Pastoral dan Tindakan Politik

pastoral2
ilustrasi dari google.com

Inilah dialog antara Lik Gimin dan Pak Pendeta, yang dikirimkan oleh MJ GKSBS Sumberhadi

 

Selesai mandi sore Lik Gimin mendapat sms dari Pak Pendeta – yang baru seminggu pulang dari studi di Belanda. Isinya agar setelah makan malam Lik Gimin datang ke pastori. ‘Ada yang perlu dibicarakan’. Demikian sms Pak Pendeta. Dengan hati yang agak deg-degan, jam 19.15 persis, Lik Gimin sudah berada di depan pintu pastori. Pak Pendeta pun sudah siap nunggu di ruang tamu. Segera setelah Lik Gimin masuk, Pak Pendeta memberi tahu Bu Pendeta bahwa Lik Gimin datang – dan supaya dibuatkan kopi jahe ramuan khas Bu Pendeta.

Setelah kopi jahe terhidang, Pak Pendeta segera memulai pembicaraan.

“Begini Lik …’ Pak Pendeta sambil memperbaiki posisi duduknya. “Secara khusus saya mau menyampaikan terima kasih atas dukungan Lik Gimin selama saya studi di Belanda. Saya senang selama saya studi di Belanda, Lik Gimin – sebagai Ketua Majelis telah berhasil memimpin jemaat dengan baik”.

“Ah, sama-sama Pak Pendeta” sela Lik Gimin dengan muka merah karena merasa tersajung.

“Terus… Saya juga minta maaf, karena belum bisa aktif membantu pelayanan. Saya masih harus wira-wiri ke Jakarta untuk menyelesaikan urusan pengesahan ijazah di Kementerian Pendidikan”. Lanjut Pak Pendeta. Setelah menyeruput kopi jahe yang sudah mulai mereda panasnya, Pak Pendeta melanjutkan pembicaraannya lagi.

“Disamping yang tadi, saya mau mendengarkan langsung dari Lik Gimin perihal proses penggembalaan yang terjadi pada keluarga Poniman”.

Mendengar nama Poniman, Lik Gimin nampak gelisah. Beegitu nyampe rumah dari studi selama dua tahun di Belanda, Pak Pendeta langsung mendapat laporan dari salah seorang warga – yang namanya minta dirahasiakan – mengenai kasus pastoral terhadap keluarga Poniman. Keluarga Poniman – beberapa bulan yang lalu – menikahkan anaknya dengan diberkati oleh pendeta dari jemaat denominasi lain. Alasan yang dijadikan dasar tindakannya adalah – menurut Poniman – birokrasi pelayanan pernikahan di jemaat sendiri terlalu rumit dan berbelit-belit. Atas yang dilakukan oleh keluarga Poniman, Majelis Jemaat dibawah pimpinan Lik Gimin menyatakan bahwa keluarga Poniman bersalah dan dikenakan penggembalaan khusus. Karena Poniman terkenal keras kepala, maka Lik Gimin yang ditunjuk oleh persidangan untuk mewakili Majelis Jemaat menggembalakan keluarga Poniman.

Menurut laporan – atau tepatnya pengaduan – yang disampaikan kepada Pak Pendeta, dalam melakukan penggembalaannya Lik Gimin melakukan tindakan yang membuat keluarga Poniman merasa dimusuhi oleh banyak orang. Lik Gimin sampai dengan saat ini belum pernah mengunjungi keluarga Poniman.

Kelihatannya Lik Gimin sendiri mempunyai hambatan dalam menjalankan tugasnya menggembalakan keluarga Poniman. Lik Gimin sering berdalih ketika ditanya oleh Sidang Majelis Jemaat perihal tugas penggembalaan  keluarga Poniman. Apakah Lik Gimin juga ngeper dengan kekerasan kepala Poniman? Entahlah. Yang jelas Lik Gimin – ketika menghadiri – kegiatan PA di blok-blok PA, selalu menceritakan perihal kesalahan yang dilakukan oleh keluarga Poniman. Akibatnya, cerita Lik Gimin mengenai kesalahan keluarga Poniman selalu menjadi sesi “PA” tambahan tersendiri yang lebih gayeng. 

Tanggapan warga jemaat terhadap kasus keluarga Poniman sebagaimana diceritakan oleh Lik Gimin – ternyata sangat beragam. Pada umumnya warga jemaat mendukung keputusan Majelis Jemaat untuk menggembalakan keluarga Poniman dan tidak mengakui pemberkatan nikah anaknya. Tetapi ada juga yang berpesan agar keputusan penggembalaan itu tidak berubah menjadi tindakan pengucilan. Faktanya, setelah dikenakan status penggembalaan khusus, Poniman dan keluarganya jarang nampak terlibat dalam kegiatan-kegiatan jemaat.

“Saya mau nyuwun priksa. Ada dua pertanyaan Lik. Pertama, apa benar bahwa Lik Gimin belum pernah mengunjungi keluarga Poniman setelah Poniman dan istrinya dijatuhi penggembalaan khusus? Kedua, apa benar Lik Gimin selalu menceritakan kasus penggembalaan keluarga Poniman di blok-blok PA?” Muka Pak Pendeta nampak serius. Lik Gimin nampak kaget dan tegang.

Setelah menundukkan kepala beberapa saat, Lik Gimin menjawab dengan suara agak tersendat:

“Ya. Benar Pak Pendeta”.

“Boleh saya tahu apa kendala sehingga Lik Gimin belum mengunjungi keluarga Poniman, atau alasan Lik Gimin mengapa Lik Gimin menceritakan kasus penggembalaan keluarga Poniman dalam blok-blok PA?”

Tanya Pak Pendeta sambil meraih kopi jahenya. Setelah nampak bingung sejenak, Lik Gimin menjawab pertanyaan Pak Pendeta.

“Apa itu salah Pak?”

“Bukan salah-benar Lik. Saya hanya tanya soal alasan Lik Gimin.”

Sela Pak Pendeta. Suasana agak senyap sejenak, karena Lik Gimin nampaknya tidak siap dengan pertanyaan Pak Pendeta.

“Sebenarnya begini, Pak Pendeta. Sejujurnya saya – gak tau lah – kalau mau melangkah ke rumah Poniman tu terasa berat sekali.” Ucap Lik Gimin.

“Kenapa? Takut?” Sela Pak Pendeta.

“Tidak, Pak Pendeta. Saya tidak takut dengan Poniman.” Jawab Lik Gimin terbata-bata. “Tapi hanya malas saja jika nanti ribut dengan Poniman – yang Pak Pendeta tau sendiri – orangnya terkenal keras kepala.” Kilah Lik Gimin.

Gitu.” Tanggap Pak Pendeta dengan nada tenang. “Tapi itu kan belum terjadi ta?” Tanya Pak Pendeta.

“Ya belum”. Jawab Lik Gimin cepat.

“Lalu apa yang ditakutkan?” Tanya Pak Pendeta lagi.

Lik Gimin nampak semakin bingung. Mulutnya seperti terkunci. Setelah membiarkan suasana hening sejenak, Pak Pendeta melanjutkan pembicaraan lagi.

“Lik Gimin tahu, apa yang membuat kita takut dalam melakukan sesuatu?”

Tanpa menunggu jawaban Lik Gimin, Pak Pendeta melanjutkan lagi kalimatnya.

“Pepatah yang mengatakan ‘berani karena benar, takut karena salah’ memiliki kebenaran Lik. Dan Lik Gimin tahu apa itu yang dimaksud dengan ‘benar’?”

Spontan Lik Gimin menjawab: “Tidak, Pak Pendeta”.

“Tuhan Yesus selalu mengatakan bahwa kebenaran itu akan memerdekakan orang. Kebenaran akan membuat orang terbebas dari rasa takut. Mengapa demikian? Karena kebenaran itu adalah kasih. Maka ketakutan menjadi penanda bahwa disitu tidak ada kasih. Maka, mestinya orang yang takut atau ketakutan harus memperkuat energi cinta-kasihnya. Inilah bedanya manusia dengan binatang Lik”. Pak Pendeta berhenti dan melirik Lik Gimin yang semakin mematung.

“Pada binatang, mereka mengatasi ketakutannya dengan membentuk koloni. Mereka mencari kawan dan bergerombol. Maka manusia yang dalam mengahadapi ketakutannya dengan mencari kawan – itu baru upaya pada level hewani. Dan hasilnya adalah – pasti – ketakutan pada pihak lain. Artinya ketakutan itu akan melahirkan ketakutan lagi. Akhirnya terjadilah lingkaran ketakutan yang tiada henti.”

“Jadi cara saya salah ya Pak Pendeta?” Tanya Lik Gimin dengan nada menyesal.

“Iya Lik. Itu tidak dibenarkan dalam pastoral. Cara Lik Gimin menceritakan kasus keluarga Poniman di blok-blok PA itu sama dengan orang yang menggalang dukungan politik. Pastoral itu tidak sama dengan penyelesaian politik. Orang yang melakukan pastoral itu disebut pastor Lik. Pastor itu datang untuk membawa misi cinta-kasih Allah. Bukan orang yang datang dengan kekuasaan. Maka dia tidak membutuhkan dukungan. Sebab dia datang bukan untuk meminta sesuatu. Melainkan untuk memberikan sesuatu, yakni hidup yang berkelimpahan. Seorang pastor tidak membutuhkan kewibawaan. Yang dibutuhkan pastor adalah hati yang dipenuhi oleh cinta-kasih”. Pak Pendeta menhentikan kotbahnya.

“Lalu apa yang harus saya perbuat Pak Pendeta”. Lik Gimin bertanya dengan nada memelas.

“Ya gampang. Lik Gimin tinggal berangkat ke rumah Poniman dengan niat ingin mengasihi keluarga Poniman. Asal Lik Gimin tidak lagi dibebani perasaan benci atau pengen menghukum keluarga Poniman, pastilah Lik Gimin akan bisa melangah ke rumah Poniman dengan hati yang ringan”. Jelas Pak Pendeta.

Gimana Lik? Bisa dipahami kata-kata saya Lik?” Tanya Pak Pendeta.

“Ya, jelas sekali Pak Pendeta”. Jawab Lik Gimin. “Apakah saya masih dipercaya untuk menggembalakan keluarga Poniman, Pak Pendeta?” Lik Gimin memohon.

“Saya kira mandat dari Majelis belum dicabut. Dan saya sangat mendukung Lik Gimin melakukan mandat ini. Dan yang saya lakukan ini merupakan wujud dari dukungan saya”. Pak Pendeta mengakhiri pembicaraannya sambil menenggak kopi yang sudah dingin.

Jam di ruang tengah berdentang sepuluh kali. Suasana pastori sudah nampak sepi. Televisi sudah dimatikan. Sekalipun ada nada penyesalan dalam hati, tetapi malam itu Lik Gimin merasa mendapatkan pencerahan hati dari Pak Pendeta yang terkenal lembut tapi selalu tegas. Sebelum meninggalkan pastori, Lik Gimin berkali-kali minta maaf kepada Pak Pendeta dan mengucapkan terima kasih.

“Tidak apa Lik Gimin. Ini sudah menjadi tugas saya. Karena saya tidak pernah takut dengan Lik Gimin”.

Pungkas Pak Pendeta. Lik Gimin mengulurkan tangan sambil nyengeges karena merasa disindir oleh Pak Pendeta.

Silakan dibagi

1 thought on “Pastoral dan Tindakan Politik

  1. Seorang yang bernama, Dalijo, orang desa, ketika menjadi peserta sidang klasis,dan baru santainya mendengarkan tanggapan-tanggapan dari peserta sidang sambil merokok nyantai, dalijo pun terganggu. Berkali-kali mengacungkan jari untuk bicara,dan akhirnya Dalijo diberikan waktu untuk bicara. Dalijo dengan santainya berkata : “bapak ibu dan saudara, kita semua peserta sidang klasis, apa artinya jika sidang klasis justru membicarakan orang lain dan orang itu tidak ada ditempat untuk memberikan penjelasan, selama tidak ada proses klarifikasi, maka itu namanya gosip, apakah sidang klasis itu membuat gosip???….terimakasih! Dalijo pun, segera menyambung rokok suryanya kembali.

Comments are closed.