Gereja dan Politik

Tulisan ini dipersiapkan oleh Harjanto untuk mengikuti Konsultasi Nasional Pemuda Gereja dan Politik PGI (tetapi tidak jadi berangkat)

Sampai saat ini banyak dari kita yang mendefinisikan gereja adalah persekutuan orang-orang percaya. Tetapi sebetulnya pertanyaanya adalah apakah orang-orang percaya itu hanya berkumpul saja?? Apakah kemudian hanya melakukan ritual saja? Atau apakah kemudian melakukan arisan juga? Tentu ini menjadi semakin menarik karena jika gereja diartikan sebagai persekutuan (perkumpulan) orang-orang percaya saja maka tidak ada bedanya dengan arisan Kristen.

Gereja dan politik itu masih menuai pro dan kontra.  Gereja yang dinilai (atau menilai dirinya sendiri) sebagai institusi religius harus diberikan jarak dengan politik yang selalu bersentuhan dengan dunia sekuler. Politik penuh dengan kebencian, permusuhan, persaingan yang tidak sehat dan banyak lagi hal negative yang bisa distigma-kan kepada politik.

POLITIK

Kita masih ingat dengan hingar-bingar Jakarta pada pemilukada beberapa waktu yang lalu. Mulai dari black campaign hingga hal-hal yang menjurus sentiment-sentimen sectarian yang lain. Isu agama salah satu yang sangat menguat. Belum lagi dalam benak masyarakat selama ini sudah terbangun “definisi” tentang politik. Dunia yang selalu berhubungan dengan kekuasaan, proyek-proyek besar, kroni, bagi hasil, korupsi, gratifikasi, dan lain-lain yang berita tentangnya sering menghiasi berita-berita media. Sedangkan gereja adalah “bangunan” yang sangat religius. Bisa dibayangkan bagaimana bangunan yang religius ini akhirnya masuk dan ambil bagian dalam tindakan-tindakan kekuasaan yang telah terstigma pada politik tersebut. Maka sebetulnya bisa dimengerti jika banyak pihak tetap ingin memisahkan jauh-jauh gereja dengan politik. Tetapi apakah hal ini tidak mempersempit arti politik itu sendiri? Atau pertanyaan yang lain adalah siapakah yang dimaksud gereja  dalam hal yang dihubungkan dengan politik itu?

Johann Baptist Metz adalah seorang teolog Jerman yang pada tahun 1966 memperkenalkan istilah teologi politik. hal ini sungguh mengundang kontroversi saat itu. Bagaimana mungkin gereja bisa bersatu dengan politik yang kotor? Sudah terlalu banyak orang yang tidak mungkin untuk “mensakralkan” politik dengan berbagai atributnya itu. Teologi politik terletak pada inkarnasi Allah kedalam diri Yesus. Allah menjadi manusia, dan rela menjadi bagian dari anggota masyarakat. Kekotoran dan hiruk-pikuk dunia ini tidak menghalangi rencana Allah untuk terlibat aktif dan menjadi bagian dari kekotoran dunia itu

GEREJA

Sampai saat ini banyak dari kita yang mendefinisikan gereja adalah persekutuan orang-orang percaya. Tetapi sebetulnya pertanyaanya adalah apakah orang-orang percaya itu hanya berkumpul saja?? Apakah kemudian hanya melakukan ritual saja? Atau apakah kemudian melakukan arisan juga? Tentu ini menjadi semakin menarik karena jika gereja diartikan sebagai persekutuan (perkumpulan) orang-orang percaya saja maka tidak ada bedanya dengan arisan Kristen. Nah, dari gambaran seperti ini maka saya ingin meminjam kalimat Y.B Mangunwijaya bahwa politik adalah pengabdian kepada kepengtingan masyarakat, kepada bangsa. Yang terpenting dari politik adalah kesejahteraan masyarakat, bukan pengelola Negara. Keterlibatan gereja dalam politik itu mengarah kepada tindakan universal.  Point pentingnya adalah tindakan gereja yang partisipatif dalam persoalan universal. Gereja mengambil bagian dan tanpa rasa takut sedikitpun. Perang terhadap kemiskinan, pelecehan hak asasi manusia, ketidakadilan social, penindasan terhadap mereka yang lemah, sejujurnya mengusik nurani gereja untuk terlibat dan bersaksi. Selama ini pro kontra tentang gereja dan politik itu menimbulkan kebingungan banyak orang Kristen , akankah menceburkan diri di arena politik atau tidak. Hal ini karena sudah terjadi indoktrinasi secara diam-diam bahwa politik itu kotor dan kejam. Jika politik hanya dipagari pada politik praktis, yaitu arena politik yang selama ini hanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu (partai dan kelompok) dan menggunakan kekuasaan yang diperoleh sebagai alat untuk itu, mungkin benar bahwa politik itu kotor dan kejam. Politik praktis hanya bergerak sesuai dengan tuntutan politik untuk kekuasaan (politik kekuasaan). Politik kekuasaan berurusan dengan teknik dan organisasi untuk memperoleh dan memeprtahankan kekuasaan.

Dari misteri inkarnasi ini sebetulnya memungkinkan keterlibatan anggota gereja dalam politik. bahkan bisa diartikan ini sebagai panggilan dan rahmat yang besar karena sudah memenuhi panggilan untuk peduli terhadap persoalan dan cita-cita hidup yang universal itu. Mereka yang tidak terjun dalam pertarungan perebutan kekuasaan kemudian mengaplikasikannya dalam politik kepedulian social. Yaitu tanggungjawab dan panggilan kewarganegaraan sekaligus panggilan orang-orang percaya (gereja) yang memiliki nurani. Inilah yang disebut politik kepedulian social. Kehadiran GKSBS di tengah-tengah korban penggusuran masyarakat Moro-Moro di register 45 Mesuji merupakan salah satu aplikasi politik sebagai kepedulian social. Pada saat terjadi penggusuran oleh perusahaan pemegang HGU, GKSBS hadir ditengah-tengah mereka untuk menguatkan dan mensupport mereka dengan tenda dan bahan makanan. Gereja (GKSBS) bekerjasama dengan berbagai pihak seperti activist mahasiswa, relawan-relawan kemanusiaan, dll. Secara tidak langsung gereja sudah lantang menyarakan penghentian kekerasan dan kesemena-menaan dalam menangani konflik-konflik social. olitik e�d�� kebingungan banyak orang Kristen , akankah menceburkan diri di arena politik atau tidak. Hal ini karena sudah terjadi indoktrinasi secara diam-diam bahwa politik itu kotor dan kejam. Jika politik hanya dipagari pada politik praktis, yaitu arena politik yang selama ini hanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu (partai dan kelompok) dan menggunakan kekuasaan yang diperoleh sebagai alat untuk itu, mungkin benar bahwa politik itu kotor dan kejam. Politik praktis hanya bergerak sesuai dengan tuntutan politik untuk kekuasaan (politik kekuasaan). Politik kekuasaan berurusan dengan teknik dan organisasi untuk memperoleh dan memeprtahankan kekuasaan.

Silakan dibagi

5 thoughts on “Gereja dan Politik

  1. Semoga dibaca oleh para pelayan dan pemegang kekuasaan GKSBS.

    1. Saya bersukur apabila Gereja dengan tegas masih menggunakan politik Teokratisnya saat ini dan menjaga jarak dengan politik Praktis.
      Apabila ada warga jemaat yang ikut ambil bagian dalam politik praktis kita patut bersukur berarti ada warga jemaat yang cerdas dibidang politik ( contoh: wagub DKI), bukan berarti kita harus membentuk suatu kelompok politik praktis baru dalam gereja. Keberhasilah PILGUB di DKI tidaklah berpihak pada kekuatan politik praktis, namun pada sikap dan keteladanan, ini pelajaran.
      Kondisi banyak partai politik saat ini tidak menunjukan perkembangan kearah yang lebih baik bahkan yang terjadi sebaliknya.
      Mungkin negara kita akan lebih maju lagi kalau kita meniru Negara Amerika atau negara-negara maju lainnya yang memiliki sedikit partai, mungkin itu yang lebih baik diperjuangkan.
      Dapat kita bayangkan kekuatan saudara kita muslim, tapi mereka saat ini terpecah menjadi kelompok-kelompok,itu akibat politik praktis.
      Gereja memang tidak bisa lepas dari politik, namun ketika kita berbicara tentang politik haruslah dipisahkan antara politik gereja – politik – politik praktis

  2. Setuju juga dgn pendapat Pak Bambang, tapi lebih sempurna lagi kalau ditambah :
    Apabila ada warga jemaat yang ikut ambil bagian dalam politik praktis kita patut bersyukur berarti ada warga jemaat yang cerdas dibidang politik tetapi tetap harus konsisten pada ajaran sebagai warga gereja. Dengan kata lain harus menghindari perilaku-perilaku yg menyimpang. Tentunya garam itu harus memberikan rasa yang lebih nikmat, dan terang dunia harus mampu menerangi daerah-raerah yang gelap.
    Syalom . . . .

  3. jadi warga gereja maksud bapak bodoh sehingga bapak katakan berearti ada warga jemaat yang cerdas.

Comments are closed.