TEOLOGI LITURGI

Liturgi (sama dengan ibadah atau sembah kepada Allah) mengacu  pada teologi (pemahaman dan penghayatan) akan Allah yang dihayati oleh suatu gereja. Kritis terhadap liturgi adalah kritis terhadap teologi yang dianut. Pada gilirannya kontekstualisasi liturgi adalah kontekstualisasi terhadap teologi dan kehidupan bergereja. Struktur (bangunan) teologi yang diyakini, akan membentuk  bangunan liturgi.

Liturgi merupakan bagian yang penting dalam persekutuan (koinonia) umat. Persekutuan -–sebagai salah satu dari tritugas gereja– tidak dapat dipisahkan dari dua aspek lain tritugas gereja, yakni pelayanan (diakonia) dan kesaksian (marturia). Dalam liturgi kasih Allah dirayakan (di-selebrasi-kan), baik dalam persekutuan (koinonia) maupun dalam aksi pelayanan (diakonia). Keduanya menyaksikan (marturia) kasih Allah pada dunia.

Dalam liturgi (dalam perayaan keselamatan), gereja merayakan perngenangan akan jati dirinya dalam sejarah. Dalam liturgi, gereja dapat mundur ke belakang, dihubungkan dengan masa lampau. Dalam liturgi, gereja ikut duduk bersama  di antara murid pada malam Perjamuan terakhir, menerima perintah, merasakan solideritas kasih Allah, merasakan ancaman penderitaan yang akan dijalani Yesus di kayu salib. Dengan liturgi, masa lalu yang aktif kembali tersebut mendorong gereja untuk bertindak sekarang dan menuju ke masa depan.

Kontekstualisasi liturgi adalah suatu usaha bagaimana “perayaan-peringatan” keselamatan tersebut dialami dan aktual di sini dan kini sebagai keselamatan dan rekonsiliasi (pendamaian) antara manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan manusia. Bagaimana ini dipahami.

1. Allah

Allah adalah kasih yang dalam kebebasanNya mau berbagi atau solider dengan manusia (dunia) yang menderita. Manusia menjadi “mengerti” akan sifat dan jati diri Allah tatkala menyadari akan keterhubungan solidaritas tersebut. Dan gambaran yang paling lengkap untuk menjelaskan keterhubungan solidaritas ini adalah salib dan penderitan. Dalam penderitaan salib, Allah benar-benar solider akan malapetaka dan derita manusia.

2. Manusia

Calvin melihat bahwa manusia demikian gelap dan hancur dalam kodratnya. “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.” (Roma 3:10-18). Situasi manusia seperti ini adalah situasi manusia yang disalibkan. Sebuah keberadaan manusia di mana kemanusiaan tidak dapat dilaksanakan. Tidak ada daya untuk menyelamatkan diri. Manusia hanya dapat berseru “Ya, Bapa, ke dalam tanganMu kuserahkan nyawaku” (Lukas 23:46). Maka solidaritas dan kasih sayang Allah adalah kunci dari semua.

3. Liturgi

Dalam dan melalui Roh Kudus, karya penyelematan dan keterhubungan solideritas Allah terus berlanjut dalam dunia milikNya. Gereja sebagai Tubuh Kristus menjadi tanda akan pemeliharaan dan solidaritas Allah yang senantiasa diperbaharui.

  1. Liturgi adalah tindakan bersama Yesus Kristus (Imam Tertinggi, Kepala Gereja) dengan gerejaNya untuk keselamatan umat manusia dan pemulian Bapa di Sorga. Dalam liturgi, Kristus menyatakan kasihNya kepada gerejaNya sebagai tubuhNya. Dalam liturgi, gereja merealisasikan dirinya sebagai gereja Kristus.
  2. Tindakan liturgi adalah tindakan yang komunikatif antara gereja dan Kepala gereja. Gereja pada dirinya tidak dapat memberikan keselamatan kepada dunia. Keselamatan hanya pada Allah semata. Gereja ada tidak untuk dirinya, namun mengabdi pada Kristus. Dalam tindakan liturgis karya Allah diingat dan dirayakan. Kata-kata yang mengandung praksis (aksi dan refleksi) gereja dulu dan kini dikomunikasikan. Akhirnya, liturgi menjadi tindakan yang sarat dengan makna, menjadi tindakan yang komunikatif untuk segala zaman. Liturgi adalah tindakan perayaan-pengenangan (selebrasi anamnesis) yang komunikatif.