Wawasan Theologia : Misi Konvivial

Theo Sundermeier, seorang profesor missiologi dari Universitas Heidelberg menegaskan bahwa gereja tidak memerlukan strategi misi untuk mengabarkan Injil Yesus, karena yang diperlukan adalah hermeuneutik interkultural. Gereja tidak perlu mendemonstrasikan identitas. Ia menyebut tujuan misi sebagai misi yang konvival. Istiilah konvival berasal dari kata “convivialidad” yang memiliki makna seperti masyarakat basis dimana setiap orang adalah subyek yang belajar satu sama lain. Tidak ada guru dan murid, karen guru justru harus merendahkan diri bersama dengan murid/masyarakat (vorbehaltoser convivencia). Masing-masing belajar dari pengalaman lain dalam suasana bebas dan menciptakan banyak kemungkinan baru. Konviven juga dianalogikan seperti sebuah perayaan/pesta setiap individu seperti kehilangan sekat-sekat diri. Mereka tertawa dan bercakap-cakap bebas masuk dalam arus dinamis bersama yang lain. Pesta bukanlah sebuah ritus. Setiap orang mendapatkan ruang untuk melakukan improvisasi dan menciptakan sesuatu yang baru bersama komunitas.

Konviven membutuhkan proses melampaui sekedar TOLERANSI. Toleransi diperlukan pada awal perjumpaan dalam rangka membuka diri. Tetapi toleran BUKANLAH TUJUAN. Misi konvival dicapai dengan melalui sebuah proses panjang hermeneutik interkultural. Hermeneutik adalah proses pemahaman. Artinya berita Injil disadari sebagai berita yang harus diinterpretasikan dalam perjumpaan intelkultural.

Gereja tidak perlu menjadi sesuatu yang menyilaukan, melainkan cukup menjadi salah satu cahaya kecil yang mengawali dan mengembangkan misi bersama yang lain. Gereja mewartakan pengalaman bersama Yesus ke dalam bentuk-bentuk praksis bersama dengan mengundang keterlibatan orang lain sebagai subyek misi.

Artikel ini diambil dari “WARA DUTA” media informasi Fak. Teologi UKDW. Ditulis oleh Pdt.Dr.Djoko Prasetyo

Silakan dibagi