Pendidikan Feminis Bagi Perempuan

Silakan dibagi

Sebuah Upaya Mempercepat Pencapaian Keadilan Untuk Semua
Pdt. Sri Yuliana, M.Th — Ketua Departemen LITBANG GKSBS <<<

 

gambar ilustrasi diambil dari google
gambar ilustrasi diambil dari google

Pendidikan orang dewasa dan orang muda merupakan kunci bagi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat dunia terutama perempuan. Fakta menunjukkan mayoritas perempuan masih terpinggirkan dan miskin. Jumlah perempuan buta huruf, miskin, kurang gizi, meninggal karena melahirkan dan tidak punya pekerjaan masih sangat tinggi. Wajah kemiskinan dunia masih didominasi oleh wajah perempuan dan dunia tidak bisa keluar dari kemiskinan ini tanpa mensejahterakan perempuan. Untuk itu dibutuhkan trasformasi sosial politik yang memungkinkan terbangunnya sistem nilai, struktur dan lembaga yang adil dan setara. Dalam konteks inilah, merevitalisasi Pendidikan Orang Dewasa (POD) dapat menjadi alat terjadinya transformasi sosial politik dalam masyarakat.

Fakta lain memperlihatkan bahwa jumlah anggota Gereja yang aktif dalam persekutuan didominasi oleh perempuan. Maka, Gereja merupakan lembaga yang turut bertanggung jawab atas terjadinya transformasi sosial politik melalui upaya-upaya pendidikan dan pemberdayaan bagi perempuan secara optimal. Pendidikan feminis bagi perempuan merupakan langkah strategis untuk membangun kesadaran kritis dan aksi-aksi transformatif.

Melalui pendidikan feminis, Gereja membantu perempuan untuk dapat mendefinisikan dan merekonstruksi pola hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan yang selama ini timpang menjadi lebih adil, dan ini akan menjadi pondasi utama bagi perempuan untuk mewujudkan hak-hak asasinya.

Pendidikan Feminis, Langkah Awal Mendobrak Kesadaran Semu Perempuan

Pendidikan feminis merupakan salah satu aliran dari model pendidikan yang ingin membangun kesadaran kritis dan analisa kritis terhadap realita sekaligus mendorong aksi-aksi transformative untuk keadilan dan kesejahteraan.

Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan yang popular, menyebutkan bahwa proses pembelajaran kritis adalah sebuah siklus dari proses refleksi – aksi – refleksi yang terus menerus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Tetapi menurut kaum feminis, pendidikan kritis belum berhasil mengidentifikasi dan menganalisis secara tajam hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan yang selama ini masih timpang dalam masyarakat. Seringkali, tatkala berbicara soal kasus-kasus perempuan, kita mengeneralisasikannya sebagai masalah orang dewasa [laki-laki dan perempuan]. Atau banyak program yang dibuat bagi orang dewasa dengan pola pikir general. Contohnya: saat membahas Undang-undang mengenai Hak-hak Asasi Manusia (HAM), yang mengatur secara umum hak dan kewajiban orang dewasa secara umum dalam kehidupan sehari-hari dan hak-kewajiban dalam perkawinan. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, banyak masalah-masalah HAM yang dialami perempuan dan tidak tercantum secara rinci dalam Undang-undang tersebut. Kaum feminis menentang generalisasi tersebut karena banyak pasal-pasal dalam UU di Negara kita ini dibuat dalam konteks patriakhi, sementara perempuan memiliki pengalaman yang khas dan spesifik sebagai kelompok yang dinomorduakan dan disubordinasi dalam masyarakat. Jadi tidak mungkin melakukan proses pembelajaran yang netral gender karena dengan sendirinya akan meminggirkan kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuasaan dalam sistem, struktur, dan kelembagaan patriakhi.

Maka, tujuan dari pendidikan feminis adalah ingin membangun kesadaran kritis perempuan dengan mengajaknya mengenali sebab-sebab struktural dari penindasan, penaklukan, dan subordinasi yang dialami perempuan dalam kehidupan sehari-harinya. Dari sini perempuan kemudian diajak untuk melihat dirinya sendiri sebagai pembuat sejarah, bukan hanya sebagai obyek pasif belaka. Dengan demikian, kesadaran kritis perempuan menjadi elemen yang sangat penting dalam proses pemberdayaan perempuan yang memampukannya melawan dominasi dan penindasan yang dilegitimasi oleh sistem nilai dan struktur patriakhi.

Melalui metode-metode yang menggugah, pendidikan feminis mengajak perempuan untuk menelusuri seluruh pengalaman hidupnya. Pengalaman hidup perempuan inilah yang kemudian digunakan untuk mengungkap dan menunjuk nilai, system dan struktur yang selama ini tidak disadari oleh perempuan telah mensubordinasi, menaklukan dan memeras perempuan. Salah satu contoh, metode yang digunakan adalah merefleksikan otonomi tubuhnya, dengan meraba tubuhnya dari kepala sampai ke ujung kaki. Melalui metode ini, perempuan mulai mengenali secara kritis tubuhnya sendiri termasuk organ-organ reproduksinya yang selama ini tabu untuk dibicarakan terbuka dimuka publik. Dari pemahaman yang baru ini kemudian ditunjukkan nilai, struktur dan lembaga-lembaga mana saja yang telah melegitimasi keterasingan perempuan dari tubuhnya sendiri.

Konteks perempuan yang hidup didalam budaya patriakhi masih memiliki kesadaran semu, bahwa apa yang selama ini diajarkan kepada mereka tentang perempuan, dianggap sebagai kebenaran dan sudah mendarah daging sehingga sulit diubah dan didobrak karena sudah berakar kuat pada nilai-nilai yang mensubordinasikan perempuan dan memposisikan perempuan pada wilayah domestik. Ranah domestic inilah yang paling sulit ditembus karena ranah domestic merupakan arena perjuangan yang berada dalam ruang-ruang privat yang tak terjamah public dan hubungan antar anggotanya seringkali terikat dalam hubungan emosional dan ketergantungan yang sangat kuat. Perempuan seringkali lebih mudah berteriak menentang ketidakadilan diluar rumahnya atau di publik, tetapi menjadi terdiam ketika itu terjadi didalam rumahnya sendiri bahkan jika itu dialaminya sendiri. Atas nama “cinta” atau “mempertahankan nama baik keluarga” perempuan harus berpikir beribu kali sebelum melakukan aksi-aksi transformative di ranah domestik.

Pendidikan Feminis, Memperkuat Solidaritas dan Membangun Perdamaian

Salah satu kekuatan dari pendidikan feminis adalah kemampuannya untuk membangun dialog diantara kelompok-kelompok perempuan yang ada, yang pada akhirnya akan membuat perempuan menjadi promoter perdamaian di komunitasnya. Prinsip dari pendidikan feminis adalah prinsip sisterhood atau persaudaraan perempuan. Prinsip ini dikembangkan dengan keyakinan bahwa setiap perempuan dimanapun ia berasal dan berlatar belakang apapun pasti akan mengalami masalah-masalah akibat ideologi patriakhi.

Kesamaan nasib inilah yang diproses dalam pendidikan feminis sehingga muncul solidaritas yang kuat diantara sesama kelompok perempuan. Misalnya, kesamaan masalah yang mereka alami dalam mengakses air bersih atau pelayanan kesehatan. Lantas mereka bahu membahu memperjuangkan isu-isu tersebut di Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes).

Apa Yang Harus Dilakukan Oleh Gereja?

Pertama, Gereja harus meyakinkan seluruh anggotanya untuk mendukung diadakannya Pendidikan Orang Dewasa (POD) termasuk Pendidikan Feminis. Kedua, Gereja menyepakati untuk menetapkan sekurang-kurangnya 6 persen dari budget pendidikan dan pelatihan dialokasikan untuk pendidikan orang dewasa dan orang muda. Ketiga, dukungan politik [kebijakan] Gereja dan dana yang cukup akan memastikan POD termasuk pendidikan feminis dapat bekerja dengan baik di masyarakat termasuk kelompok-kelompok perempuan dan disekolah-sekolah.