Sudah 1 tahun Pdt. Henriette Nieuwenhuis berada di Indonesia, tepatnya di GKSBS. pada kesempatan ini beliau menuliskan beberapa kesan dan refleksinya, yang juga berkaitan dengan Curch and Community to Church Program (CCCP) antara jemaat dan komunitas di GKSBS dengan jemaat di Belanda.
Sejak 1 Oktober saya sudah 1 tahun di Indonesia dan saya mau bercerita sedikit tentang proses menjadi jembatan antara Belanda dan Indonesia. Atau, dengan kata warga majelis Lembah Seputih, menjadi ‘Mak Comblang’. Saya akan membongkar rahasia ‘Mak Comblang’ dari perpektif saya sebagai tim CCCP
Beliau juga menjelaskan lebih lanjut bahwa tahun pertama ini penuh dengan mendengar, bertanya dan belajar. Di satu sisi merasa menjadi orang GKSBS tetapi di sisi lain tetap menjadi orang luar. sebagai orang asing, beliau ingin memberikan bentuk persahabatan antara Belanda dan Indonesia. Sebagai jembatan diantara keduanya.
Selain proses belajar pribadi yang makan banyak waktu juga ada proses yang lambat yang terjadi di kantor sinode. Itulah dinamika dalam sinode di manapun menurut saya. Pada umumnya proses yang tidak begitu cepat. Tim CCCP sering berkumpul dan berapat tentang bagaimana kami bisa membayangkan pertukaran antara Belanda dan Indonesia.
Persahabatan menjadi kata kunci, bukan kemitraan karena kata kemitraan terlalu resmu dan “saklek”. Persahabatan merupakan posisi yang setara dimana suka dan duka bisa dibagikan karena Yesus akan menyatukan. Istilah Mak Comblang ini didapatkan dari salah satu majelis GKSBS Lembah Seputih yang mengetahui salah satu tugas beliau di GKSBS sebagai penghubung tersebut.
Dari perspektif saya sebagai ‘Mak Comblang’ saya melihat bahwa untuk dua pihak ini akan menjadi jalan yang menarik. Karena memperkenalkan dirinya sendiri dalam bahasa yang lain kepada seorang dalam budaya yang lain sama sekali tidak mudah. Dan saya bahkan belum membahaskan bahwa beberapa istilah atau kegiatan di sini bisa sangat biasa di GKSBS, tetapi untuk gereja di Belanda tidak bisa dipahami. Dan diskusi yang hangat bisa terjadi: mengapa banyak jemaat PKN ‘membantu’ gereja atau organisasi di luar negeri? Mengapa gereja di Indonesia tidak punya kebiasaan seperti itu? Dan mengapa tidak ada warga jemaat lagi supaya banyak gereja di Belanda kosong atau dijual?
Akhirnya, pertukaran/persahabatan antara PKN dan GKSBS adalah salah satu akibat dari perubahaan ‘paradigma’ dalam cabang misiologi. Perubahaan paradigma adalah perubahaan cara berpikir berhubung dengan relasi antara gereja-gereja di dunia ini. Kalau dari perspektif GKSBS: GKSBS punya sesuatu untuk membagikan dengan PKN. GKSBS tidak hanya menerima, tetapi juga memberi. Sebaliknya: PKN seharusnya belajar menerima dan melihat yang lain sebagai sahabat, tidak hanya sebagai orang yang memerlukan bantuan. Dalam ‘paradigma’ misiologi ada fokus pada lalu lintas dua arah, karena dua pihak punya sesuatu yang bisa dibagikan. Kesalingan adalah salah satu kata kunci dan persahabatan ini.
Itulah ‘teorinya’. Bagaimana dalam praktek? Apakah Indonesia bersedia untuk memberi dan Belanda untuk menerima? Apakah mungkin co-worker dari Indonesia dikirim ke Belanda untuk memberikan bentuk kepada dua arah ini? Dan bagaimana ‘uang’ berperan dalam persahabatan ini?
Mak Comblang…………….wah…senang sekali dengan berita ini. Gimana ya kalau seandainya buat berita yang lain……SUKU ANAK DALAM……..mungkin. Dulu kami sebelum di GKSBS pelayanan di Suku Anak Dalam jambi.
Keee…makasih dan GBU