Pastoral Apresiatif

Tulisan ini disampaikan untuk sebuah pertemuan belajar bersama, maka dari itu bukan dimaksudkan untuk menjadi panduan apalagi sumber utama. Materi ini pertama-tama sebagai rangsangan bagi setiap pembacanya agar dapat mengembangka diskusi lebih lanjut dan merumuskan poin-poin penting berdasarkan perkembangan diskusi selanjutnya.

Ada dua kata yang menjadi kunci diskusi kita saat ini, yaitu Pastoral dan Apresiatif. Keduanya tentu bukan barang baru bagi kita semua. Pastoral kata yang sehari-hari selalu menjadi makanan kita para pelayan gereja dan apresiatif menunjuk pada sebuah pendekatan Apresiative Inquairy (AI) yang menjadi mainstream pembangunan jemaat di GKSBS. Jadi, dengan kata Pastoral Apresiatif kita hendak memahami dan mengusahakan serta mewujudkan pastoral dalam paradigma Apresiatif.

Kalau saat ini di depan kita diletakan sebuah gelas dengan diisi setengah air, maka, apa yang akan kita katakan mengenai gelas itu? Apakah itu gelas setengah kosong atau gelas setengah penuh?

Apapun jawaban kita mengenai gelas tersebut pastilah benar. Baik yang menjawab gelas setengah kosong maupun gelas setengah penuh, keduanya menjawab dengan benar. Lalu dimana serunya?

Begini serunya:

Ilustrasi di atas tadi hendak menunjukkan kepada kita bahwa realitas yang di depan mata kita sesungguhnya dapat memiliki makna ganda (ambigu) atau bahkan multi makna. Persoalannya bukan pada realita itu pada dirinya sendiri melainkan pada cara pandang kita akan realita itu. Dan di sinilah Apresiatif Inquairy (AI) memiliki kekuatan dalam hal cara pandang atas dunia ini. AI melihat realitas pada kualitas terbaik yang terdapat di dalamnya, pada potensi terbaik atau pada makna terpenting yang dikandung dalam realitas itu. Lalu dalam kacamata tersebut segala sesuatu mengenai realitas itu dikembangkan.

Apabila di ladang tiba-tiba kita melihat benda hitam kecil memanjang bisa jadi kita lari terbirit-birit atau bahkan mencabut golok karena dikira ular. Padahal, sebenarnya kita bisa memanfaatkannya untuk mengikat rumput pakan ternak kalau saja kita tahu itu adalah tali karet. Jadi, dalam hal pastoral apresiatif persoalannya bukan pada subjek pastoralnya tapi pada pelayan pastoralnya. Pada cara pandang para pelayan pastoral terhadap subjek pastoral. Mau melihat hal-hal terbaik atau sebaliknya pada soal subjek pastoral sebagai si sumber masalah?

Mengenai Pastoral

Secara etimologi pastoral berasal dari kata pastor (latin) yang berarti gembala. Ini berarti bahwa pastoral berarti sebuah kata sifat, sifat “gembalani”. Lalu perihal segala sesuatu yang menjadi pekerjaan/tindak tanduk seorang gembala dalam melayani umat menjadi ruang lingkup pastoral. Oleh karenanya ada yang mengatakan bahwa pastoral merupakan pelayanan berwajah banyak. Sebab, segala sesuatu yang terkait dengan tugas gembala gereja terhadap umat menjadi ruang lingkup pastoral (kotbah, katekisasi, pembinaan, perkunjungan, perutusan, dst).

Oleh karena luasnya ruang lingkup pastoral, sebagian kalangan mulai berpikir sebaliknya. Bahwa, pastoral tidak selalu berwajah banyak. Pastoral dapat dibatasi sebagai tindakan khusus yang dilakukan gereja dalam rangka penggembalaan umat. Sebagai contoh yang dimaksud pastoral adalah tindakan gerejawi seperti: Pendampingan pastoral, percakapan gerejawi dan perkunjungan pastoral.

Kedua pemahaman di atas tidaklah perlu kita lihat sebagai pertentangan – bahwa yang satu lebih benar dari yang lain. Sebab, keduanya memiliki kebenarannya masing-masing. Dan bukan juga berarti bahwa dapat begitu saja memadukan kebenaran dari keduannya sebab memang ada perbedaan di antara keduanya. Yang dapat kita lakukan adalah mencari suatu cara pandang baru yang melampaui dualisme pandangan-pandangan di atas.

Pada pokok bahasan selanjutnya akan dibahas mengenai cara pandang pastoral yang lain, namun, sebelumnya perlulah bagi kita untuk menentukan ukuran penting dari pastoral yang dapat kita tunjuk di dalam hal fungsi dan prinsip pastoral. Ukuran ini nantinya akan menolong kita mengantarkan pada pemahaman pastoral sebagai sebuah “perspektif penggembalaan”

Fungsi pastoral sekiranya dapat kita kategorikan dalam empat fungsi pastoral. Pertama, membimbing. Kedua, menguatkan. Ketiga, menyembuhkan. Keempat, mendamaikan. Prinsip pastoral adalah pengampunan-penerimaan-pendamaian bukan penghakiman-penolakan-pengucilan

 

Pastoral sebagai sebuah “prespektif penggembalaan”.

Menempatkan pastoral sebagai sebuah “perspektif” maka mengandaikan sebuah titik pandang tertentu mengenai sikap, karakter, perasaan, pikiran atau tindakan tertentu dari pelayan pastoral. Dalam hal ini perspektif yang dimaksud adalah “perspektif gembala”. Titik pandang ini tentunya tidak bersifat tempelan saja sebab menjadi sikap mendasar yang selalu muncul dalam diri seorang pelayan pastoral. Dengan menempatkan pastoral sebagai “perspektif” berarti menunjukan keterarahan tertentu dari sikap, karakter, perasaan, dst pada suatu objek atau orang lain. Ini berarti bahwa pastoral dalam “perspektif penggembalan” menjadi bersifat relasional.

Pusat dari isi penggembalaan adalah sebuah sikap batin seorang gembala yang memiliki kerinduan yang kuat akan kesejahteraan dombanya. Situasi kerinduan yang kuat itu dapat kita tandai dalam konsep-konsep penyembuhan, pemeliharaan, dan pembimbingan. Penyembuhan dapat kita jumpai layaknya seorang samaria yang baik hati. Pemeliharaan berarti menguatkan atau berbelarasa dengan penuh keberanian terhadap orang yang menderita. Pembimbingan berarti membantu orang untuk menemukan jalan keluarnya sendiri.

Ketika kita dapat melihat pastoral sebagai ”perspektif penggembalaan” maka kita dapat menemukan bahwa ada titik singgung yang mungkin terjadi dengan pendekatan Apreciative Inquairy (AI). Logika berpikir dalam pendekatan AI akan memperkaya “perspektif penggembalaan” oleh karena penekanannya yang kuat akan potensi dan kualitas serta pemaknaan peristiwa. Bahkan dapat dikatakan bahwa Pastoral dalam “perspektif penggembalaan” sudah memiliki sifat dasar yang apresiatif. Jadi dimanapun tempat, semestinya pastoral adalah apresiatif.

Dalam hal ini perlu juga diketahui bahwa ada perspektif lain yang berkembang selain “perspektif penggembalaan” untuk melihat tindakan operasional gereja. Yaitu, perspektif “pengkomunikasian Injil” yang berkenaan dengan tujuan fungsional dalam meresapkan Firman ke dalam akal, hati, dan kehidupan manusia. Penyampaian firman ini soal penyampaian kebenaran yang menyelamatkan manusia.

Perspektif yang terakhir, yaitu, perspektif “pengorganisasian persektuan”. Ini berarti mengenai karya untuk menyatukan persekutuan dan mengatur hubungan dalam persekutuan maupun antara persekutuan dengan yang bukan persekutuan.

 

Pastoral dalam bayang-bayang tager talak GKSBS

Penting diakui oleh banyak pihak bahwa Tager Talak GKSBS melalui pasal penggembalaan (pasal 8) sedikit banyak telah memberikan pengaruh kuat bagi perkembangan pastoral di banyak gereja di sinode GKSBS. Tidak luput juga dengan gereja-gereja di lingkup Klasis Sribawono. Jadi tidaklah lengkap rasanya apabila diskusi tentang pastoral menutup mata pada pengaruh Tager Talak bagi perkembangan pastoral di gereja lokal. Pada kesempatan ini kita akan menilai dengan apresiatif pengaruh itu dan memberi respon atas relevansi Tager Talak di kekinian.

Pada saat tulisan ini dibuat proses amandemen tager talak masih dalam penyelesaian, sehingga tidak ada dokumen terbaru hasil amanden yang sah yang menjadi bahan resmi sinode selain dokumen lama. Maka diskusi selanjutnya akan berpangkal pada dokumen Tager Talak yang telah ada.

Tager Talak mengatur mengenai penggembalaan di pasal 8, dengan 4 ayat untuk penjelasan lebih lanjut (ayat 39 – 41). Secara umum Pasal penggembalaan terdiri dari Pengertian, Jenis, Pengembalaan Umum dan Khusus.

Dengan membahas pandangan Pastoral sebagai perspektif penggembalaan maka kita ditolong untuk memberikan evaluasi yang terukur terhadap Tager Talak kita.

Dalam hal Pengertian Penggembalaan, tepatnya, pada penekanan akan kehidupan yang sesuai dengan Firman Tuhan. Dapat dilihat akan pentingnya kemurnian Ajaran dalam kehidupan seseorang sebagai manifestasi imannya. Maka dapat dikatakan bahwa dalam hal Pengertian, Tager Talak lebih menekankan “perspektif pengkomunikasian injil” ketimbang “perspektif penggembalaan”.

Dalam hal Jenis, nampak sekali bahwa Tager Talak masih terjebak dualisme pandangan mengenai pastoral, yakni antara pandangan Pastoral sebagai pelayanan berwajah banyak dan Pastoral sebagai pelayanan khusus. Belum nampak pastoral sebagai “perspektif penggembalan” menjadi cara pandang dalam Tager Talak. Hal ini diperkuat ketika membahas tentang Penggembalaan Khusus. Ayat penggembalaan khusus dengan penjabaran yang panjang itu lebih memperlihatkan teknis atau prosedur baku pelaksanaan penggembalaan khusus. Penggembalaan khusus yang dimaksud dalam Tager Talak sebenarnya adalah disiplin gerejawi. Apabila penjabaran itu dicermati dengan baik maka kita akan menemukan sebuah mekanisme pengaturan gereja kepada warganya untuk ketertiban. Corak semacam ini lebih dekat dengan sebuah “perspektif pengorganisasian persekutuan” ketimbang “perspektif penggembalaan”

Dari sini masih ada pertanyaan tersisa. Apakah dengan demikian disiplin gerejawi tidak lagi menjadi bagian dari pastoral/penggembalaan. Tentunya, disiplin gerejawi merupakan bentuk layanan gereja yang penting. Ia tidak bisa begitu saja dihilangkan sebagai bagian dari penggembalaan. Asalkan saja disiplin gerejawi itu menolong orang untuk mencapai penyembuhan oleh karena rasa bersalah yang tertebus oleh masa menjalani masa disiplin. Lalu – juga, orang tertolong untuk dibimbing pada kesadaran akan kebenaran dari sebuah perkara. Namun, dalam prakteknya haruslah kita akui dengan jujur, bahwa disiplin gerejawi sama artinya dengan pemberian sanksi yang tidak ubahnya dengan mekanisme organisasi partai yang memberikan sanksi kepada politisinya yang dableg. Dan, acapkali sanksi dari gereja jauh lebih kejam sehingga sifat penghukuman lebih dominan ketimbang pengampunan.

 

Penutup.

Setelah mendiskusikan banyak hal mari kita melihat gambaran pastoral yang sering menghantui setiap orang, baik itu pelayan pastoral maupun subjek pastoralnya.

Pelayanan pastoral bagaikan pelayanan orang suci yang membawa benda dan alat kudus yang belum apa-apa sudah melakukan penilaian. Atau seperti pelayanan seorang ahli jiwa yang siap dengan seperangkat teori dan analisis kepribadian dan karakter orang lain. Atau bahkan seperti polisi yang datang hendak menagkap penjahat agar bisa dijatuhi hukuman, kalau perlu tanpa pengadilan.

Pastoral yang demikian ini sangat mengerikan kalau bukan menyedihkan. Sebab dengan pastoral seperti itu akan menjauhkan banyak orang dari kehangatan anugrah dan kasih Allah yang menjadi kampanye gereja setiap waktunya.

Pastoral Apresiatif menjadi diskusi yang relevan untuk terus dikembangkan oleh kita semua agar anugrah dan kasih Allah yang membebaskan itu sungguh menjadi bagian dari hidup setiap warga jemaat yang Tuhan berikan untuk kita layani!

Akhirnya kami ucapkan selamat berdiskusi, selamat merumuskan, dan selamat melayani!

Silakan dibagi