Report II

Filipina adalah Negara yang cukup serius menangani konflik, semua potensi dikerahkan untuk membangun perdamaian di Filipina. Selain mengirimkan petugas desk khusus penanganan konflik, pemerintah Filipina juga ternyata mengirimkan pihak militernya untuk mengikuti kursus ini sejak tahun 2005.

Dalam kelas yang saya ikuti memang terdapat banyak orang Filipina dari berbagai profesi, mulai dari guru, aktifis NGO, sekretaris hingga tentara. Saya adalah satu-satunya orang Indonesia dalam kelas tersebut, sisanya berasal dari Timor Leste dan seorang peneliti dari Amerika bernama haris.
Mitch seorang guru TK di Filipina menceritakan pengalamnnya mengajarkan nilai-nilai perdamaian kepada anak-anak Filipina sejak usia dini. Mitch percaya bahwa penanaman nilai sejak usia dini akan membawa pengaruh yang besar saat mereka dewasa dan berhadapan dengan banyak masalah. Murid Mitch ternyata tidak hanya anak-anak Kristen tapi juga muslim. Saya terkejut ketika dia mengucapkan Assalamaualaikum, ketuka mengetahui saya seorang muslim.

Cerita menarik disampaikan oleh Gani , seorang tentara Filipina yang ditugaskan untuk mengikuti kursus ini. Sejak tahun 2005 , Militer Filipina selalu menjadi peserta dalam kursus ini. Militer Filipina kini mengembangkan strategi non kekerasan untuk menangani berbagai konflik di Filipinan. Gani menceritakan tentang beberapak konflik di Filipina seperti dengan pemberontakan Moro Islamic Liberation Front (MILF), Abu Sayaf dan juga pemberontakan New People Army (tentara Rakyat Baru). Tentara Filipina mencoba mengadopsi operasi non militer dengan mengirimkan tentarananya ke 2000 municipal atau desa di Filipina. Mereka melakukan pemberdayaan di desa untuk mengurangi resiko operasi militer. Gani mengakui memang sulit untuk mengubah doktrin militer, tapi Militer Filipina mencoba menerima pendekatan non kekerasan dalam strategi penanganan konflik yang dikembangkan oleh berbagai kelompok sipil di Filipina. Gani menjelaskan bahwa mungkin tidak ada tentara yang bersedia maju ke medan perang untuk membunuh saudaranya sendiri, tapi kondisi ternyata berkata lain.

Di kelas yang diikuti Erik juga terdapat seorang Kolonel yang menjadi peserta, Kolonenl Kabangbang adalah juru bicara militer di Mindanao Timur. Dia menjelaskan perang selama 42 tahun melawan NPA dan MILF adalah perang yang sangat melelahkan. Filipina menghabiskan banyak biaya, tenaga dan juga korban akibat konflik yang berkepanjangan tersebut. Sebagai militer dirinya hanya menjalankan tugas, tapi para tentara berharap akan segera ada kesepakatan politik antara pihak-pihak yang bertikai di Filipina.Karenanya militer Filipina mencoba untuk menggunakan pendekatan lain dalam penyelesaian konflik yang berkepanjangan tersebut. Kabangbang menyadari bahwa konflik inilah yang menyebabkan pembangunan di Filipina menjadi terhambat, dia membandingkan kondisi Filipina dengan Negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia dan juga Indonesia yang menurutnya lebih maju.

Hal menarik lainnya adalah peran masyarakat sipil di Filipina dalam mendukung proses perdamaian juga cukup besar. Dalam Kursus ini para mahasiswa dari Brokenshire College yang berada satu lokasi dengan tempat kami menginap juga dikerahkan untuk menjadi panitia untuk membantu para peserta. Selain membantu kursus mereka juga terlibat dalam berbagai aktifitas perdamaian di kampusnya. Juga dokter-dokter dari Brokenshire Hospital menjadi tenaga medis bagi para peserta yang mengalami gangguan kesehatan. Say abaru mengetahui bahwa ketiga tempat ini berada dalam satu wadah pengelolaan yakni United Christian Church in Pilipina (UCCP)¸hasil dari pengelolaan resort, kolam renang dan gedung pertemuan diberikan untuk pengelolaan Brokenshire Hospital dan beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu di Brokenshire College.

Silakan dibagi