Sejak dari mandatnya, Tager-Talak diasumsikan bermasalah (sebagai problem) sehingga perlu dicarikan jalan keluarnya (agar masalah dapat diatasi dan diselesaikan: to solve). MPS pada saat memberikan tugas terhadap Panitia Pelaksana Konven nampaknya juga menggunakan asumsi ini. Ada sebuah usaha agar amandemen dipahami sebagai “membangun kesepahaman” terhadap apa yang tercantum dalam Tager-Talak, dan agar proses amandemen terfokus pada usaha TAMBAL SULAM terhadap Tager-Talak yang sudah ada. Dengan cara ini diharapkan masalah Tager-Talak terselesaikan karena tiap pihak tak bisa lagi mengelak dari kesepakatan dan juga ayat serta pasal krusial dapat diperbaiki bersama-sama. Dengan asumsi yang sama, maka hampir semua klasis menempatkan Tager-Talak sebagai dokumen gerejani yang bermasalah. Bermasalah baik terhadap logika hukum yang dikandungnya maupun terhadap mekanisme praktek nyatanya.
Beberapa hal penting dan menonjol yang dipersoalkan dilihat sebagai masalah oleh Klasis-klasis (atau tepatnya: para pendeta di klasis tertentu) berkaitan dengan amandemen Tager-Talak meliputi:
- Masalah otoritas Tager-Talak. Ada harapan besar untuk melakukan perubahan mendasar yang meliputi: semangat atau khabar baik di balik penataan jemaat, posisinnya di antara dokumen gerejani yang juga memiliki otoritas penataan kehidupan bergereja, dan keseimbangan antara prinsip KEBERSAMAAN dan prinsip menghargai PERBEDAAN
- Masalah birokrasi pelaksanaan Tager-Talak. Muncul keinginan agar terjadi perbaikan pasal dan atau ayat tertentu yang dipandang: tidak konsisten, tidak diperlukan, konfliktual dengan peraturan pemerintah, tidak mencerminkan penghargaan terhadap kreativitas, dan tidak berdasar pada prinsip-prinsip pastoral yang membebaskan.
- Masalah sistematika dan tampilan. Ada harapan agar terjadi perbaikan sistematika dan kesalahan pencetakan.
- Masalah konteks kekinian. Ada keinginan kuat agar terjadi penambahan penting pada Tager-Talak dengan esensi baru yang berkaitan dengan isu-isu terkini seperti panggilan diakonia masyarakat, kesiagaan terhadap perubahan iklim dan bencana, demokratisasi, dan pluralism.
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa ada keragaman CARA PANDANG terhadap Tager-Talak yang masing-masing perlu didiskusikan dengan serius agar semakin meyakinkan masing-masing klasis untuk saling belajar, saling menguatkan, dan saling menghargai refleksi kontekstual yang ada.
Keragaman cara pandang tersebut semakin diteguhkan dengan adanya kenyataan bahwa dalam proses pembahasan kritis yang dilakukan baik oleh para pakar maupun para peserta yang ternyata juga menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Dan nyatalah dalam Konven Pendeta kali ini bahwa bukanlah Tata Gereja pada dirinya sendiri yang bermasalah melainkan juga cara kita memposisikan tata gereja, menyematkan otoritas tertentu dalam mengimplementasikan Tata Gereja, dan cara kita menyusun indikator efektifitas Tager-Talak berhadapan dengan isu-isu kekinian yang dihadapi jemaat. Oleh karenanya, cara pandang baru yang dibutuhkan sebenarnya juga meliputi bagaimana mekanisme analisis kita terhadap Tager-Talak yang tidak sekedar berorientasi pada problem-solving belaka melainkan sebuah mekanisme analisis yang mampu menampung seluruh aspirasi kreatif sekecil apapun.
Dibawah ini adalah cara pikir baru yang muncul semakin menguat di kalangan para Pendeta GKSBS :