Indonesia adalah Negara yang unik, sebagai modal dasar pembangunan, yang sekaligus juga secara bersamaan dapat menjadi faktor penghambat, sehingga bangsa yang unik ini bias menjadi bangsa yang terbelakang diantara bangsa-bangsa yang lain. Keunikan multipluralism agama,suku, rasa bahasa, warna kulit, ataupun segala bentuk kepentingan antar golongan, yang patut untuk diperhatikan juga yakni jarak antar pulau yang dipisahkan dengan laut. Lengkap sudah keanekaragaman dari bangsa ini.
Dengan keunikan tersebut, sangatlah tepat bagi pendiri bangsa ini untuk menciptakan semangat nasionalisme yang tidak menempatkan kekuatan Islam yang fundamental, yang secara bersamaan memerangi kapitalisme dan imperialism yang menyengsarakan dan menindas rakyat. Untuk itulah muncul kesepakatan-kesepakatan yang menghasilkan rasa nasionalisme-Islam dan Marxisme, yang termaktub dalam pembentukan falsafah Negara yakni Pancasila dan UUD 1945.
Panggilan semangat Nasionalisme atas rasa kebangsaan dan cinta tanah air memampukan Indonesia pada cita-cita untuk menjadi Negara “gemah ripah loh jinawe, toto tentrem raharjo, kalis songko samber kolo. Namun yang menjadi permasalahannya, apakah slogan itu hanya sekadar menjadi semangat dalam membangun dunia yang utopis atas dasar kesamaan dalam kesetaraan, membangun dan membentuk keadilan sosial dalam rangka bangun keunikan multipluralism.?
Membangun keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia, sudah tertuang dengan jelas dalam Pancasila dan UUD 1945, yang melihat secara keseluruhan bahwa Indonesia adalah Negara Agraris, namun kesejahteraan dan keadilan bagi petani jauh dari harapan.
Siapa itu petani ?
Menurut Arthur Theodore Mosher berpendapat ada keterhubungan dengan keberadaan matahari yang mempunyai peran yang penting, termasuk juga suhu dan air yang cukup akan menumbuhkan berbagai macam tanaman dan tumbuh-tumbuhan, yang sekaligus juga sebagai sumber pangan hewan, yang dikemudian hari manusia mengendalikannya dengan mengubah tumbuhan/tanaman, hewan serta sifat tanah untuk berguna dalam kehidupan manusia yang melakukan semua itu disebut petani, sedangkan Koentrjaraningrat berpendapat Petani /peasant adalah rakyat pedesaan, yang hidup dari pertanian dengan teknologi lama yang tidak terpisahkan dengan kebudayaan yang lebih besar yang dianggap jauh lebih halus dan beradab yangh disebut masyarakat kota. Dan menurut beliau system ekonomi dalam masyarakat petani itu berdasarkan pertanian(bercocok tanam, peternakan, perikanan, yang kemudian menghasilkan pangan dengan memakai teknologi yang sederhana dan keterbatasannya.
Dengan melihat hidup kesehariannya petani yang terikat dengan kepercayaan yang terus menerus berlangsung menjadi suatu kebiasaan yang menjadi system nilai dalam kehidupan mereka, seperti halnya dengan gotong royong mulai dari pembibitan sampai menuai/memanen. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa status sosial dalam masyarakat petani yang diwariskan pada masa kolonial yakni masa feodal membagi masyarakat petani menjadi dua golongan yakni golongan priyayi (kelas atas) dan wong cilik (kelas bawah). Suka ataupun tidak keadaan ini masih terasa di masyarakat desa.
Dengan melihat realitas kehidupan masyarakat petani, Maka bangunan Reforma agraria diharapkan mempersempit ketimpangan penguasaan dan pemilikan lahan yang terjadi sejak masa feodalisme sampai saat ini. Namun hal ini tidak cukup sampai disitu saja untuk mengembalikan harkat martabat sebagai petani, maka penting juga kiranya masyarakat petani dapat menentukan masa depan hidupnya sendiri dengan berbagai macam cara untuk mengembangkan potensi yang ada dengan berbagai pendidikan dan ketrampilan, sehingga dengan demikian masyarakat tani mampu mengorganisir dirinya berikut dengan nilai-nilai yang dipandang mulia.
Jika melihat keadaan kita saat ini, kehidupan petani masih juga jauh dari harapan, ketimpangan-sosial semakin Nampak pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang lebih berpihak pada pengusaha dengan menggusur tanah sebagai kehidupan bagi petani itu sendiri atau berdirinya pabrik-pabrik yang menghasilkan limbah-limbah, dimana hasil tanaman, tumbuhan rusak dan gagal panen, petani yang kemudian merasakan akibatnya. Terus menerus keadaan ini berlangsung, maka gerakan sosial merupakan jawaban spontan maupun terorganisir dari massa rakyat terhadap negara yang mengabaikan hak-hak rakyat, yang ditandai oleh penggunaan cara-cara di luar jalur kelembagaan negara atau
bahkan yang bertentangan dengan prosedur hukum dan kelembagaan negara. Gerakan sosial dapat dipahami sebagai upaya bersama massa rakyat yang hendak melakukan pembaruan atas situasi dan kondisi sosial politik yang dipandang tidak berubah dari waktu kewaktu atau juga untuk menghentikan kondisi tekanan dari pengusaha dan pemerintah. Mengingat soal agrarian adalah menyangkut soal hidup dan penghidupan manusia ; tanah adalah sumber dan asal makanan bagi manusia. Siapa menguasai tanah, ia menguasai kehidupan.
Gerak Tani: Konsep Pemberdayaan ke Politik Tani
Perkembangan kaum tani di dalam sejarahnya adalah perkembangan pergulatan kepentingan global, yang dapat digambarkan dengan perlawanan kaum ploretat (buruh, tani , kaum miskin kota dll) terhadap kaum burjuis (tuan tanah, pemodal – kaum kapitalis). Pada pertentangan ini, penguasaan terhadap alat produksi, pengkerdilan budaya rakyat dan hilangnya kedaulatan akan hidup. Terkhusus kaum tani, pemaksaan akan konsep “pasar” telah membuat kaum tani kehilangan budaya tani (tani bagian jiwa hidup, identitas, nilai keselarasan dan sebagai kedaulatan pangan). Kaum tani dijadikan“pasar” ekonomi hanya untuk kepentingan dari keberlanjutan system ekonomi kapitalisme. Selanjutnya, bagaimana gerak tani dalam pembebasannya dalam mewujudkan kedaulatan pangan untuk keadilan dan kesejahteraan ?
Pemberdayaan Tani | Politik Tani |
Kesadaran Budaya Tani | Organisasi Rakyat Tani |
Siklus jaringan kehidupan alam semesta | Refroma Agraria Sejati |
Kesadaran sumber-sumber Agraria | Industrialisasi Nasional |
Pendidikan Tani |
*Pdt. Yunius Irwanto