GKSBS Belum Melakukan “Apa-Apa”

Kesimpulan kecil ini hanya salah satu dari beberapa poin yang didapat dalam Konsultasi Politisi dan Peminat Politik di GKSBS, yang diselenggarakan oleh Departemen Litbang GKSBS. “Belum melakukan apa-apa” artinya bahwa selama ini GKSBS belum membuat semacam guide yang bisa digunakan berbagai pihak di GKSBS untuk terjun dalam politik praktis. Hal ini diutarakan oleh Pdt. Yohanes Eko Prasetyo yang juga menjadi panelist mewakili MPS GKSBS. Lebih lanjut beliau menyampaikan bahwa bahan-bahan terbitan GKSBS juga ikut-ikutan menjauhkan diri dari wilayah politik. padahal sejatinya justru gereja harus memberikan pendidikan politik bagi jemaat.

Selanjutnya dari Konsultasi yang  sampai tulisan ini diturunkan (Pkl. 12.35 ) masih berlangsung, dalam berbagai kesempatan bahkan ada pendapat dari jemaat-jemaat yang masih “mensakralkan” gereja sebagai institusi yang harus dijauhkan dari dunia politik. Padahal gereja tidak mungkin bisa “dibebaskan” dari politik. Hakekatnya, Politik itu adalah berbicara tentang pembelaan keadilan, perang terhadap kemiskinan, pelecehan hak asasi manusia, dsb. Hadir dan membela terhadap yang tertindas ini oleh Johann Baptist Metz dipandang sebagai teologi politik. Dalam teologi politik Metz ini mengambil inspirasi dari inkarnasi Allah menjadi Yesus Kristus yang hadir di dunia yang digambarkan sebagai penuh dosa dan kerusuhan. Yesus hadir membela yang tertindas, tampil sebagai “yang lain” yang melawan peraturan saat itu demi kemanusiaan.

Silakan dibagi

5 thoughts on “GKSBS Belum Melakukan “Apa-Apa”

  1. Berpolitik adalah menentukan sebuah pilihan. Ketika gereja menyatakan keberpihakannya pada yang lemah dan tertindas, itu adalah pilihan, itu berpolitik. Ketika gereja mengutamakan kasih dalam segala bentuk mengadanya lebih besar dari hukum apapun (termasuk hukum yang dianggap turun langsung dari langit) itu adalah pilihan. Itu berpolitik.
    Dalam banyak hal GKSBS sudah menyatakan statemen politisnya dengan tegas (coba lihat kembali NILAI-NILAI GKSBS). Menurut hemat saya, sama seperti di kebanyakan masyarakat kita di Indonesia ini, kesulitan terbesarnya terletak pada proses internalisasi pilihan politik itu. karena kesulitan menginternalisasi (meyakinkan diri), maka berakibat pada keengganan besar untuk mengimplementasikannya (mewujudnyatakannya).
    Dalam situasi ini, maka pilihan politis apapun menjadi sloganistis yang sama sekali tidak menjiwai setiap tindakan politis para anggotanya. Sekedar contoh paling relevan adalah ketika kita hendak menyusun Tata-Gereja sebagai bagian dari perangkat ideologis Gereja, kebanyakan kita terjebak pada keengganan tersebut. Gereja berdasarkan kasih dan persaudaraan, namun sekaligus mengakomodasi kebencian, arogansi, dan main kuasa.
    Kita sudah menentukan pilihan politis sebagai RUMAH BERSAMA. Tinggal ada atau tidak kehendak dari kita semua untuk menginternalisasi dan selanjutnya mengimplementasikannya. Itu saja.

  2. Dalam hal ini saya cocok dg Mas Tatok, Pandangan yang sungguh keliru apabila gereja dianggap belum melakukan apa-apa. Menurut saya inkarnasi Allah menjadi manusia Yesus dalam gereja harus dilihat dan dihayati dari cara kepemimpinannya , yaitu seperti pelayan, dan itu yang selalu dilakukan gereja. Dan apabila ada kekurangan itu bukan gerejanya tapi individu, perlu dikritisi tapi dengan hati karena mereka juga punya hati. Berbeda/ bertolak belakang dengan polotik praktis. Politik praktis biasanya diawali dari kepentingan pribadi atau kelompok untuk bisa jadi penguasa dan hasilnya untuk diri sendiri atau kelompok, berbeda dengan tujuan inkarnasi Yesus.
    Saya kira bu Yuli perlu memperbaiki pandangan Teology politiknya,

  3. Poin penting yang perlu dicermati dalam diskusi politik ini adalah adanya pengakuan bahwa selama ini Sinode GKSBS belum memiliki konsep dan sikap yang jelas tentang politik dan arah berpolitik a la GKSBS (keprihatinan ini melahirkan mandat Sidang Sinode IX di Buay Madang agar MPS melakukan kajian di bidang politik dan gereja). Hal itu juga diakui oleh anggota MPS GKSBS yang menjadi salah satu Narasumber dalam acara tersebut. Mengapa kajian ini penting? karena banyaknya pandangan yang masih rancu soal hubungan politik dan gereja serta Bagaimana dan seperti apa harapan GKSBS terhadap Visi dan Misi para praktisi politik di lapangan? Adanya kebutuhan pendidikan politik dan kaderisasi bagi praktisi politik menghasilkan rekomendasi bagi Sinode GKSBS (MPS) untuk membuat wadah berkumpul bagi para pelaku politik praktis di GKSBS yang berfungsi sebagai kelompok yang melakukan kajian dan sebagai penasehat politik praktis di Sinode GKSBS. Demikian resume dari Konsultasi Politisi dan Peminat Politik GKSBS.

    1. tergantung siapa yang menilai(mungkin belum bagi mereka yang mempunyai minat dalam politik praktis). Penting atau tidak penting itu tergantung mana yang lebih penting, yang tahu hanya MPS. Butuh atau tidak butuh itu tergantung dari kajian yang belum terlaksana itu , tidak harus selesai dalam satu hari. Kalo ada kepentingan dari kelompok atau disebut para pelakupolitik itu misalnya rekomendasilah atau apa saja , sampaikan saja, tempatnya ada, tapi jangan memaksa. Kalau ada pandangan tentang Politik gereja akan lebih bagus bila disampaikan lebih rinci lagi dan tidak menembak sana-sini.
      Menurut saya (lulusan S2,IP=6/ SD=6,SMP=6, SMA= DO) yang terpenting adalah perilaku kita dalam berpolitik harus menjaga stabilitas intern dalam gereja.

  4. Gereja memang bukan lembaga politik dan tidak perlu berpolitik. Namun sebaiknya gereja memedulikan politik dan menciptakan situasi politik yang konduksif untuk menciptakan peradaban yang lebih sehat, baik, dan manusiawi.

Comments are closed.