Oleh Pdt. Sri Yuliana, M.Th
“Bila saya menghemat makanan yang saya makan atau pakaian yang saya pakai atau ruangan yang saya tempati, itu jelas sekali bahwa penghematan itu dapat dipakai oleh orang lain yang mempunyai keperluan yang lebih besar dari saya. Karena sifat keakuanku menghalangi orang lain memakai barang-barang ini, kenikmatan jasmaniku tersangkut pada kekejaman terhadap tetanggaku yang lebih miskin” (tulisan ini terinspirasi dari tulisan M.K Gandhi)
Ungkapan ini kiranya masih relevan untuk meneropongi persoalan kemiskinan yang dihadapi rakyat Indonesia lapisan bawah. Secara tersamar, ungkapan ini mengkritik keserakahan sebagai “kejahatan” yang merusak nilai komunalitas dan di lain pihak mendesak pentingnya nilai solidaritas sebagai jiwa persekutuan hidup bersama dalam masyarakat.
Usaha memahami orang miskin dan kemiskinan tidak bisa hanya mendasarkan diri pada pandangan stereotype atas etos kerja yang menganggap bahwa orang miskin itu malas dan tidak hemat. Sebagaimana disampaikan oleh bapak Prof. Dr. Loekman Soetrisno, bahwa ketidakberuntungan orang miskin haruslah diletakkan dalam konteks yang lebih luas: model pembangunan yang dianut, ketidakadilan social yang mengendap dalam system-struktur, dan berbagai kebijakkan sosio-ekonomi-politik yang tidak menguntungkan bagi si lemah dan miskin.Ada berbagai pandangan mengenai apa itu kemiskinan dan siapa orang miskin. Dan masing-masing memiliki tolok ukur dan kreteria yang berbeda untuk melihat kemiskinan dan orang miskin. Namun hal itu bukan bagian yang perlu saya jabarkan dalam tulisan ini. Focus utama dalam pembahasan mengenai perempuan dan kemiskinan dimana perempuan sebagai bagian dari komunitas kaum miskin juga merupakan pelaku sekaligus korban dari ketidakadilan konsep pembangunan, serta kelompok yang ikut berperan dalam menjaga keselarasan dan kelangsungan kehidupan generasi kita selanjutnya. Maka, jika kita melihat suatu komunitas sebagai kelompok orang miskin yang tinggal di pemukiman miskin, dan “dimiskinkan” oleh system-struktur yang ada, maka kita tidak bisa memisahkan kaum perempuan sebagai kelompok yang patut dan mendesak untuk mendapat pendidikan dan pemberdayaan. Ketika kaum perempuan dapat memberdayakan dirinya dan komunitasnya, maka masyarakat akan terbantu untuk mengentaskan dirinya dari kemiskinan itu sendiri.
Peran perempuan , khususnya kaum ibu, adalah sebagai health provider (“penjaga kesehatan”) untuk anak-anak dan keluarganya. Selain itu tidak jarang banyak kaum perempuan (misalnya perempuan pedesaan) harus mengemban peran ganda: sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah di luar rumah. Meskipun demikian, profil perempuan hingga kini, toh masih dibawah dominasi laki-laki. Pembagian kerja, pemberian upah, dan perlakuan yang tidak adil sering menimpa mereka karena mereka berjenis kelamin perempuan. Situasi subordinatif ini bahkan mendapat legitimasi teologis (meskipun sebenarnya berasal dari factor sosiologis) bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dalam kultur Jawa pun kita menjumpai budaya patriaki yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking yang harus setia, dan mengabdi pada guru laki (suami). Lalu bagaimana kita bisa keluar dari kebutuhan ini? Kita membutuhkan pandangan demokratis dan adil tentang kaum perempuan bahwa kaum perempuan adalah partner atau mitra kerja sederajat yang punya martabat sama di hadapan Tuhan.
Kemiskinan dan kaum perempuan ini dapat kita temui dengan nyata dalam kehidupan kaum petani di pedesaan. Kemiskinan yang erat hubungannya dengan sector pertanian (ekologi dan ketahanan pangan). Bagaimana keterkaitan kaum perempuan dengan kemiskinan di sector pertanian ini, sebagaimana disampaikan oleh Vandana Shiva, bahwa keadaan ekonomi kaum perempuan yang buruk disebabkan oleh system pembangunan colonial yang mementingkan azas pendapatan produksi. Penggunaan alat-alat modern di dunia pertanian, merusak ekologi dan menggusur kaum perempuan dari kegiatan produktifitas mereka serta merusak sumber daya alam yang menjadi tumpuan produksi pangan dan kelangsungan hidup. Kalau dulu, dengan menggunakan ani-ani untuk memanen padi, kaum perempuan dapat meningkatkan perekonomian mereka, maka sekarang dengan menggunakan sabit, hand-tractor dan mesin giling (huller), lahan pekerjaan mereka semakin sempit. Selain itu, demi mendapatkan hasil produksi yang tinggi dan menekan biaya produksi, para pemilik sawah memilih penggunaan alat-alat pertanian modern, semakin mengurangi lahan pekerjaan dengan menggunakan tenaga manusia. Sehingga peningkatan ekonomi rakyat kecil, khususnya kaum perempuan, semakin sulit.
Selain itu, system pembangunan modern dianggap menghancurkan produktivitas kaum perempuan, karena pembangunan merebut dari tangan kaum perempuan pengelolaan dan pengendalian lahan, air, dan tumbuh-tumbuhan sehingga menurunkan produktivitas alam untuk memulihkan diri. Contohnya, penggunaan pupuk kimia dan bibit transgenetik (bibit unggul) yang lebih banyak merusak alam ketimbang mempertahankannya.
Berdasarkan kompleksnya penyebab kemiskinan dan nasib kaum perempuan di atas, maka, baik orang miskin maupun kaum perempuan sama-sama membutuhkan “pemberdayaan”. Pemberdayaan yang tentunya menyakut konteks yang lebih luas, yaitu: Pertama, dengan mempertimbangkan bahwa manusia tidak hanya value transmiting, tapi juga value creating. Artinya, manusia (termasuk orang miskin dan kaum perempuan) tidak hanya menjadi objek keputusan dan program-program, tetapi subjek yang dapat menentukan nilai-nilai dan memutuskan apa yang baik bagi mereka sendiri. Kedua, bahwa dalam proses pemberdayaan diperlukan lingkungan ekonomi dan politik yang demokratis. Artinya, diperlukan budaya yang menghargai keanekaragaman usaha dan pendapat, mampu berfikir alternative, dan dimungkinkan menyampaikan kritik, dan perlunya pendekatan dialogis (bukan pendekatan kekuasaan). Ketiga, diperlukan kultur yang dapat memperkembangkan manusia dengan ciri-ciri sebagai berikut: menghargai waktu, hemat energy, cinta pada lingkungan, kemauan yang besar untuk berpretasi, tetapi dengan gaya hidup tetap sederhana.
Perempuan Dan Rantai Pangan
Menurut Loekman Soetrisno, pada akhir tahun 1960-an dalam rangka pembangunan pertanian, khususnya pembangunan subsector tanaman pangan, pemerintah memperkenalkan berbagai program pembangunan dalam kerangka melaksanakan Revolusi Hijau. Dengan partisipasi petani Indonesia Revolusi Hijau telah berhasil menaikkan secara drastic produksi pertanian itu sendiri dengan diikuti pengorbanan kaum perempuan pedesaan, khususnya mereka yang miskin yang harus kehilangan mata pencaharian mereka. Kaum perempuan miskin terpaksa tidak dapat mengikuti pesta panen di desa mereka secara bebas karena pemilik sawah membatasi jumlah perempuan miskin yang diizinkan ikut panen di sawah mereka. Ketika terjadi perubahan teknologi panen dari ani-ani ke teknologi sabit, maka sekali lagi kelompok perempuan miskin terpaksa menyingkir dan tempatnya digantikan oleh buruh tani pria. Demikian pula ketika terjadi perubahan teknologi dalam prosesing padi dari teknologi tumbuk padi ke teknologi huller, maka ratusan bahkan ribuan perempuan miskin di pedesaan yang bermata pencaharian penumbuk padi terpaksa menganggur karena mesin huller telah menggantikan mereka.
Penelitian tentang dampak hal ini terhadap kesejahteraan keluarga petani miskin yang menggantungkan kehidupan mereka dari perolehan bawon panen si ibu atau anak perempuan mereka belum ada di Indonesia. Tetapi yang jelas perubahan-perubahan itu mengakibatkan para kelompok perempuan miskin harus menggantungkan food security (ketahanan pangan) keluarga mereka pada pasar bebas. Disamping itu, pembangunan industry yang berpusat di kota-kota besar, membuat banyak kaum pria yang mencari pekerjaan di kota. Sementara kaum perempuan yang tetap tinggal di desa tidak dapat mengontrol penghasilan suami mereka, berapa upah yang diterima dan untuk apa uang itu. Maka semakin komplekslah permasalahan yang ditanggung kaum perempuan sehubungan dengan kesejahteraan ekonomi mereka.
Keterhubungan antara perempuan dan alam sebagai penghasil kehidupan dan keberlanjutan rantai pangan, Maria Mies menyebut kegiatan perempuan dalam menyediakan pangan sebagai produksi kehidupan dan memandangnya sebagai hubungan yang benar-benar produktif dengan alam, karena perempuan tidak hanya mengumpulkan dan mengkonsumsi apa yang tumbuh di alam, tetapi mereka membuat segala sesuatu menjadi tumbuh.
Proses pertumbuhan secara organis, yang di dalamnya perempuan dan alam bekerja sama sebagai mitra, telah menciptakan suatu hubungan khusus antara perempuan dan alam, yang menurut Mies diringkas sebagai berikut:
Download tulisan secara lengkap PEREMPUAN DAN KEMISKINAN