Tulisan ini diambil dari orbituari almarhum Pdt.Em. Brotosemedi Wiryotenoyo yang dimuat di www.pgi.or.id . Beliau adalah seorang pendeta GKJ Sidomukti, Salatiga.
Sosok Pdt. Brotosemedi memang figur yang penuh pertentangan. Seorang rekan pendeta pernah berkomentar dalam forum sidang sinode, “Kita tahu siapa Brotosemedi Wiryotenoyo, siapa yang tidak dilawan olehnya?” Era tahun 1980-an kondisi sosial politik didominasi oleh kekuasaan tunggal di tangan Presiden Soeharto. Dengan mengikuti panggilan imamat am orang percaya, panggilan kenabian, dan panggilan rajawi, Pdt. Brotosemedi pribadi menyurati Presiden mengingatkan bahwa pembunuhan preman-preman di tahun 1983 dengan istilah. petrus (penembak misterius) dan. matius (mati misterius) adalah bertentangan dengan kemanusiaan dan hukum, tak berapa lama kemudian ada kiriman mayat digeletakkan di halaman rumahnya. Juga sikap bahwa pemaksaan asas tunggal Pancasila bahkan juga kepada ormas keagamaan termasuk gereja adalah suatu intervensi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara iman. Masa yang dirasa paling sulit adalah ketika Gubernur Ismail menjabat, koran-koran di Jawa Tengah yang biasa memuat tulisan Pak Broto tak ada yang berani memuat artikel yang ditulisnya, “Itu kan membunuh nafkah orang. Anak saya enam orang, harus mencari tambahan penghasilan, dan menulis yang bisa saya lakukan, kok itupun dicekal!”
Saat ditanya mengapa banyak pendeta tidak punya nyali, padahal juga mendapatkan pendidikan dan cara berpikir sebagaimana yang dimiliki Pak Broto, diutarakan bahwa, “Masalah para pemimpin umat sekarang adalah mereka ketidakberanian menyatakan sikap, yang lebih dipikirkan adalah keselamatan diri sendiri. Situasi sebagai kelompok minoritas ini seperti konteks jemaat yang menerima surat 1 Petrus, mereka kelompok kecil yang tersebar di bawah kekuasaan kekaisaran Romawi, karena itu harus siap memberikan pertanggungjawaban atas imannya kepada dunia. Sindrom minoritas membuat takut, dan cenderung memikirkan keselamatan diri terlebih dulu. Bila pendeta malah ikut partai politik, tak mungkin ia berani mengkritisi partainya sendiri.”
Bahwa sebutan yang dipakai sekarang itu adalah pendeta, bukan domine, atau dominus, yang berarti tuan. Budaya Jawa menempatkan pendeta sebagai pemimpin rohani. Oleh karena itu oleh kerohaniannya haruslah “pawitreng aryanalaksita” yang berarti bening dalam perkataan dan perilaku. Supaya bening harus mendhitani, tak bisa bersikap sebagai tuan. Pedoman yang dipakai untuk rujukan adalah Kitab Suci, Pokok Ajaran Gereja, dan Tata Gereja. Itu haruslah dengan tegas ditempatkan sebagai pedoman hidup dan pelayanannya.