Report I

Saat ini saya berada di Davao, Filipina setelah sebelumnya transit satu hari di Singapura untuk melakukan briefing pra kursus. Saya dan Erik Timoteus Purba dari Lampung mendapatkan beasiswa dari Cristian Reform World Relief Commite (CRWRC) guna mengikuti kursus Peace Building Annual Training yang diselenggarakan oleh Mindanao Peacebuilding Institute sejak tahun 2000.

Mindanao Peacebuilding Institute sendiri adalah organisasi yang concern terhadap konflik dan pembangunan perdamaian dan memeiliki banyak pengalaman penyelesaian konflik baik di Filipina maupun Negara-negara Asia lainnya. Kursus tahunan ini diberikan untuk para pelaku perdamaian di seluruh dunia dan diselenggarakan selama 3 minggu. Disana kami akan bertemu dengan orang-orang di seluruh dunia untuk mendiskusikan berbagai persoalan konflik dan upaya-upaya pembangunan perdamaian.Tak hanya diikuti oleh aktifis LSM, kursus ini juga diikuti oleh kalangan akademisi, peneliti dari Amerika Serikat seperti dari George Madison University dan juga unsur pemerintah Filipina yang memili desk khusus untuk penyelesaian konflik dan pembangunan perdamaian.

Dalam kursus ini kami tidak hanya akan mendalami hal-hal teoritik terkait konflik dan perdamaian tapi dibagian akhir juga peserta akan mendapatkan kesempatan untuk melakukan exposure di wilayah-wilayah konflik di Filipina seperti Mindanao dan berbagai daerah lainnya. Seperti kita ketahui ilipina adalah salah satu negara Asia tenggara yang memiliki banyak pengalaman konflik yang berkepanjangan. Dalam kesempatan ini saya akan mempresentasikan tentang konflik di masyarakat Moro-Moro Register 45 di Lampung dan prospek pembangunan perdamaian.

Hal yang menarik di Davao adalah larangan merokok di ruang public, hal ini diatur dalam regulasi khusus pemerintah daerah Davao.Kami dari Indonesia yang notabene perokok tentunya mengalami kesulitan ketika harus merokok. Untuk dapat merokok kami harus mencari pohon , daerah sepi dan juga ruang khusus perokok yang jumlahnya terbatas. Menariknya adalah disiplin penduduk Davao untung mengingatkan aturan ini, beberapa kali kami diingatkan tentang larangan merokok ini oleh orang yang berbeda-beda.Meskipun mereka juga memahami bahwa kami adalah pendatang yang tidak mengetahui adanya peraturan ini. Ketaatan terhadap peraturan dan komitmen masyarakat untuk menjalankan aturan tersebut adalah komponen penting bagi berlakunya regulasi. Ini adalah kombinasi antara sistem hukum dan budaya hukum yang coba dibangun secara terus menerus.

Sebagai contoh Brokenshire Resort and Cottage tempat kami menginap sama sekali tidak menyediakan asbak dan juga korek api baik dikamar maupun di Lobi layaknya layanan di hotel atau tempat-tempat penginapan lainnya. Mereka dengan sabar berusaha menjelaskan bahwa ini adalah bentuk komitmen mereka untuk mentaati aturan dan juga upaya mewujudkan Davao bebas rokok. Disetiap lantai dan bahkan di kamar dipasang aturan tersebut, Do Not Smoke by Law begitu pengumuman tersebut dipasang lengkap dengan tanda larangan merokok. Meskipun hal tersebut mereka akui juga akan sulit karena merokok sebenarnya sudah menjadi bagian dari Tradisi masyarakat Filipina, khususnya di Davao.Dalam nperjalanan dari Bandara menuju resort saya mencoba menawarkan rokok kepada supr taksi yang mengantar kami dan dengan sopan dia menjawab, saya perokok, tapi maaf kami tidak merokok di jalan terlebih sambil menyetir. Jawaban tersebut sontan membuat saya malu dan ketika saya perhatikan di sepanjang jalan memang tidak ada orang merokok dengan bebas.

Marco teman sekamar saya yang bekerja dikantor pemerintahan Filipina mengakui bahwa pemerintah Davao cukup ketat dalam menjalankan aturan ini. Hal itu saya buktikan di Bandara Davao ketika mereka membuk atas dan menghitung jumlah rokok yang saya bawa, saya membawa satu slop rokok berjumlah 160 batang, Saya beruntung , karena jika ketauan membawa rokok lebih dari 200 batang maka imigrasi akan mengambil rokok tersebut hingga batas maksimal yang diperbolehkan dibawa oleh turis yakni 200 batang.

Silakan dibagi