
Musyawarah Majelis Klasis (MMK) Sribawono akan dilaksanakan pada 9 Nopember 2015 di GKSBS Sumberhadi. Mengambil tema Mewujudkan Rumah Bersama Yang Nyedulur dan Menyenangkan, dengan mengambil perikop dari Kisah Para Rasul 2:47 sebagai refleksi temanya.
Jemaat Kristen Awal
Kekristenan dibentuk oleh semangat: persudaraan, kebersamaan dan kerelaan berbagi. Dan inspirator yang menjadi energi dari semangat ini adalah: Yesus
Memang, kekristenan lahir di tengah-tengah tekanan dan penganiayaan. Karena keadaan ini – sampai-sampai Paulus dalam suratnya kepada Timotius menuliskan: “ Memang setiap orang yang mau hidup di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya, …” (Tim 3: 12). Para pengikut Yesus, pasca penyaliban, difitnah, dikejar-kejar, ditangkap, dipenjara dan dianiaya oleh persekongkolan penguasa agama dan politik. Tetapi, semangat dan nilai-nilai kebersamaan, persaudaraan dan kerelaan berbagi itu bukan semata karena pengalaman ketertindasan yang mereka alami, melainkan telah mendapatkan dasar yang jauh sebelumnya, yakni pada praktek komunitas Yesus.
Yesus bukan saja membangun gaya hidup asketik (tarak, mengendalikan diri), melainkan juga gaya hidup berkomunitas yang dihidupi oleh semangat persaudaraan. Banyak peneliti meyakini bahwa semasa hidupNya, Yesus – sekali pun bukan bagian dari komunitas Eseni[1] – simpatik dengan praktik hidup komunitas Eseni yang hidup sederhana dan memuliakan kebersamaan dan persaudaraan. Gaya hidup yang disemangati oleh kebersamaan dan persaudaraan – bukan sebuah kebetulan – jika – selaras dengan nilai-nilai Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus.
Apa yang dipraktikkan dalam komunitas Kristen awal sebagaimana diceritakan oleh Kis 2: 41-47 dapat dipastikan bukan hanya semata sebagai strategi beradaptasi dalam menghadapi tekanan sosial yang ada, melainkan juga merupakan penafsiran jemaat Kristen awal terhadap Injil Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus semasa hidupNya. Gaya dan praktik hidup yang disemangati oleh kebersamaan, persaudaraan dan kerelaan berbagi dipahami oleh jemaat Kristen awal sebagai bentuk ekspresi Injil Kerajaan Allah.
Ternyata ekspresi Injil yang dipraktikan oleh jemaat Kristen awal, benar-benar menjadi Injil (Kabar Baik) yang menjadi daya tarik bagi masyarakat pada jamannya.
Memang, pada jaman Yesus, masyarakat Yahudi sedang mengalami kehidupan sosial yang berat akibat penjajahan Romawi. Disamping teror, masyarakat juga mengalami eksploitasi ekonomi – melalui pajak yang memberatkan. Kemiskinan merajalela. Kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin lebar menganga. Ketidak-adilan terjadi dimana-mana.
Dalam kondisi sosial seperti itu agama (kaum ulama) justru mengembangkan praktik beragama yang legalistik. Melalui peraturan-peraturan dan ritual-ritual kegamaan yang dikembangkan oleh para ulama, membuat orang miskin semakin terpinggirkan dari kehidupan. Agama – yang dikuasai oleh para ulama – yang seharusnya memiliki fungsi pembebasan justru bersekongkol dengan penguasa Romawi dan melanggengkan penjajahan. Inilah sebabnya – menurut George Fixley – serangan Yesus diarahkan kepada (penguasa) Bait Allah Yerusalem.
Gaya hidup yang disemangati oleh kebersamaan, persaudaraan dan kerelaan berbagi, bagi masyarakat yang ditekan oleh praktik keagamaan yang legalistik dan penindasan secara sosial-politik, benar-benar menjadi Injil (Kabar Baik) – yang menolong mereka melihat hidup yang lebih berharga daripada makanan dan minuman atau pakaian (bdk. Mat 6: 25). Bahkan lebih penting daripada agama (bdk. Mrk 2: 27).
Pergulatan manusia jaman ini
Dari pemetaan pokok-pokok keprihatinan yang dilakukan melalui pelawatan di jemaat-jemaat selama September sampai dengan Oktober 2015, jemaat-jemaat di lingkungan Klasis Sri Bhawono ditemukan kondisi – dalam masyarakat jaman ini – yang mirip dengan kondisi yang dialami oleh jemaat Kristen awal. Kesenjangan sosial, keterpinggiran orang-orang miskin, lansia, kaum muda, anak-anak, “kelompok yang berbeda pendapat”, kaum LGBT, orang-orang yang berkebutuhan khusus (difabel), “orang-orang berdosa”, praktik beragama yang legalistik, penyelenggaraan negara yang tidak efektif dan korup merupakan realitas yang terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini. Masyarakat kita terkotak-kotak dalam sekat-sekat primordial, sosial dan ideologis – yang mengancam keutuhan masyarakat dan kemanusiaan. Apa yang bisa diharapkan dari kondisi masyarakat seperti ini? Masyarakat kita kehilangan harapan hidup. Lalu kalap dan aji mumpung. Manusia dikuasai oleh sikap pragmatis dan menghalalkan segala cara untuk menguasai dan mengkonsumsi sebanyak-banyaknya. Ini sesungguhnya cerminan dari masyarakat yang frustrasi – karena tidak menemukan makna dan harapan atas hidupnya. Praktik beragama yang legalistik sesungguhnya hanya digunakan sebagai obat pematirasa atas frustrasi yang dialami oleh masyarakat. Maka semaraknya kehidupan beragama tidak berbanding lurus dengan perkembangan kualitas moral dalam masyarakat.
Masyarakat jaman ini membutuhkan Injil yang membuat orang yakin se-yakin yakinnya bahwa materi, kekayaan, kekuasaan, popularitas, kepandaian bukanlah segala-galanya. Ada yang jauh lebih mulia dan berharga dari semua itu, yakni: hidup! Jalan menemukan hidup itu tidak ada lain kecuali: “jalan Kasih” (bdk. Yoh 14: 6). Kebersamaan, persaudaraan, kerelaan berbagi merupakan ekspresi nyata dari “jalan Kasih” yang diwartakan oleh Yesus.
Komitmen Rumah Bersama
Menjadikan masyarakat dan gereja sebagai Rumah Bersama sudah menjadi komitmen GKSBS sejak 2005. Komitmen ini semakin diperkuat dengan disepakatinya Rumah Bersama sebagai eklesiologi GKSBS. Apakah itu Rumah Bersama?
‘Rumah Bersama adalah metafora yang dipergunakan oleh GKSBS dalam rangka kontekstualisasi eklesiologi. Sebagai ungkapan teologis Rumah Bersama dipahami sebagai gairah untuk beriman. Rumah Bersama sebagai ungkapan ideologi dipahami sebagai arena dimana GKSBS mengaktualisasikan nilai-nilai kebersamaan, paersaudaraan, dan penghargaan dalam relasi sosialnya di daerah Sumatera bagian selatan, meliputi provinsi: Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Jambi, yang didiami oleh masyarakat beraneka suku dan gereja-asal anggota-anggotanya’.[2]
MMK GKSBS Klasis Sri Bhawono 2015
Gereja Penghimpun Musyawarah Majelis Klasis (MMK) 2015 dan MPK GKSBS Klasis Sri Bhawono memahami bahwa cara hidup yang dipraktikan oleh jemaat Kristen awal sebagaimana tertulis dalam Kis 2: 41-47 merupakan perwujudan dari “rumah bersama” yang di-impikan oleh GKSBS Klasis Sri Bhawono. Gereja Penghimpun Musyawarah Majelis Klasis 2015 bersama MPK GKSBS Klasis Sri Bhawono memahami bahwa “rumah bersama” yang dipraktikan oleh jemaat Kristen awal juga merupakan Injil (Kabar Baik) yang dibutuhkan oleh masyarakat jaman ini. Oleh karena itu Gereja Penghimpun Musyawarah Majelis Klasis 2015 bersama MPK GKSBS Klasis Sri Bhawono ingin menjadikan Musyawarah Majelis Klasis 65, 2015 sebagai momentum untuk menjadikan kehidupan ini, Lampung Timur dan GKSBS Klasis Sri Bhawono sebagai rumah bersama yang menyenangkan, dimana semua orang bisa diterima sebagai saudara, dihargai dan mendapat ruang yang luas untuk beraktualisasi diri dan berpartisipasi dalam membangun kehidupan bersama.
***
Gereja Penghimpun MMK
GKSBS Klasis Sri Bhawono 2015
[1] Komunitas Eseni atau kaum Eseni merupakan sekelompok orang yang hidup memisahkan diri dari komunitas pada umumnya. Mereka hidup berkelompok dan memberlakukan semangat kebersamaan secara ekstrem. Tidak ada konsep kepemilikan individual, melainkan kepemilikan kolektif. Mereka hidup asketik dan mempraktekkan budaya nir-kekerasan. Diduga Yohanes Pembaptis merupakan anggota dari komunitas Eseni.
[2] Tata Gereja GKSBS, Penjelasan Istilah, hal 103.