BAGAIMANA PEREMPUAN MEMBACA ALKITAB?

BAGAIMANA PEREMPUAN MEMBACA ALKITAB?

Setiap orang yang berusaha memahami Alkitab tentu melibatkan dirinya dalam suatu hubungan segi empat:

Maka harus diakui bahwa tidak ada tafsiran objektif dalam arti bahwa semua pembaca akan tiba pada pemahaman yang sama. Tafsiran Feminis pun hanya salah satu dari sekian banyak tafsiran yang lain. Akan tetapi dalam dialog antara para penafsir dan pembaca, naskah Alkitab akan dipahami secara lebih mendalam dan utuh. Dengan demikian, segi yang berhubungan dengan situasi gereja atau masyarakat tertentu dapat diangkat dengan cara yang lebih tepat dan segar.

“Pengalaman Manusia” merupakan titik tolak dan titik akhir dari lingkaran penafsiran. Tradisi yang telah tersusun rapi dan berakar di dalam pengalaman akan terus-menerus diperbaharui oleh pengalaman. Dengan demikian, penafsir dapat merasakan kehadiran dan tindakan Allah. Demikian juga dengan pengalaman yang dimiliki oleh perempuan dalam tradisi masyarakat maupun gereja, akan mempengaruhi cara pandang dan cara perempuan membaca dan menafsirkan teks-teks Alkitab.

Jika gereja memahami bahwa setiap orang memiliki pengalaman tertentu – yang mempengaruhi caranya membaca dan menafsir Alkitab – maka  gereja harus siap berhadapan dengan pelbagai bentuk dan cara orang menafsirkan teks yang dibacanya. Termasuk bagaimana perempuan membaca Alkitab.

Suatu pemahaman baru hanya dapat diterima dan diakui sebagai kebenaran berwibawa sejauh ia tidak bertentangan dengan keyakinan dasar yang dimiliki setiap orang. Demikian juga kaum feminis memiliki keyakinan yang fundamental bahwa “perempuan adalah manusia sepenuhnya dan harus diperlakukan demikian”. Keyakinan ini menyangkut dua segi, yakni laki-laki dan perempuan, duanya manusia setingkat dan sederajat dalam kesamaan dan perbedaan mereka; mereka menghayati kemanusiaannya dalam hubungan timbal-balik.

Berdasarkan keyakinan itu, kaum feminis  memulai penafsirannya dari menguak dan memilah mana teks-teks Alkitab yang dibangun di atas budaya patriakhi-androsentris, lalu menggali dan menemukan budaya yang sebenarnya menguatkan posisi perempuan, dan berdasarkan “temuan”nya itu, kaum feminis menafsir ulang teks-teks Alkitab dengan perspektif yang baru. Tentu hal ini menimbulkan pertentangan saat berhadapan dengan tradisi dan ajaran gereja yang sudah lebih dahulu ditanamkan oleh “Bapa-bapa Gereja” sebagai keyakinan mutlak benar pada jemaatnya. Sementara kesadaran feminisme, dalam menguak dan memikirkan ulang apakah perkataan dan gambaran yang selama ini dipahami gereja sudah benar dan tepat sesuai dengan realitasnya, baru lahir pada abad ke-20.

Tentu tidak ada kata terlambat untuk sebuah pembaruan, bukan? (Bersambung….)

 

Silakan dibagi