Feminisasi Kemiskinan: Perempuan Dalam Belenggu Kemiskinan

Lebih dari separo penduduk miskin di negara berkembang adalah perempuan. Ini menguatkan terjadinya feminisasi kemiskinan, yakni sebuah kenyataan bahwa sebagian besar angka kemiskinan diisi oleh kaum perempuan. Dengan kata lain, kemiskinan memiliki wajah perempuan.

Kendati seorang laki-laki dan perempuan sama-sama miskin, kemiskinan itu disebabkan oleh alasan yang berbeda, pengalaman yang berbeda serta kemampuan yang berbeda pula dalam menghadapinya. Kemiskinan memiliki dimensi yang sangat bias gender karena adanya ketimpangan gender dan akses kekuasaan. Gender-based power relation mean that women experience poverty differently and more powerfully than man do and women are more vulnerable to chronic poverty because of gender inequality in the distribution of income, access to productive inputs, such as credit, command of poverty or control over earned income, as well as gender biased in labour markets.[1]

Kemiskinan perempuan disebabkan banyak factor yang cukup kompleks. Tetapi ia bisa ditelaah melalui dua hal. Pertama, perspektif ekonomi. Secara gamblang kemiskinan dan pemiskinan perempuan ini terlihat dalam sektor ekonomi. Perempuan yang hidup dalam belenggu kemiskinan senantiasa kesulitan mendapatkan akses sumber daya ekonomi. Untuk bekerja mereka tidak diakui dan tidak dihargai. Dalam bekerja, perempuan mendapat upah separo dari apa yang diperoleh laki-laki.

Seorang perempuan ikut mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, atau yang  menjadi kepala keluarga dari kelompok miskin, lebih miskin dibandingkan laki-laki dari kategori yang sama. Perempuan yang tidak memiliki penghasilan jauh lebih buruk situasinya dibandingkan perempuan yang mempunyai penghasilan dalam keluarga dengan tingkat ekonomi subsisten.

Perempuan mengalokasikan se-bagian besar penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga dan lebih mementingkan kebutuhan dasar keluarganya dibandingkan dengan laki-laki. Dengan demikian, semakin besar penghasilan perempuan, semakin kecil kemungkinan anak-anak menderita kekurangan gizi.

Kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan keluarga juga bisa menjadi salah satu cara laki-laki melepaskan tanggung jawab atas keluarganya dengan menceraikan istrinya. Dalam berbagai kasus perceraian, perempuan cenderung mengambil beban terbesar untuk membesarkan anak-anak, dengan atau tanpa sumbangan mantan suaminya. Namun, perempuan yang menjadi kepala rumah tangga miskin juga menghadapi resiko besar karena tidak punya akses pada kepemilikan tanah dan modal, informasi, dan pasar kerja.

Kedua, perspektif politik. Dalam dimensi ini, perempuan tidak terwakili secara proposional di antara kelompok miskin dan tidak punya kekuasaan. Kemiskinan perempuan ini antara lain kerentanan hidup (vulnerability), kesempatan dan suara (voicelessness and powerlessness), serta didukung pemerintah yang sangat bias gender (male-biased government system). Dimensi kemiskinan gender, bias gender juga mudah ditemui dalam kebijakan structural, perbedaan efek kebijakan dan dana yang tidak memadai untuk mendukung kebijakan yang memihak kaum perempuan. Jadi, diskriminasi terhadap perempuan sangan kental.

Bagaimana menyikapi konteks kemiskinan perempuan GKSBS?

Demikian juga dengan sebagian besar masyarakat di mana GKSBS berada di tengah-tengahnya, merupakan masyarakat dengan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi. Separo di antaranya adalah kaum perempuan. Kurangnya akses pendidikan dan pengembangan ketrampilan bagi perempuan dalam mengatasi kemiskinan di wilayah Sumatera bagian Selatan, kurang mendapat perhatian dari pemerintah, bahkan oleh Gereja.

Diskusi-diskusi di seputar kemiskinan, termasuk Pemahaman Alkitab, masih dikuasai oleh mayoritas suara laki-laki. Pendampingan terhadap kelompok-kelompok tani dan pemberdayaan masyarakat tani yang dibentuk oleh lembaga-lembaga non-government pun masih menjadi kelompok laki-laki. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah karena laki-laki yang paling mudah digerakkan dalam melakukan perubahan sosial. Entahkah, alasan ini benar berdasarkan realitas yang terjadi di masyarakat, ataukah sekedar menghindari “usaha yang sedikit keras” untuk melakukan penyadaran gender dalam masyarakat, termasuk Jemaat GKSBS.

Tetapi kondisi yang tak terhindarkan adalah bahwa sebagian besar perempuan GKSBS hidup di pedesaan dan mencari penghasilan dari dunia pertanian. Sayangnya mereka kurang mendapat perhatian. Maka pertanyaan bagi kita adalah “Sudahkah GKSBS dan yayasan-yayasan terkait melakukan pemberdayaan dan penyadaran gender di semua aras kehidupan? Sudah cukup adilkah GKSBS dan yayasan-yayasan (pendidikan dan sosial) memberi ruang dan hak yang setara dalam meningkatkan kesejahteraan umat melalui program-programnya?

Nampaknya, nilai perkawanan-paseduluran yang dianut oleh GKSBS dapat memberi harapan terjadinya keadilan gender dan melibatkan kaum perempuan dalam melakukan perubahan sosial, khususnya mengubah kondisi kemiskinan yang selama ini membelenggu mereka. Pemberian kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan bagi kaum perempuan GKSBS – baik dalam kelompok gerejawi maupun dalam kelompok masyarakat – dapat menjadi langkah awal GKSBS melakukan transformasi sosial dalam Rumah Bersama. Sehingga baik laki-laki maupun perempuan GKSBS memiliki ruang dan kesempatan yang setara dalam mengekspresikan diri, melayani dan mendapatkan hak mereka secara adil.

 

by Sriyully


[1] Nilufer Cagatay, Trede, Gender and Poverty (London, UNDP:2001)

Silakan dibagi