Kalau anda membaca judul dari tulisan ini dengan tepat anda bisa menemukan yang salah. (Kalau tidak anda belum menjadi pendeta yang baik, haha.) Apakah Yesus tidak mencerita tentang roti dan bukan ikan? And benar, tetapi sesudah bertemu dengan pak Gandung, petani ikan lele dari Kota Gajah saya ingin mengonteksualize ayat ini dari Markus 6, ayat 38.
Saya bertemu dengan pak Gandung di Kota Gajah, sesudah kebaktian. Dia berbagi cerita tentang kehidupannya dan bagaimana gereja membantu dia. Di Kota Gajah banyak orang hanya memiliki lahan yang terbatas. Kebanyakan orang tidak bisa memperluaskan lahan mereka. Pak Gandung mencari cara baru: dengan kapasitas sudah dimiliki apa yang saya bisa lakukan? Dia mulai dengan kolam ikan lele, karena katanya: ‘Orang di provinsi Lampung suka ikan lele dan lahan saya cukup luas untuk membuat kolom ikan’. Di tahun 2001 dia mulai dengan perusahaan ini dan berbagi rencana dengan majelis gereja. Dari gereja dia mendapat dukungan moral, semanggat dan sumber dana kecil seperti investasi. Sekarang, sesudah 10 tahun dia berbagi pengalaman dia dengan orang lain di Kota Gajah. Pak Gandung antara lain mengadakan lokakarya untuk petani lain dan membuat eksperimen dengan ikan lele. Saya, bersama dengan dua tamu dari Belanda, diundang ke rumahnya dan melihat kolam ikan.
Proyek ikan lele ini memperbesarkan pede pak Gandung katanya. Dia memakai talentas dan asset sudah dimiliki bersama-sama dengan dukungan gereja. Dia bilang: ‘Saya mendapat berkat Allah kalau saya berusaha’. Pak Gandung mencoba memfokus pada hal yang mungkin, dan bukan hal yang tidak mungkin. Titik awalnya dari kemungkinan orang, bukan dari kebutuhan. Cocok dengan visi GKSBS: ‘Berapa banyak roti yang ada padamu? Cobalah periksa’. Program diakonia GKSBS ingin mulai dengan asset.
Kelihatanya prinsip ini tidak mudah. Karena sering orang masih fokus pada hal yang tidak ada. Pak Gandung memang contoh besar untuk orang lain. Contoh untuk mulai dari kemungkinan dan tidak dari kebutuhan. Dan dia bahagia dengan dukungan gereja, walaupun sumber dana belum cukup, katanya. Menurut saya komen seperti itu menujukkan bahwa sering orang masih fokus pada kebutuhan, dan utama uang. Untuk GKSBS misi dan tantangan besar menyadari orang bahwa diakonia tidak tentang uang pertama-tama. Menurut pdt. Ribas juga sejarah gereja Indonesia mengarui pikiran banyak orang: kalau orang Indonesia bertemu dengan orang Belanda mereka sering memberikan komen tentang uang, karena waktu dulu kemitraan antara Belanda dan Indonesia hanya tentang uang. Waktu dulu titik awalnya berbeda daripada sekarang. Puji Tuhan kemitraan sekarang diubah. Semoga kita bisa bersama-sama mulai dari kemungkinan dan membuat kemitraan yang saling dibagi, dicertikan dan didayangkan. Gotong-royong antara Indonesia dan Belanda.
Uang tidak hanya tantangan untuk program diakonia di Indonesia, sebenarnya juga di Belanda seperti itu. Juga banyak orang Belanda hanya berpikir tentang uang kalau berpikir tentang diakonia. Dan terkadang lebih mudah hanya memberikan uang tanpa komitmen atau kepedulian. Walaupun kita tidak bisa hidup tanpa uang gereja juga bisa melalukan apa-apa kalau tidak ada uang. Tidak semua dijual untuk uang: pede, cinta, keberanian, ketekunan, d.l.l. Ayo, bagi dari apa diterima!
Pemberian yang diharapkan tidak semata-mata harus berupa uang…pendampingan, pelatihan dan motivasi akan mendorong orang untuk menyadari keberadaannya bahwa dia bisa melakukan sesuatu yang besar dari hal kecil.
bagus. dan akan semakin bagus jika kita sudah mengerjakan mekanisme duplikasinya, sehingga semakin banyak yang merasakan. e, tapi ngomong2 itu program siapa ta?