Konteks Dan Panggilan GKSBS Era 2016

peta SUMBAGSEL
peta SUMBAGSEL

Pengantar

Dalam perjumpaan pribadi Yesaya dengan Allah, Yesaya menyadari siapa Allah dan siapa dirinya. Allah adalah maha Kudus dan penuh kemuliaan. Sedangkan dirinya adalah orang yang najis bibir. Perjumpaan pribadi dengan Allah, Ia menyadari akan keterbatasan dan kekurangannya.

Allah yang memulihkan keadaan Yesaya. Bibirnya disentuh dengan bara api yang diambil dari mezbah suci. Yesaya dipersiapkan dalam bentuk “ajakan” atau “tantangan” yang membutuhkan respon pribadi. Respons Yesaya atas panggilan Allah dengan menjawab, “Inilah AKU, utuslah AKU!” Ia menunjukkan suatu kesadaran dan penyerahan diri yang penuh bagi pelayanan dan pengabdian diri kepada Tuhan.

Ketika kita menyebut AKU. Maka AKU itu ada sebagai pribadi dalam ruang dan waktu. Maka salah satu bagian penting dari inilah Aku adalah disini Aku. Kita perlu menyadari dimana dan apa yang mempengaruhi “AKU” sebagai GKSBS yang tidak terpisah dari di sini yaitu Sumbagsel.

Aku GKSBS

Sebuah lembaga bernama GKSBS yang ada sekarang, berusia hampir 30 tahun. Namun apa yang ada sekarang ini adalah akumulasi dan pergumulan panjang. Ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi dirinya yang kemudian menjadi dirinya sendiri. Beberapa faktor tersebut adalah :

  • Migrasi

Penghuni generasi pertama (awal) adalah para migran. GKSBS hanya 0.03 % memiliki warga yang leluhurnya berada di Sumbagsel. Jadi hampir 100% generasi pertama dari dari warga GKSBS adalah para pendatang. Sebagaimana umum terjadi di Indonesia, fenomena migrasi selalu dimulai dengan pembentukan kantong-kantong (enclave) dengan berupaya membangun diri sendiri dengan bumbu romantisme dan kepahitan masa lalu bercampur dengan harapan mengembangkan lahan dan kejayaan masa depan. Hal yang penting di sini adalah interaksi dengan yang lain terjadi untuk pemenuhan kebutuhan, belum sebagai sebuah kesadaran kekinian, yang perlahan lahan di tahun 90an muncul.

Warga GKSBS sekarang, umumnya adalah generasi pertama, kedua dan ketiga sesuai dengan piramida sosial kependudukan. Namun keberadaan kantong kantong (Mis, Jember, Jatim, Solo, Banyuwangi, Batak dll) masih terasa dan secara lokal (jemaat) sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Migrasi ini secara proses ada yang bernama transmigran, perantau atau kaum urban di perkotaan. Salah satu fakta penting dan berpengaruh dalam fenomena migrasi ini adalah transmigran. Perpindahan penduduk dari Pulau Jawa dan Bali ke Sumatra bagian Selatan.

  • Pertanian

Tidak bisa dipungkiri bahwa yang melakukan migrasi adalah disebabkan oleh persoalan sempitnya lahan pertanian (jawa) dan kemudahan mendapatkan lahan (Sumbagsel). Maka yang menjadi pekerjaan dari mayoritas warga GKSBS adalah pertanian. Maka ketertarikan akan pada persoalan tanah dan segala fenomenanya kuat. Karakter dan sifat “Petani” yang ditengarai oleh beberapa peneliti sosial akan mudah terlihat pada pola ber-GKSBS. Misalnya, kebersamaan, samarata-samarasa, kedekatan dan ketergantungan pada alam dsb.

Secara spesifik lagi, pola pertanian yang utama adalah pola pertanian persawahan. Karakter-karakter pertanian lahan kering dan perkebunan berkembang kemudian. Artinya, pertanian diihat pada awalnya sebagai cara untuk bertahan hidup dimana keberadaan pangan dan padi sangat penting. Baru kemudian berkembang menjadi perladangan dan perkebunan untuk memenuhi hasrat pengembangan.

  • Pengembangan Gereja Lokal

Keinginan untuk mandiri dan dewasa “mempunyai pendeta sendiri” yang kuat. Walau system presbiterial sinodal telah diresmikan sebagai tradisi dan dipertahankan hingga sekarang, system ini tidak dapat dikatakan sebagai satu-satunya memory bergereja yang ada di GKSBS. System presbyterial sinodal itu juga hasil kompromi sosial dengan berbagai system bergereja seperti Sinodal, Conggregational, Episkopal dll. Presbyterial Sinodal tumbuh subur karena didukung oleh hasrat untuk pengembangan gereja (bersuasana) lokal yang kuat. Maka pergerakan untuk target-target lokal itu menjadi mudah. Sebaliknya akan menjadi lebih sulit bila berupaya menjangkau sesuatu yang ada di luar suasana lokal tersebut.

 

Aku Di Sini, Di SUMBAGSEL

GKSBS berada di empat provinsi di Pulau Sumatera yakni Provinsi Lampung, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jambi dan Provinsi Bengkulu. Sebagaimana gereja di wilayah lain Indonesia, empat provinsi ini diselubungi oleh nuansa pluralitas (etnis, agama, budaya) dan kemiskinan. Kemiskinan dan pluralitas tidak pernah hadir sendiri. Secara umum, dua variable sosial ini akan hadir dan terkait dengan bencana sosial (kekurangan pangan dan konflik) dan alam (kerusakan ekologi ). Faktor-Faktor dan Variabel sosial di atas diperhitungkan sebagai tempat berada GKSBS 2015-2020.

  • Kemiskinan Dan Konflik
Tabel tingkat kemiskinan propinsi di pulau Sumatera
Tabel tingkat kemiskinan propinsi di pulau Sumatera

Tabel di atas menunjukkan bahwa wilayah pelayanan GKSBS berada pada urutan ke 2,3,4 termiskin di Sumatera. Secara keseluruhan di empat provinsi, tingkat kemiskinan berada di kisaran 15-17 %.

Ketika kemiskinan dimaknai sebagai kesenjangan terhadap kepemilikan dan akses terhadap sumber daya, maka yang terjadi di wilayah ini adalah kesenjangan terhadap kepemilikan dan akses pada lahan pertanian. Hal ini terjadi karena mata pencaharian yang menghasikan pendapatan kepada penduduk adalah pertanian. Ketika akses dan pembagian terhadap lahan berlaku tidak adil, maka kesenjangan akan semakin luas dan konflik sosial akan mengikutinya.

capture3

Konflik akan meluas dalam bidang kehidupan yang lain yakni konflik sosial. Seperti yang terjadi di Lampung, pihak keamanan telah menetapkan tiga wilayah sebagai daerah potensi konflik di Lampung (Mesuji, Lampung Selatan dan Lampung Timur) dan setidaknya ada 112 titik konflik besar terjadi di Lampung (2013). Di wilayah ini, ditemukan 200 kasus konflik tanah.

  • Kerusakan Lingkungan Hidup

Seiring dengan kebutuhan akan lahan khususnya lahan untuk pemodal berskala besar (perkebunan), persoalan kerusakan lingkungan hidup pun tak terelakkan kita hadapi. Berita tentang kebakaran lahan, khususnya lahat gambut, pun menjadi berita yang tiap waktu terdengar. Kebakaran dan Asap yang menyebabkan berbagai penyakit juga menjadi trending topic. Persoalan ini pun tidak dapat dilepaskan dari kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai peruntukan lahan dan hutan di Indonesia. Semenjak dimulainya hak penguasaan hutan (HPH) dan mulai bergeser ke sektor-sektor perkebunan, HTI maupun tambang, maka wilayah hutan pun menjadi lahan kritis dan menjadi hutan sekunder. Di Riau misalnya, bahwa sekitar 300an titik api yang ada justru terjadi dalam wilayah konsesi HTI dan perkebunan. Di Sumatera Selatan, kerusakan lingkungan hidup, kebakaran lahan baik yang terjadi di HTI dan perkebunan skala besar pun juga terjadi.

jika kita melihat jumlah luas lahan kritis secara nasional pada tahun 2013 ada lahan kritis 22.025.581 Ha dan lahat sangat kritis 5.269.260 Ha. Total luas lahan seperti itu ada di Pulau Sumatera, dan angka tertingginya adalah di Sumatera Selatan, yaitu seluas 3.886.062 Ha.

Dalam situasi kesulitan khususnya dalam hal kemiskinan dan bencana,maka yang paling banyak merasakan dampak negatifnya adalah kelompok perempuan. Pembatasan akses dan minimnya keterlibatan serta peran ganda yang dituntut dari mereka semakin memojokkan kaum perempuan. Untuk itu ketidak adilan menjadi sangat melekat dalam peran peran mereka di masyarakat`

Tabel Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan 2001 - 2012
Tabel Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan 2001 – 2012
  • Pluralitas

Kehidupan kepelbagaian di bumi Sumatera bagian Selatan diwarnai dengan kehadiran berbagai agama, aliran kepercayaan dan suku . Sebelum terjadi perpindahan penduduk dalam skala nasional, Sumatera bagian Selatan telah dihuni oleh hampir 50 ethnis/ subethnis yang mengembangkan dan hidup dengan kebudayaan masing-masing. Persaingan modernisasi dan Kebijakan Pemerintah yang mengabaikan dan memarginalkan kehidupan mereka adalah tindakan yang tidak berkeadilan.

Kepelbagaian ini disatu sisi merupakan modal untuk penanggulangan masalah kemiskinan tetapi disisi lain dapat berubah menjadi mesiu yang menyebabkan konflik. Menarik mencermati bahwa orang-orang yang mengatas –namakan kelompok denominasi ethnis mulai masuk ke wilayah konflik, khususnya saat saat peristiwa peristiwa besar seperti pemilihan umum/ Pilkada berlangsung atau dalam sengketa-sengketa lahan. Ini menguatkan dugaan bahwa denominasi bukanlah penyebab konflik, tetapi dapat membuat konflik kecil menjadi konflik berskala besar ( Hartoyo 2013). Akan menjadi modal yang baik, apabila dialog dapat dibangun, tetapi sikap tertutup dan membangun stigma-stigma justru akan mudah dipakai sebagai alasan untuk berkonflik.

Utuslah Aku

Pengutusan, sebagaimana layaknya pengutusan Yesaya adalah memakai orang-orang/ lembaga dengan berbagai faktor kekurangan dan kelebihan AKUnya untuk diperbaharui bersama dengan lingkungannya. Di sini panggilan pengutusan sekaligus menjadi berkat pembaharuan diri untuk dan bersama lingkungan hidupnya. Ringkasnya, bagaimana GKSBS yang berkarakter kuat dalam migrasi, pertanian dan pengutamaan gereja lokal dengan segala kelebihan dan kekurangannya dipanggil diperbaharui dan dipanggil bersama dengan konteksnya yang miskin, rawan konflik dan bernuansa kepelbagaian untuk bersama-sama menjadi areal Kerajaan Allah dimana shalom (damai sejahtera) menjadi ideologinya.

GKSBS sebagai gereja selalu berupaya untuk diperbaharui untuk itu. Pada tahun 2010 di Sidang Sinode X di Buay Madang dan tahun 2015 di Sidang Sinode XI Kotabumi, GKSBS telah mensahkan eklesiologynya yang disebut sebagai Eklesiology rumah bersama. Dalam eclesiologi dijelaskan bahwa GKSBS dihadirkan di Bumi Sumatera Selatan untuk menghadirkan suasana persaudaraan bagi semua.

Eklesiology tersebut lahir dari konteks historisnya. Artinya, benih benih Rumah Bersama telah ada di sepanjang sejarah perjalanan sebagai gereja. Beberapa di antaranya adalah keputusan untuk menjadi Gereja daerah bukan gereja suku dan hasrat melayani sebagai Hamba yang Setia adalah beberapa thema thema persidangan yang diusung untuk menegaskan panggilannya untuk menghadirkan Kerajaan Allah di Sumbagsel.

Tidak hanya thema persidangan, cara pendekatan dan pengelolaan program juga diupayakan untuk selaras dengan nilai-nilai yang diusung. Pendekatan Appreciative Inquiry yang mengutamakan penjajagan kebaikan membantu untuk menghadirkan pengharapan dan penghargaan terhadap yang lain. Demikian juga pemilihan pengutamaan modal social membantu GKSBS untuk menyadari diri sebagai sebuah lembaga yang tidak mengutamakan Finansial dan Sumberdaya yang lain sebagai intervensi utama.

Pada tahun 2010 thema persidangan berupa sebuah pertanyaan ”Berapa Roti Ada Padamu, Cobalah Periksa…” sebagai panggilan bagi GKSBS untuk merasa diri cukup dan mulai berbagi karunia yang dimiliki, telah mendorong perubahan-perubahan cara pandang melihat diri. Dengan tema tersebut, GKSBS berasumsi telah mengetahui berapa roti yang dimiliki baik individu, jemaat, klasis maupu secara sinode. Seberapa detail kita mengetahui berapa banyak roti tentu tidak menjadi masalah sekarang. Tujuan pertanyaan adalah untuk menghadirkan rasa cukup, rasa sanggup, dan rasa siap untuk melakukan sesuatu.

Namun tidak serta situasi menjadi mudah. Dari data konteks di atas nampak bahwa GKSBS berada di wilayah/provinsi-provinsi yang tingkat kemiskinannya masih tinggi. Itu juga berarti berada di wilayah yang rawan terjadinya ketidakadilan dan konflik –konflik sosial maupun bencana yang lain . GKSBS berada pada situasi dimana nasih kaum petani menjadi taruhan dalam era pasar bebas Asean ini. Oleh karena itu, bagaimana GKSBS kemudian mengambil peran yan penting dan strategis untuk berjuang melawan kemiskinan. Bagaimana GKSBS dapat menjadi jaringan antar jemaat, serentak bergerak dan berjuang mewujudkan keadilan bagi semua pihak, khusus bagi mereka yang lemah ?

Isu-isu sosial, ekonomi dan lingkungan merupakan situasi GKSBS sekaligus situasi bersama dengan lembaga-lembaga masyarakat sipil (civil society) pada tahun 2015-2020. Bila dikategorikan Isu sosial social meliputi: konflik sosial dan konflik tanah, gender, dialog dan membangun jejaring antar ethnis dan antar golongan, Demokrasi dan Sustainable Development Goal’s (SDG’s). Isu ekonomi mencakup: peningkatan partisipasi desa dalam kesejahteraan masyarakat dengan penerapan UU Desa, perdagangan Asia dengan arah Masyarakat Ekonomi Asia (MEA). Isu ekology meliputi eksploitasi tanah, kerusakan lingkungan dan bencana alam.

Cukup, siap, dan sanggup adalah jawaban terhadap suatu panggilan yang kita sebut sebagai panggilan diakonia. Langkah selanjutnya adalah menjadikan jawaban kesanggupan menjadi sebuah tindakan konkrit. Maka Sidang XI Sinode GKSBS pada tanggal 4-7 Agustus 2015 di GKSBS Kotabumi mengambil tema: ”Menjadi Gereja Yang Berdiakonia” dengan sub tema: ”Bersama Masyarakat, Gereja Berpartisipasi Membangun Spiritualitas Kedamaian Men Kesejahteraan Yang Bermartabat” untuk menegaskan kembali panggilan GKSBS untuk menjadi Gereja Yang Berdiakonia.

 

********

Silakan dibagi