Pada jaman gereja purba, Pekan Suci terutama disajikan untuk para Calon Baptisan (yang sudah menjalani katekisasi selama lebih kurang 2 tahun) dalam rangka lebih intens mempersiapkan mereka untuk menerima Baptisan pada Malam Paska. Ketika itu, Baptisan dimaknai bukan hanya sebagai tanda penerimaan menjadi anggota gereja melainkan juga, atau bahkan terutama sebagai “tanda penyatuan dengan Kristus” (yakni dengan kehidupan, penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya <Mrk 10:38-39; Rm 6:3-5>) dan “tanda kesediaan hidup dan mati sebagai saksi-Nya”. Bisa dipahami jika sepekan penuh menjelang Baptisan pada Malam Paska, para Calon Baptisan diajak napak tilas hari-hari terakhir Yesus agar mereka semakin siap ketika harus menderita seperti Kristus telah menderita. Pun bagi mereka yang telah dibaptis, Pekan Suci tetap penuh makna karena melaluinya, mereka ditolong untuk lebih menghayati persekutuan dalam penderitaan Kristus di mana mereka menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya (Flp 3:10).
Memang, tidak harus GKSBS mengikuti mentah-mentah tradisi gereja purba. Namun agaknya, menjalani Pekan Suci tidaklah terlalu sulit bagi kita.[1] Bahkan, dengan menjalani Pekan Suci, kita bisa ditolong untuk “memilah-milah beban” dan “mengalami pemurnian keterpanggilan”. Pada Senin dalam Pekan Suci, kita bisa melihat bagaimana sementara merasakan “beban pergumulan menjelang kematian”, Yesus tidak menolak dilayani oleh Marta, didampingi oleh Lazarus dan diminyaki oleh Maria (Yoh 12:1-11). Hal tersebut dikarenakan Dia tahu memilah antara “beban yang harus ditanggung sendiri” dengan “beban yang dapat dipikul bersama sahabat atau saudara”. Pada Selasa dalam Pekan Suci, kita dihadirkan dalam peristiwa “Yesus memberitakan kematian-Nya” (Yoh 12:20-36) yang mengingatkan bagaimana di dalam kesatuan dengan Kristus, keterpanggilan kita dimurnikan dengan cara dibuat menjadi seperti biji gandum yang jatuh ke dalam tanah dan mati sebelum akhirnya menghasilkan banyak buah. Pada Rabu dalam Pekan Suci, dihadirkan kembali kepada kita saat Yesus melepaskan beban “perasaan terguncang” oleh karena pengkhianatan Yudas (Yoh13:21-32); sebuah teladan tentang bagaimana melepaskan beban yang memang selayaknya dilepaskan (Ibr 12:1)
Memang, tidak harus GKSBS mengikuti mentah-mentah tradisi gereja purba. Namun agaknya, menjalani Pekan Suci tidaklah terlalu sulit bagi kita.
Pada Kamis Suci dan Malam Getsemani, kita akan menyaksikan antara lain saat Yesus “membasuh kaki para murid” (sebuah tantangan untuk memurnikan cinta kasih dan keterpanggilan melayani dari kecenderungan tinggi gengsi) dan “bergumul semalam-malaman di dalam doa” (yang memberikan pengharapan bahwa melalui doa dengan ratap tangis kepada Allah Bapa, “stress berat saat berada di ‘persimpangan’” bisa diubah menjadi “keterpanggilan yang tidak tergoyahkan”). Pada Jumat Agung, adegan panjang kisah sengsara Yesus menurut Yohanes akan kembali mengingatkan kita betapa di atas salib Golgota, Yesus menanggung dan menyelesaikan segala beban berat yang kita sendiri tidak sanggup menanggung dan menyelesaikannya. Pada Sabtu Suci, kita akan menyaksikan “penguburan Yesus” menurut Matius yang di satu sisi menunjukkan bahwa di dalam kemanusiaan-Nya Yesus benar-benar mati, tetapi di sisi lain menjadi momen di mana Yusuf dari Arimatea dan Maria Magdalena serta Maria yang lain terpanggil untuk menyatakan identitas sebagai murid Yesus secara terang-terangan. Inilah Trihari Suci yang biasanya dianggap sebagai inti dari Pekan Suci
[1] Bisa dibandingkan dengan saudara-saudari Muslim yang pada hari-hari terakhir puasa Ramadhan semakin intens shalat tarawih.