkan dan dapat dipanggil sebagai Guru Injil atau Pembantu Pendeta.
  • Penilaian Calon Guru Injil/Pembantu Pendeta

Bagi jemaat yang jumlah warga dan kelompok pelayanannya banyak, pendeta yang melayani sangat membutuhkan seorang atau beberapa orang Guru Injil atau Pembantu Pendeta. Kebutuhan akan Guru Injil atau Pembantu Pendeta ini terlebih dirasakan oleh jemaat yang belum memiliki pendeta.

Proses dan syarat pemanggilan Guru Injil atau Pembantu Pendeta harus memperhatikan unsur-unsur sebagai berikut:
    • Spiritualitas. Calon Guru Injil atau Pembantu Pendeta harus memiliki kepribadian yang jelas dan ketekunan/kecintaannya dalam pelayanan.
    • Sosial budaya. Calon Guru Injil atau Pembantu Pendeta harus memiliki perilaku, tutur kata dan sikap yang dapat diterima oleh jemaat secara umum.
    • Kesetiaan dalam tugas atau ketaatan pada tugas.
    • Kesehat jasmani dan rohani.
Sepanjang pelaksanaan tugasnya, Guru Injil atau Pembantu Pendeta harus selalu dimonitor oleh Majelis Jemaat. Oleh karena itu Majelis Jemaat perlu menetapkan mekanisme monitoringnya. Urgensi monitoring ini adalah agar perkembangan kecakapan dan pertumbuhan pribadi serta kapasitas lainnya dapat diketahui. Untuk sampai tahapan pemendetaan paling tidak dibutuhkan waktu 3 sampai dengan tidak terbatas. Minimal 3 tahun.
Sebenarnya target utama atau pokok bagi seorang lulusan perguruan teologia bukanlah jabatan pendeta, melainkan pelayanan atau dapat melayani. Maka yang penting bukan hanya soal hasil, melainkan sikap yang sungguh dan suka-cita dalam pelayanan tidak kalah penting. Untuk mencapai tingkat yang ideal bagi seorang pendeta sangat dipengaruhi oleh seberapa sungguh seorang calon pendeta dalam menghayati pelayanan dan pengembangan dirinya. Seorang calon pendeta harus selalu berusaha mengembangkan diri.
  • Pemanggilan Pendeta
Tidak ada jemaat yang tidak merindukan adanya seorang pendeta. Namun jemaat selalu berhati-hati dalam memilih seorang pendeta. Biasanya criteria seorang pendeta yang di-idam-idamkan oleh jemaat meliputi:
    • Calon pendeta itu harus telah pernah menjadi Guru Injil atau Pembantu Pendeta. Dan tentu saja telah lulus perguruan teologia yang baik.
    • Bisa juga calon pendeta tersebut bukan lulusan perguruan teologia, tetapi memiliki karunia yang menonjol.
    • Atau pendeta jemaat yang sudah melayani di suatu jemaat selama dua atau tiga tahun.
Untuk bisa mendapatkan jabatan pendeta, seorang calon pendeta biasanya melewati ujian peremptoir. Ujian peremptoir sebaiknya melaibatkan pihak klasis dan Sinode sebagai tim penguji.
Refleksi
Apa yang penulis tuangkan diatas merupakan gagasan yang sangat diwarnai oleh pengalaman penulis yang menjadi pendeta dalam kultur Gereja Kristen Jawa (GKJ) di masa lalu. Tentu saja jaman sudah berkembang sedemikian rupa. Ada banyak perubahan-perubahan yang telah terjadi dalam jemaat dan institusi gereja. Tetapi kita bisa belajar dari sisi-sisi positif proses pemendetaan tersebut.
  • Pertama, proses pemendetaan sebagaimana yang penulis sampaikan di atas memungkinkan calon pendeta memiliki kesempatan yang panjang dalam mengenali gereja dan mengaplikasikan ilmunya sebelum menjadi pendeta.
  • Kedua, dengan proses yang relative panjang bisa menolong calon pendeta untuk bisa mengenali dirinya sendiri (jati dirinya) sebagai pribadi yang utuh. Pengalaman menunjukkan bahwa kematangan calon pendeta justru dibentuk pada saat menjadi Pembantu Pendeta.
  • Ketiga, dengan proses yang relative panjang akan menolong calon pendeta semakin dapat merasakan (bukan menganggap) karunia-karunia yang dianugerahkan Tuhan untuk pelayanan.
Tentu perlu dikembangkan juga cara-cara penyiapan calon pendeta yang relevan dengan perkembangan jaman. Tetapi pengalaman masa lalu memperlihatkan bahwa proses penyiapan pendeta yang tidak gampangan memang menghasilkan pendeta-pendeta dan pelayan-pelayan yang tangguh.

3 thoughts on “Harapan Jemaat Tentang Pendeta….. Sebuah Opini

  1. sebuah pemikiran yang sangat menarik hasil dari sebuah pengalaman dan pergumulan yang panjang tentang tugas pendeta di tengah arus tantangan jaman yang semakin membutuhkan peran konkret gereja.
    Sudah waktunya GKSBS berani melakukan evaluasi terhadap para pendetanya. Sudah waktunya juga para pendeta dengan rendah hati berani merefleksikan seluruh kiprah pelayanannya di tengah jemaat dan masyarakat.

  2. sip..tapi juga perlu gksbs renungkan bahwa pendeta juga seorang pekerja yang perlu diberikan evaluasi sehingga menjadikan pendeta bukan seorang pemimpin yang kebablasan(ada suatu batas) dan kebanyakan pendeta banyak yang tidak tahu dimana mereka harus berposisi didalam Alkitab. Nabikah..Imamkah .. Atau Rasul dstnya. dan semoga jangan malah menjadi raja.Mohon ini diperjelas posisinya didalam Alkitab.

  3. Saya turut prihatin dengan kekurangan pendeta yang ada di gksbs dan dalam lima tahun ke depan banyak pendeta yang emiritasi. Namun semuanya biarlah berlalu. Mengapa ada steatmen demikian?
    Gksbs khususnya sinode seharusnya tidak membatasi dalam perekrutan calon Pdt. Dan tidak terjadi kekurangan Pdt. Jika sinode masih membatasi dengan sekolah teologia yang hanya di dukung persetia, All hasil gksbs dalam lima tahun ke depan akan mengalami devisit Pdt. Semoga tulisan ini dalam membuat refleksi untuk kita semua.

Comments are closed.