Niat Itu Ibarat Benih Kesadaran

“Untuk apa kesadaran kehadiran Allah itu bagi manusia? Agar manusia menghargai hidupnya sendiri, entah sehat atau sakit, entah hidup atau mati. Kesediaan menghargai hidup ini yang memungkinkan manusia bisa menjalani hidup ini selalu penuh harapan”

Pada umumnya orang menghayati agama sebagai kewajiban. Karena sebagai kewajiban maka agama dirasakan sebagai beban. Taat kepada Tuhan dipahami sebagai kewajiban agar manusia mendapatkan imbalan sorga atau berkat baik lainnya dalam hidup saat ini. Ibadah hari Minggu, memberikan persembahan, menghadiri PA dan ibadah lainnya dipahami sebagai kewajiban atau sebagai beban yang harus dilakukan.

Karena dipahami sebagai kewajiban, maka orang akan merasa bersalah jika tidak melakukannya, dan merasa berjasa jika telah berhasil melakukannya. Maka kesanggupan melakukan kewajiban agama menggoda orang menjadi sombong, sementara ketidaksanggupan melakukan kewajiban agama menyebabkan orang merasa tidak layak. 

Yesus Membawa Kesadaran Baru : Agama Sebagai Jalan Pembebasan

Pemahaman bahwa agama sebagai sekumpulan kewajiban dan larangan juga berkembang di kalangan agama Yahudi di jaman Tuhan Yesus.
Agama Yahudi yang berkembang di jaman Tuhan Yesus dimengerti oleh masyarakat sebagai sekumpulan kewajiban dan larangan. Akibatnya yang menjadi pusat agama adalah kumpulan kewajiban atau larangan – yang secara umum disebut sebagai Taurat. Menurut Tuhan Yesus, agama yang seperti itu tidak sesuai dengan keberadaan hakiki sebagai agama. Tuhan Yesus melawan praktek keagamaan yang seperti itu. Cara Tuhan Yesus melawan bukan dengan cara menolak pemberlakukan hukum dan kewajiban-kewajiban itu, melainkan dengan cara menempatkan manusia dalam pusat agama. Kata-kata Tuhan Yesus yang paling terkenal dalam hal ini adalah: “Hari Sabat diadakan untuk manusia, dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Mark 2: 27). “Di tangan Yesus” agama benar-benar berpihak kepada manusia, melayani manusia. Bukan sebaliknya.

Injil Yohanes menyatakan: “Karena begitu besar kasih Allah kepada dunia ini, sehingga Ia telah menyerahkan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3: 16). Pernyataan ini tentu saja menegaskan bahwa bagi Allah, manusia (dunia) ini sangat penting, sangat berharga, sehingga Allah rela “mengorbankan” ke-allahanNya. Maka, mestinya, agama menjadi lembaga yang memungkinkan manusia mengalami cinta dan anugerah Allah. Melalui agama, manusia bisa mengalami (perjumpaan dengan) Allah. Kehadiran Yesus ke dunia sebenarnya juga dalam rangka manusia bisa mengalami (kehadiran) Allah. Kehadiran Yesus ke dunia sebenarnya untuk menegaskan bahwa Allah adalah Allah yang hadir dalam kehidupan nyata manusia, ketika sakit dan sehat, ketika hidup dan mati, ketika suka dan duka hadir secara nyata.

Untuk apa kesadaran kehadiran Allah itu bagi manusia? Agar manusia menghargai hidupnya sendiri, entah sehat atau sakit, entah hidup atau mati. Kesediaan menghargai hidup ini yang memungkinkan manusia bisa menjalani hidup ini selalu penuh harapan.

Di tengah-tengah kesadaran/ketidaksadaran bahwa agama merupakan sekumpulan kewajiban, Tuhan Yesus memperkenalkan “agama” yang mewartakan “dosamu sudah diampuni”. Dimana-mana Tuhan Yesus memberitakan pengampunan dosa. Tujuan Tuhan Yesus hanya satu, yakni agar manusia menjadi semakin manusiawi dan dengan demikian hidup ini mungkin untuk dijalani.

Bagaimana agar manusia terbebas dari kekuasaan dosa atau mengalami penebusan? Tuhan Yesus tidak tertarik mendiskusikan soal dari mana asalnya dosa. Yang penting bagi Tuhan Yesus bukan soal dari mana dosa itu, melainkan bagaimana manusia bisa membebaskan diri dari kuasa dosa. (Bnd. Yoh 9: 1-7). Dan bagi Tuhan Yesus jalan menuju pembebasan itu sederhana saja, yakni memahami, menyadari, meyakini, mengimani bahwa Allah adalah Allah yang mengampuni. Allah adalah “dunia pengampunan”. Allah adalah “dunia anugerah tak terhingga”. Maka mengucap syukurlah dalam segala hal. Bagaimana jalannya?

Cintailah Allah, karena Allah adalah Allah yang mungkin untuk dicintai. Cintailah dirimu dan sesamamu, karena sesamamu dan dirimu adalah kenyataan yang mungkin dan layak untuk dicintai, bukan untuk dihukum.

Tuhan Yesus memperkenalkan cinta sebagai jalan dan sebagai tujuan. Maka Tuhan Yesus mengajarkan bahwa cinta itu harus tanpa pamrih. Sebab disamping sebagai cara (jalan), cinta adalah juga tujuan. Jadi, tidak perlu ada pamrih. Pamrih hanya akan semakin membebani dan penghambat pencapaian tujuan. Dan secara keseluruhan, Tuhan Yesus memperkenalkan Allah adalah Kasih. Maka kasih atau cinta adalah jalan dan sekaligus tujuan. Sabda Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes 14: 6 dapat dipahami dengan ‘… Kasihlah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Kasih, kalau tidak melalui kasih’

……………………. Baca lebih lengkap dengan Mendownload Artikel ini