Respon kita terhadap kondisi lingkungan hidup (ekologi) bergantung pada cara berpikir yang membedakan antara human dan non human. Dalam sejarah peradaban manusia, semenjak munculnya Pencerahan (aufklarung) di Barat cara berpikir seperti itu semakin dipertajam dengan pemahaman dan kesadaran manusia sebagai subyek sejarah. Sebagai subyek sejarah, maka manusia melihat lingkungan yang ada di sekitarnya sebagai subyek, ciptaan non-manusia sebagai obyek manusia. Sejalan dengan itu, maka tafsir kisah penciptaan perlu tafsirnya ulang. Biasanya kisah tersebut melihat bumi dan segala isinya adalah dalam kuasa manusia yang pada gilirannya akan membawa semangat untuk mengeksploitasi bumi dan segala isinya. Tafsir ulang inilah yang dibutuhkan dan membangun teologi ekologi yang akan menyemangati usaha-usaha untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran. Informasi dan data tentang keadaan ekologi di Indonesia menjadi sebuah keniscayaan sebagai bagian proses refleksi teologis gereja terhadap ekologi. Inilah spirit yang menyemangati diselenggarakanya Training Of Trainer di gereja-gereja mitra PKN-PGI. Modul yang telah disiapkan oleh Steering Committe diujicobakan terlebih dahulu untuk selanjutnya bisa digunakan diseluruh Sinode Gereja mitra PKN-PGI.
Sinode GKSBS menjadi salah satu tuan dan nyonya rumah pada kali ini, berlangsung dari tanggal 17 hingga 19 Maret 2016 diikuti oleh 34 peserta dari tiap klasis dan Yayasan Bimbingan Mandiri (YABIMA INDONESIA). Proses ini difasilitasi oleh fasilitator dari PGI yaitu Pinrad Siagian, Deeby Momongan, Ely, Pdt. Henriette Nieuwenhuis dan Pdt.Riyadi Basuki serta fasilitator dari GKSBS sendiri oleh Pdt. Eric Timoteus Purba.
Menurut Pdt. Riyadi Basuki yang juga merupakan anggota Steering Committe menyebutkan, Output dari TOT ini adalah, ada 30 orang peserta pegiat ekologi yang mampu menggunakan modul dan juga terbentuknya tim fasilitator lokal yang secara bersama-sama akan melanjutkan peltihan di tingkat lokal (wilayah). Sedangkan untuk outcome yang diharapkan adalah agar Sinode-sinode bisa menggunakan modul ini, gereja-gereja mampu memiliki sikap tanggap menghadapi isu-isu ekologi, serta agar warga jemaat memiliki kepudilan/minat untuk terlibat dalam isu-isu.
Bagi GKSBS sendiri, program ini terkait langsung dengan salah satu isu yang menjadi concern GKSBS yaitu ekologi yang berkelanjutan. GKSBS sudah cukup lama mengadakan diskusi-diskusi, studi-studi mengenai isu tersebut. Mengingat bahwa GKSBS hidup dalam konteks ketidakadilan akses-akses sumber daya alam, maka kerja sama program kemitraan ini tentu saja akan semakin menguatkan para pihak dalam kapasitasnya sebagai pegiat lingkungan hidup. “GKSBS melalui program ekologi dan ekonomi yang berkeadilan akan menindaklanjutinya dalam konteks Sumbagsel”, demikian terang Pdt. Imanuel Damayanto Nugroho (Koordinator Program Ekologi dan Ekonomi GKSBS). Bentuk tindaklanjut ini salah satunya adalah mengadvokasi, mengkampanyekan isu ekologi yang berkelanjutan di seluruh jemaat-jemaat GKSBS yang tersebar di pelosok Sumbagsel.