Kalau saya melihat kehidupan saya, saya orang yang bersyukur. Istrinya dan saya mulai dari kosong, tetapi lihat apa yang kami sudah punya (Pak Suko).
Hari Sabtu yang lalu, tanggal 17 Maret 2012, saya berkunjung ke GKSBS Kelirejo, Belitang II, Ogan Komering Ulu dan bertemu dengan Pak Suko dan bu Tuti. Melewati perjalanan yang rusak dan menembus perkebunan, ladang dan sawah (kami bertemu dengan ular cobra di jalan). Saya menggunakan sepeda motor, berangkat dari Bumi Agung. Pertemuan ini tidak akan pernah saya lupakan. Sepertinya saya bertemu dengan Yesus di Kelirejo. Pak Suko punya mata yang berkilau dan senyumnya indah, bu Tuti menujukkan lega dan kepuasan. Saya bertemu dan dua orang yang bersyukur.
Cerita kehidupan mereka mulai di Jawa. Orang-tuanya trans dari Jawa ke Sumatra. Bapak dari keluarga katolik, ibu dari keluarga protestan. Saya dengar cerita tentang tantangan orang-tuanya ketika baru datang ke Sumatra: tanah susah dikerjakan, belum ada jalan, mereka rindu keluarga di Jawa, dan lain-lain. Orang-tua pak Suko pernah punya 6 ha lahan, tetapi harus dijual untuk kebetuhan hidup. Ketika pak Suko dan bu Tuti menikah mereka mulai dari nol, kosong. Mereka bekerja sebagai buruh tani, kemudian beli tanah sedikit demi sedikit. Sekarang mereka punya 4 ha tanah dan mereka bangga sekali. Tiga anak mereka sekarang bisa ke sekolah, dua yang paling tua kuliah di Palembang.
Waktu transmigran datang ke Sumatra mereka saling membantu dan berbagi keteramplian: ada yang bisa bertani, ada yang mampu dengan kayu, dan lain lain. Bersama-sama mereka membangun kehidupan mereka. ‘Gotong-royong’ adalah titik awalnya. Juga gedung gereja dibangun bersama-sama, karena gereja adalah pusat, tempat untuk berkumpul. Karena katanya pak Suko: ‘Gereja dari kita bersama-sama’. Suami-istri ini aktif di jemaat Kelirejo. Pak Suko baru istirahat dari majelis GKSBS Kelirejo, bu Tuti pengurus di komisi perempuan jemaat.
Selain bersama-sama kata kunci dari pertemuan ini adalah bersyukur. Mereka bersyukur kepada Allah, karena ada keselamatan dan kesehatan. Selain mereka dipercaya oleh tetangga. Ada hubungan yang baik dengan semua tetangga dengan agama apapun. Pak Suko juga menjadi ketua kelompok petani. ‘Kami bekerja bersama-sama dan saling menguatkan. Kami punya lumbung padi yang besar supaya kalau panen akan gagal masih ada panen. Dan saya juga memberikan nasihat untuk petani lain dan menstimulir mereka berkumpul’.
Pertemuan ini ditutup dengan makan bersama keluarga Pak Suko. Mereka menghidangkan nasi dan sate. Kemudian anak yang bungsu datang ke rumah dari sekolah. Kami berfoto bersama-sama dan kami berangkat lagi lewat jalan yang jelek tetapi dengan pemandangan indah.
Mereka berbagi kehidupan mereka dengan saya: tentang transmigrasi dari Jawa, tetang tantangan hidup, tentang hal yang disyukuri. Saya sudah berbagi cerita ini dengan jemaat di Belanda, tetapi saya menemukan cerita dari pak Suko dan bu Tuti juga menjadi penting untuk diri saya. Saya menjadi orang yang bersyukur saya boleh mendengar cerita mereka, cerita dengan duka dan suka, cerita yang dialami di depan wajah Allah. Kemudian mereka dikuatkan dan bangga saya mau berkunjung ke rumah mereka. Kami saling menguatkan. Apakah itu salah-satu alasan mengapa saya di sini?
Pdt. Henrietta Nieuwenhuis (co-worker)
Mendengarkan cerita dari mereka berdua seperti menemukan oase yang memuaskan hasrat dahaga di tengah-tengah kekeringan refleksi dari gereja yang berada di masyarakat. Apa yang dialami Pak Suko ini adalah aksi diakonia gereja yang berada dalam konteksnya di masyarakat setempat. Karena tanpa aksi, gereja tidak akan mampu memberikan refleksi. Dari gereja (jemaatnya) muncul inspirasi dan kepercayaan untuk membangun komunitas yang dinamakan masyarakat ini menjadi lebih baik dan bermakna. Tidak harus selalu dimulai dengan pekerjaan yang besar, tetapi dimulai dengan pertemuan dengan anggota masyarakat yang lain niscaya kebermaknaan ini akan tumbuh, cepat atau lambat. Maka dengan hal kecil saja yang bermanfaat, gereja dapat benar-benar hadir bagi masyarakat dimana gereja berada. Memperkenalkan diri dan mengenal yang lain untuk menjadi sahabat dalam komunitas. Perbincangan yang sangat dibatasi oleh waktu ini serasa “belum memuaskan”. saya yakin Pak Suko dan Ibu Tuti memiliki banyak kisah yang ingin dibagikan. Karena seperti yang Henriette tangkap, “mata Pak Suko memancarkan semangat dan cerita yang jauh lebih banyak dari yang sudah disampaikan”. dan saya senang dengan ungkapan Henrietta: “saya baru saja berjumpa dengan Yesus di Kelirejo”.
Ada 13 kelompok tani di Belitang II. “sebagian besar masyarakat di sini adalah petani sawah. Jadi lumbung pangan ini menjadi salah satu sistem ketahanan pangan bagi anggota kelompok tani, dan masyarakat di sini”. Beliau menjelaskan bahwa setiap panen, tiap anggota mengumpulkan 6kg gabah untuk mengisi lumbung dan mereka sempat memiliki stok gabah kering mencapai 8 ton. “saya selalu mengajak dan berkumpul dengan masyarakat untuk membuat sesuatu yang berguna. Karena kami yakin jika petani membentuk kelompok tani maka tidak akan ada yang sia-sia. Bahkan justru banyak manfaatnya”. Ungkap Pak Suko yang juga sempat diminta oleh masyarakat setempat untuk menjadi kepala desa. Tetapi untuk yang satu ini beliau menolaknya.
SALUT buat Pak Suko………….