Di Ultah ke 29 ini GKSBS berada pada situasi krisis yang penting. Krisis ini terkait dengan perubahan yang terjadi pasca Sidang XI Sinode GKSBS 2015 yang lalu. Perubahan yang paling signifikan adalah disepakatinya ‘rumah bersama’ sebagai eklesiologi GKSBS. Perubahan eklesilogi ini telah digunakan secara praktis sebagai landasan atas Tata Gereja GKSBS yang baru.
Namun harus disadari bahwa perubahan eklesiologi beserta dengan Tata Gereja GKSBS yang disahkan dalam Sidang XI Sinode GKSBS belum cukup dipahami di kalangan warga jemaat. Hal ini nampak dari berkembangnya sikap resisten, baik terhadap eklesiologi ‘rumah bersama’ maupun terhadap Tata Gereja GKSBS yang dibangun di atasnya.
Berkembangnya sikap resisten di kalangan warga jemaat dan jemaat, baik terhadap eklesiologi ‘rumah bersama’ dan Tata Gereja GKSBS yang dibangun di atasnya, jika tidak ditanggapi dengan benar, tidak menutup kemungkinan akan berkembang dan bukan saja mengancam eklesiologi ‘rumah bersama’ dan Tata Gereja GKSBS, melainkan juga bisa mengancam GKSBS secara keseluruhan.
Dalam menyambut HUT GKSBS ke 29 ini, saya ingin menyampaikan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan usaha memperkokoh Rumah Bersama, yakni: ‘rumah bersama’; Tata Gereja dan Kepemimpinan di GKSBS.
Rumah Bersama
Dalam Pembukaan Tata Gereja GKSBS yang disahkan dalam Sidang XI Sinode GKSBS 2015 yang lalu di sebutkan bahwa pengalaman sebagai transmigran diyakini sebagai pengalaman iman. Bukan hanya peristiwa sosiologi semata.
Melalui pengalaman sebagai transmigran, warga GKSBS menemukan nilai-nilai penting yang menghidupkan dan diyakini sebagai bentuk penyertaan Tuhan. Nilai-nilai kehidupan yang ditemukan oleh perjumpaan dengan sesama di daerah baru itu adalah: penghargaan; penerimaan dan persaudaraan. Nilai-nilai ini kemudian mengkristal menjadi sebuah kesadaran bahwa kehidupan ini adalah ‘rumah bersama’. Dan ketika gereja (GKSBS) dipahami sebagai pewarta kehidupan (lawan dari kematian) dan sebagai gambaran akan komunitas (masyarakat) yang paling ideal, maka para transmigran mengidealkan bahwa gereja (GKSBS) adalah Rumah Bersama.
Rumah Bersama merupakan tempat di mana semua orang, apa pun agama, suku, jenis kelamin, status sosial, orientasi seksual, pilihan politik, warna kulit dapat mengada secara bersama-sama dengan damai dan aman. Rumah Bersama adalah sebuah tempat di mana semua orang dapat diterima tanpa harus dipermasalahkan mengenai masa lalu dan cita-citanya. Rumah Bersama adalah sebuah tempat di mana semua orang merasa diterima, dihargai dan didukung untuk mengembangkan potensi dirinya. Rumah Bersama adalah sebuah arena di mana semua orang memiliki ruang yang seluas-luasnya untuk berpartisipasi dan berkontribusi untuk kehidupan bersama. Tidak ada monopoli atas ruang dan pemaknaan hidup. Itulah sebabnya, dalam eklesiologi ‘rumah bersama’ sangat ditekankan kesetaraan. Dan dalam perspektif ‘rumah bersama’, gereja dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak ada sekat dan tidak ada kutub. Jemaat, klasis dan sinode dipahami sebagai satu kesatuan dari wujud gereja. Tidak ada polaritas antara jemaat-klasis maupun jemaat-sinode. Dalam kerangka pemahaman ‘rumah bersama’, gereja adalah milik semua orang. Maka aspek musyawarah menjadi penting sebagai wadah dan mekanisme pengambilan keputusan.
“Musuh” terbesar ‘rumah bersama’adalah sikap eksklusif dan tertutup. Maka gagasan yang diwariskan dari pikiran Barat bahwa gereja sebagai sebuah komunitas tertutup sebagaimana pernah diperjuangkan oleh gereja-gereja di Barat, dinegasikan oleh ‘rumah bersama’. Dalil kesucian gereja sebagaimana di-ekspor oleh pikiran Barat, dimaknai secara baru dalam ‘rumah bersama’. Dalam ‘rumah bersama’, kesucian gereja lebih dipahami bahwa kehidupan benar-benar dihormati. Jika gereja warisan Barat menjaga kesucian gereja dengan cara menyingkirkan elemen-elemen yang “kotor” dari gereja, maka ‘rumah bersama’ menjaga kesucian gereja dengan cara menerima, merangkul dan memberi ruang yang seluas-luasnya bagi elemen yang “kotor” untuk tetap menjadi bagian dari gereja. Gereja disebut suci karena gereja menjaga kehidupan. Tidak ada hukuman atau pembalasan. Sebab – dalam ‘rumah bersama’ – pembalasan benar-benar disadari sebagai hak mutlak Tuhan. Dalam’rumah bersama’, semua bentuk ajaran dan tindakan yang merendahkan martabat manusia ditiadakan. Dalam ‘rumah bersama’, gereja menjadi suci karena memuliakan kehidupan. Maka menjadi sangat signifikan ketika menyambut peringatan ulang tahun ke 29, sebagaimana disampaikan via broadcast sms, Majelis Pimpinan Sinode GKSBS mengajak warga GKSBS untuk memuliakan dan mencintai kehidupan, serta menumbuhkan semangat anti kekerasan melalui aksi dan refleksi.
Perihal Tata Gereja
Sebagai sarana untuk menata dan menyelenggarakan organisasi, Tata Gereja GKSBS yang disahkan dalam Sidang XI Sinode GKSBS masih penuh dengan “lobang-lobang”.
Adanya “lobang-lobang” itu yang menyebabkan beberapa jemaat menyatakan tidak mau menerima atau tidak mau mempergunakan Tata Gereja GKSBS yang disahkan pada Sidang XI Sinode GKSBS.
Tanpa harus menyibukan diri pada penyebab adanya “lobang-lobang”, harus diakui bahwa Tata Gereja GKSBS hasil Sidang XI masih belum mampu menerapkan nilai-nilai ‘rumah bersama’ secara totalitas dan paripurna. Oleh karena itu menjadi sangat penting bagi Majelis Pimpinan Sinode GKSBS untuk segera menciptakan mekanisme penyempurnaan dengan cara-cara yang selaras dengan semangat ‘rumah bersama’. Sikap Majelis Pimpinan Sinode GKSBS yang acuh tak acuh dengan dinamika penyikapan Tata Gereja hasil Sidang XI tidak mencerminkan semangat ‘rumah bersama’.
Tata Gereja yang ada bukan hanya perlu disosialisasikan. Tetapi perlu untuk sempurnakan. Sikap seolah-olah Tata Gereja yang ada sudah final merupakan pengingkaran terhadap semangat ‘rumah bersama’. Sebab, sebagaimana hukum kehidupan, bahwa kehidupan tidak pernah final. Berkembang, terbuka adalah ciri-ciri dasar dari kehidupan.
Memang, revisi terus-menerus atas Tata Gereja bisa membingungkan. Maka yang dibutuhkan adalah mekanisme revisi yang memungkinkan dinamikan penyikapan atas Tata Gereja yang ada membuat nilai-nilai ‘rumah bersama’ menjadi semakin teraktualisasi secara matang.
Dalam Tata Gereja GKSBS hasil Sidang XI Sinode GKSBS sudah diatur mekanisme perubahan Tata Gereja. Dengan mempertimbangkan bahwa Tata Gereja yang ada saat ini memuat perubahan gagasan yang sangat radikal (mendasar), sementara banyak pihak, termasuk personil anggota MPS GKSBS belum sepenuhnya paham dan sadar atas adanya perubahan-perubahan mendasar itu, maka sebaiknya MPS GKSBS melakukan langkah-langkah ekstra untuk mengakomodir sikap resisten yang sudah berkembang di kalangan jemaat.
Mekanisme perubahan atas Tata Gereja sebagaimana tertuang dalam halaman 13 belum memberikan gambaran mengenai pembangunan partisipasi yang bersifat substantif dan berkualitas. Masih normatif sekali. Perubahan dilakukan hanya dilakukan melalui mekanisme rapat (MMK dan MMS). Padahal kita semua tahu bahwa ruang kajian dan partisipasi yang tersedia dalam MMK maupun MMS sangatlah terbatas. Apalagi jika MMK dan MMS masih menggunakan mekanisme yang tradisional sebagaimana biasanya.
Peran Kepemimpinan
Salah satu perubahan penting pasca Sidang XI adalah bahwa MPK yang sebelumnya merupakan singkatan dari Majelis Pekerja Klasis dan MPS sebagai Majelis Pekerja Sinode menjadi Majelis Pimpinan Klasis dan Majelis Pimpinan Sinode. Lalu di tingkat jemaat diadakan kelembagaan baru bernama Majelis Pimpinan Jemaat – yang disingkat MPJ.
Sekalipun tidak ada penjelasan mengenai alasan perubahan itu, tetapi bisa diduga bahwa para perancang Tata Gereja ingin menekankan peran dan fungsi kepemimpinan pada lembaga MPK dan MPS. Barangkali selama ini peran kepemimpinan itu kurang dirasakan.
Sebagaimana ditekankan di berbagai bagian, bahwa kepemimpinan dalam GKSBS sebagai ‘rumah bersama’ bersifat kolektif atau kebersamaan. Tetapi sangat disayangkan bahwa dalam penjelasannya di ayat-ayat, peran dan fungsi kepemimpinan itu justru sangat minim. Yang ditekankan justru peran dan fungsi manajerial. Mungkin para perancang Tata Gereja belum fasih membedakan antara fungsi kepemimpinan dengan fungsi manajerial.
Tetapi jika diperhatikan cara Majelis Pimpinan Sinode mengorganisasikan diri – yang lebih memahami diri sebagai lembaga eksekutor program, maka menjadi jelas bahwa personil MPS GKSBS yang ada saat ini juga cenderung memahami diri sebagai eksekutif atau eksekutor program, bukan pemimpin. Hal ini nampak pada dua hal, yakni: agenda rapat MPS dan pengorganisasian MPS GKSBS.
Sampai sejauh ini MPS GKSBS belum menghasilkan keputusan-keputusan yang sifatnya strategis. Rapat MPS GKSBS hanya membahas kasus-kasus dan hal-hal yang sifatnya teknis. Misalnya, sampai dengan saat ini jemaat-jemaat GKSBS belum mengetahui strategi pemberdayaan kelompok-kelompok kategorial di lingkungan GKSBS. Lebih menyedihkan lagi ketika anggota MPS GKSBS menyampaikan di depan pertemuan kaum perempuan di sebuah klasis bahwa MPS GKSBS yang sekarang berbeda dengan MPS GKSBS yang lalu. Yang sekarang hanya melaksanakan keputusan Sidang Sinode. Karena Sidang XI Sinode GKSBS tidak memberi mandat kepada MPS GKSBS melakukan pemberdayaan terhadap kelompok-kelompok kategorial, maka MPS GKSBS yang ada saat ini tidak memiliki kewajiban memberdayakan kaum perempuan, pemuda dan anak-anak.
Kasus di atas menunjukkan bahwa MPS GKSBS mengalami “gagal paham” terhadap peran dirinya. Sebab, apa pun kepanjangannya, MPS GKSBS memiliki 4 peran dan fungsi utama, yakni: (1) memimpin; (2) mempersatukan; (3) memberdayakan; (4) mengelola aset sinode. Dan bisa jadi bahwa “gagal paham” ini disebabkan oleh rumusan tentang peran dan fungsi utama MPS GKSBS dalam Tata Gereja yang dibuat dengan sangat tergesa-gesa.
“Gagal paham” yang dialami oleh MPS GKSBS juga tercermin dalam pengorganisasian yang dibuatnya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa MPS GKSBS saat tidak membentuk departemen sebagai Badan Pembantu. Dengan alasan untuk mengefektifkan peran anggota, MPS GKSBS membuat pembidangan wilayah kerja (program). Ada 4 bidang, yakni Identitas dan Pluralitas, Ekologi dan Ekonomi, Litbang dan Fundrising. Lalu, masing-masing bidang diserahkan kepada anggota MPS yang ditunjuk oleh rapat MPS.
Para penanggung jawab bidang berfungsi menjalankan program sendiri, bahkan sampai pada hal-hal yang sifatnya teknis.
Dalam kasus pengorganisasian, MPS GKSBS memperlihatkan dengan jelas bahwa pertimbangan memberdayakan anggota MPS, justru melupakan mandat utama MPS GKSBS, yakni memberdayakan jemaat dan kader jemaat. MPS GKSBS telah lupa bahwa dirinya adalah pimpinan Sinode GKSBS, bukan semata manajer.
Penutup: Harapan Terakhir
GKSBS saat ini – dengan Rumah Bersama – sedang memasuki proses perubahan besar yang memberi harapan.
Setiap perubahan besar membutuhkan pemimpin yang efektif. Bukan hanya manajer, apalagi pegawai administrasi.
Peran dan fungsi pemimpin yang terutama adalah soal memberi dan menjaga arah perjalanan bersama.
Rumah Bersama adalah arah perjalanan. Tetapi harus disadari bahwa Rumah Bersama belum begitu jelas bagi banyak pihak di GKSBS, bahkan di kalangan anggota MPS GKSBS sendiri. Dan jika ketidakjelasan ini tidak disikapi dengan benar, tidak menutup kemungkinan bahwa Rumah Bersama – dengan gagasan-gagasan indahnya – justru akan mengancam keberadaan GKSBS.
Yang mendesak harus dilakukan oleh MPS GKSBS adalah membangun kesadaran mengenai peran dan fungsi MPS GKSBS sebaga pemimpin, pemersatu, pemberdaya dan pengelola aset Sinode GKSBS. Lalu menerjemahkan peran dan fungsi ini dalam proses-proses manajemen yang efektif dan selaras dengan nilai-nilai ‘rumah bersama’. MPS GKSBS harus benar-benar menyadari bahwa MPS GKSBS bukan pimpinan kantor Sinode GKSBS. Bukan pula sebuah jemaat tersendiri yang bertempat di 15 Polos. Tetapi pemimpin Sinode GKSBS yang wilayahnya seluas Sumbagsel. Selamat memasuki harijadi ke 29. Semoga semakin menjadi rumah bersama.
***
Bujuk Agung, 6 Agustus 2016
Sugianto
Warga GKSBS Sumberhadi, bertugas untuk pemberdayaan masyarakat.
Doaku ; Semoga Gereja anugerah Tuhan ini tetap satu, tidak ada perpecahan.