Sebagai BEING Meski Tak Lagi DOING – Sebuah Cerita Dari Retreat Pendeta Emeritus

Dan yang paling perlu disadari oleh pendeta emiritus, seperti dijelaskan oleh Romo Manggo adalah, meski dirinya sudah emiritus tetapi tetap sebagai being. Nilai dirinya tidak berkurang meski tak lagi doing atau berkarya.

Satu bulan lebih sudah kita melewati masa ulang tahun ke-35 Sinode GKSBS. Tinggal kenanganlah yang terpatri dalam kaleidoskop. Berikut ini kita akan putar kaleidoskop itu agar dapat diikuti percik-percik peristiwanya meskipun tidak utuh, tetapi cukup memberi gambaran minim kegiatan yang terjadi dari waktu tiga hari. Terutama yang terkait dengan kegiatan reuni pendeta emeritus GKSBS.

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan pertama-tama, atas nama seluruh peserta reuni pendeta emeritus memberi apresiasi dan mengucapkan terima kasih mendalam kepada MPS GKSBS dan Panitia penyelenggara yang telah memfasilitasi reuni para pendeta emeritus GKSBS ini dari tanggal 4-6 Agustus 2022 di Wisma Cetrum Sinode GKSBS, Kota Metro. Dan tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada Majelis Jemaat yang telah mengutus dan membiayai kami untuk mengikuti reuni tersebut. Reuni pendeta emeritus ini sungguh tak pernah terbayang di benak kami. Di luar dan melampaui ekspetasi kami. Tapi ternyata terjadi. Dan indah sekali bagi kami para pendeta emeritus ini.

Banyak pengalaman menarik didapat dari reuni ini. Acara berjalan tanpa tergopoh-gopoh dan materinya ringan sebab tidak membebani pikiran peserta reuni. Start acara diawali dengan kegiatan napak tilas perjalanan sejarah GKSBS yang dipandu oleh Pdt. Yunius Irwanto dari GKSBS Kelirejo, Klasis Belitang. Dalam napak tilas ini dipajang berbagai foto dari masa ke masa para tokoh yang andil nyata dalam mendulang maupun menjadi pelaku sejarah berdiri dan berkembangnya GKSBS, baik itu yang berjabatan gerejawi (pendeta, penatua, diaken) atau bahkan kalangan awam melalui peristiwa NGLARI. Jiwa dan roh semangat NGLARI inilah yang telah menjadi embrio jati diri berdirinya GKSBS.

Selain itu yang mengejutkan kami para pendeta emeritus adalah, ternyata tanah di lingkungan kantor Sinode GKSBS begitu luas sekali yang kami kira dulu hanya sebatas bangunan saja. Faktanya masih menjorok ke belakang kurang lebih dua lemparan batu jauhnya. Menariknya tanah seluas itu sudah dibatasi dengan pagar beton keliling. Menariknya lagi, pagar beton keliling itu dikerjakan secara gotong royong oleh warga Jemaat GKSBS Seputih Mataram. Dan masih menariknya lagi, info yang saya peroleh dari sumber terpercaya, Klasis Belitang turut menyumbang dana untuk pembuatan pagar itu sebesar Rp. 100.000.000,_ (seratus juta rupiah). Sungguh semua yang dilakukan baik oleh warga jemaat Seputih Mataram dan Klasis Belitang adalah tanda rasa handarbeni nilai kebersamaan di Rumah Bersama, Sinode GKSBS, sekaligus gagasan utamanya menjadi perintis dan inspirasi semangat NGLARI di bidang rasa handarbeni bagi GKSBS lainnya terhadap keberadaan Sinode GKSBS. Bahkan mereview info pengerjaan dan pendanaan pagar beton keliling itu, jadi mengingatkan ketika saya membaca puisi WS Rendra di salah satu kalimatnya: “aku tersipu malu“. Sebab mungkin aku hanya tahu, tahu yang di sana sudah berbuat sesuatu tetapi di dalam diriku tahu jika belum berbuat sesuatu bahkan mungkin juga hanya mengutamakan sekedar untuk tahu ketimbang terpengaruh untuk mau berbuat seperti itu.

Sesudah napak tilas, acara bergulir menuju ibadah pembukaan pada sore hari Kamis, 4 Agustus 2022. Ibadah dipimpin oleh Pdt. Yohanes Eko sebagai liturgos. Pelayan Firman adalah Pdt. Dono Wahyono dari GKSBS Palembang. Lalu dilanjutkan dengan sambutan Sekum MPS GKSBS Pdt. Erik Timoteus Purba, yang dilengkapi oleh laporan Komandan Panitia, yaitu Pdt. Yunius Irwanto, dan diteruskan ke perkenalan yang dinahkodai oleh Pdt. Riyadi Basuki dari GKSBS Kota Gajah.

Dari 14 Klasis ada beberapa Pendeta Emeritus yang tidak hadir dengan berbagai alasannya yaitu dari Bengkulu, Tulang Bawang, Bandar Jaya dan Metro. Tetapi Pdt. Em. Tri Joko Hadi Nugroho hadir di saat acara puncak yaitu ibadah perayaan HUT 35 Sinode GKSBS dengan kondisi keterbatasannya berkursi roda. Kehadiran beliau sungguh surprise bagi kami semua. Kami sangat terharu dan tak mampu membendung linangan air mata rindu dan bahagia. Dan ini membuat kami jadi menyesalkan juga atas beberapa rekan Pendeta Emeritus lainnya yang tidak hadir ikut reuni bersama ini. Tetapi selain itu kami juga bangga ada para isteri almarhum Pdt. Emeritus yang turut serta hadir. Bahkan ada para pendeta emeritus yang hadir bersama istri, keponakan dan membawa cucunya. Lebih luar biasa lagi para pendeta emeritus yang ikut serta usianya ada yang sudah mencapai 75 tahun ke atas meski masih di bawah 90 tahun dan tampak energik dengan polah tingkah masih seperti yang dulu. Seharusnya rambutnya sudah putih tetapi secara sengaja dipertahankan tetap berada di alam hitam.

Mereka para pendeta emeritus hadir reuni, selain untuk menabur rasa rindu tetapi juga ada yang memanfaatkan untuk beranjangsana kepada sanak saudara. Ya, ini mumpung ada peluang. Jika secara sengaja selain jaraknya jauh ini akan memakan waktu tempuh lama bisa seharian atau semalaman. Juga ada kesempatan untuk melakukan check kesehatan gratis yang disediakan oleh Panitia Penyelenggara terkait dengan tensi, kolesterol, asam urat dan gula darah. Dan ada yang menarik lagi, selama reuni, para pendeta emeritus bersama pendeta muda usia pelayanan digiring berkumpul bersama di pendopo belakang Sentrum untuk menikmati snack tradisional dan nasi kucing sebagai menu malam. Sederhana tetapi sungguh alamiah. Seperti kata seorang filsuf, yang alamiah itu yang terindah. Untuk minum teh dan kopi serba self-servis. Apalagi sekaligus sembari santap bersama, disuguhi pula acara musik utama yaitu musik keroncong dan berlangsung selama dua malam. Ini tentunya hiburan istimewa. Pendeta emeritus dan pendeta aktif yang masih muda ikut arus berbaur saling tampil memperdengarkan suaranya yang merdu mendayu-dayu bersaing dengan para vokalis dari kaum awam lainnya. Mereka unjuk kebolehan yang positif demi menghibur penonton sambil bersantai bersama dalam suasana reuni, dan tak lupa tentu ada juga udang di balik menyalurkan hobi. Tentu kemasan acara reuni ini di tengah merayakan HUT KE 35 SINODE GKSBS adalah kemasan yang tidak hanya cerdas, smart dan elegan tapi menyegarkan. Apalagi juga dihadiri secara umum oleh warga gereja dan sekaligus ajang unjuk potensi yang telah terbina selama ini dari para musisi dan seniman GKSBS sendiri. Musik keroncongnya tidak saja dibatasi menyajikan lagu rohani tetapi juga memberi ruang lagu yang berwarna dan beraroma umum namun menghibur seirama selera pribadi demi pribadi.

Begitulah memang suasana yang dibutuhkan oleh para pendeta emeritus. Sebuah reuni yang baru pertama kali digelar oleh MPS GKSBS, dan entah kapan akan ada kesempatan seperti ini digelar kembali karena faktor biaya yang harus diakui lumayan mahal untuk ukuran GKSBS, meski ini bukan penghambat. Apalagi dirasakan reuni ini memiliki nilai hiburan khas dan istimewa bagi para pendeta emeritus. Dan hiburan itu tidak bisa dinilai dengan materi. Senda dan gurau, mereview pengalaman batin selama pelayanan di lingkungan GKSBS, mengenang masa-masa kebersamaan yang aktif dalam pergulatan bersama membangun GKSBS yang visioner dan misioner, ini mengapung kembali dalam ingatan perjumpaan para pendeta emeritus. Peristiwa masa lalu memang bukan sebagai tindakan berkalung kenang bunga layu, tetapi menoreh prasasti bagi materi belajar ilmu, belajar beriman, belajar bertanggung jawab melayani dari para generasi untuk membangun dan mengembangkan lebih jauh kehidupan gereja, sebagaimana disajikan dalam sesi jumpa dialog antar generasi para pendeta emeritus dengan pendeta para muda usia pelayanan 1-5 tahun. Apalagi dalam kenyataan keberadaan pendeta emeritus adalah:

  • Dirinya bukan siapa-siapa. Begitu seorang pendeta ditetapkan resmi emiritus melalui kebaktian emeritasi, pada saat itu juga pendeta emeritus adalah sebagai anggota jemaat biasa seperti anggota jemaat yang lainnya. Ia tidak lagi memiliki kedudukan aktif. Dia tidak bisa lagi ikut rapat Majelis Jemaat sekalipun jabatan kependetaan masih melekat dalam dirinya. Jabatan yang ada dalam dirinya adalah jabatan pasif pensiunan, bukan jabatan aktif profesional lagi. Maka ada emblem emiritus. Dengan demikian status dirinya berada di bawah penggembalaan umum Majelis Jemaat. Sehingga dia tidak bisa merasa diri lebih tinggi atau merasa lebih senior dari pendeta aktif yang menggantikannya. Dia tidak bisa memerintah pendeta aktif sekalipun pendeta aktif itu masih muda. Maka sebagai pendeta emeritus dirinya dipaksa harus menyadari bukan siapa-siapa lagi di jemaat selain sebagai anggota jemaat biasa pada umumnya.
  • Tidak layak merasa dibutuhkan. Seorang pendeta emeritus tidak layak merasa dibutuhkan, adalah sebuah sikap yang harus menjadi paradigma utama dan wajib dalam dirinya. Sebab dirinya memang secara de facto dan de jure bukan siapa-siapa lagi. Jika dirinya merasa masih dibutuhkan, ini akan berakibat fatal dan dapat menjadi penyakit mental, yaitu post power syndrom di satu pihak, dan dapat berdampak menghambat efektifitas pelayanan pendeta aktif di lain pihak. Post power syndrom, apapun alasannya itu adalah penyakit mental para pensiunan. Dia merasa seolah-olah masih bisa berkuasa. Sehingga tanpa disadari secara langsung maupun tidak langsung ikut terjun aktif di tengah kepemimpinan Majelis Jemaat. Istilah Romo Manggo “mengganggu dan bikin repot pendeta aktif.” Dan sikap seperti ini pada pihak lain memang bisa berpengaruh negatif pada pelayanan pendeta aktif. Kata berpengaruh negatif pada pelayanan pendeta aktif bisa ditafsirkan dalam arti yang seluas-luasnya antara lain bisa dicatat demikian: 1). Tanpa disadari pendeta emeritus mengambil alih proses belajar pendeta aktif. 2). Pendeta aktif bisa kehilangan kesempatan untuk belajar dari segala persoalan yang dihadapinya dalam jemaat karena masih aktifnya pendeta emeritus. 3). Bisa membuat pendeta aktif tidak nyaman, kurang produktif dan kurang kreatif dalam melayani jemaat. 4). Pendeta aktif menjadi tidak disukai oleh jemaat dan bisa memotivasi dirinya mengundurkan diri dari pelayanan di gereja yang dilayaninya atau ditolak oleh jemaat. 5). Pada gilirannya bisa memecah belah keharmonisan kehidupan jemaat, dalam wujud yang ekstrim misalnya jemaat menjadi terpecah belah.

Itulah sebabnya, pendeta emeritus memang harus benar-benar menyadari jika dirinya adalah seorang pensiunan. Meski demikian, jikalau dirinya diminta untuk melayani karena ada keadaan darurat dan sangat membutuhkan dirinya dan dirinya itu tidak berhalangan, tentu layak untuk dipertimbangkan permintaan itu. Beda bila secara rutin dijadwal oleh gereja setempat dalam posisi sudah pensiun, itu bisa ditafsirkan gereja setempat dinilai memeras tenaganya sekalipun ada kompensasi di baliknya. Bisa saja sang pendeta merasa tidak diperas, karena mengalami ketidaksadaran pos power sindrom padahal itu juga jenis dari pos power sindrom yang tidak disadari. Dan ini akan sangat merugikan organisasi gereja karena membiarkan gereja tidak bergumul intens dengan kesulitannya alias mengedepankan sisi instannya saja.

Harus diakui, seorang pendeta bisa saja di masa emeritus memiliki kondisi fisik dan mental pelayanan yang masih bugar. Tetapi seiring itu, hal ini tentu tidak berarti bisa dijadikan alasan bahwa dirinya wajib dan berhak tampil diri selayaknya profesional aktif. Bagaimanapun dirinya adalah de facto dan de jure pensiunan dan statusnya tetap pensiunan yang berada di bawah penggembalaan pendeta aktif.

Maka yang paling ideal, dalam kesegaran dan kebugarannya, seorang pendeta emeritus itu bersikap kreatif bisa berkarya di bidang karya non gerejawi yang tidak berhubungan dengan kependetaannya lagi tetapi bidang lain seperti bertani, berternak, atau bertukang misalnya. Sementara itu penting juga disadari agar dirinya bersikap tidak menjadi momok dan subyek ukuran pendeta aktif penggantinya. Pendeta Emeritus jangan sampai menjadi bayang-bayang yang menakutkan pendeta generasi berikutnya. Sejauh mata memandang, pendeta emeritus jangan sampai ikut campur dalam masalah atau persoalan yang dihadapi oleh pendeta aktif. Biarkan pendeta aktif mengalami tempaan diri melalui tugas dan kewajibanya. Dan yang paling perlu disadari oleh pendeta emeritus seperti dijelaskan oleh Romo Manggo adalah, meski dirinya sudah emeritus tetap sebagai being. Nilai dirinya tidak berkurang meski tidak lagi doing atau berkarya. Dia tetap memiliki nilai sebagai pendeta. Bila meninggal akan tetap dihargai dan dihormati sebagai pendeta dengan atribut kebesarannya. Seperti halnya Tuhan Yesus dalam keberadaanNya tetap diimani sebagai Tuhan walau sesuai usia Dia berkarya hanya 3 tahun. Artinya nilai tinggi Yesus itu tidak diukur oleh lamanya waktu berkarya dibanding panjang usiaNya yang 33 tahun. Tuhan Yesus berkarya hanya selama 3 tahun dan 30 tahun tidak berkarya apa-apa sekedar menjalani proses hidup pada umumnya. Artinya meski masa kerjanya sangat singkat tetapi tidak mengurangi nilai keberadaanNya sebagai Tuhan. Jati diri atau being Yesus sebagai Tuhan tidak dikurangi sama sekali meski masa karyaNya begitu singkat. Maka being Yesus itulah yang dirayakan oleh gereja seperti dalam Natal, Jumat Agung dan Paskah. Sebaliknya tidak pernah ada perayaan terhadap doing seperti merayakan Tuhan Yesus membangkitkan orang mati, menyembuhkan orang sakit, memberi makan lima ribu orang. Gereja dalam kenyataannya tidak merayakan doing tetapi merayakan being.

Marta adalah simbol doing, sedangkan Maria adalah simbol being. Maria menerima dan menghormati kehadiran Yesus sebagai being dengan duduk dekat kakiNya dan mendengarkan seluruh sabdaNya. Ini ada hubungan intim dan dekat antara Maria dengan Tuhan Yesus sebagai being yang nilainya terbaik dan tidak bisa diambil oleh siapapun daripadanya.

Sebaliknya Marta lebih banyak sibuk dengan pekerjaannya (doing) untuk menjamu Tuhan Yesus. Artinya Marta mengenal Yesus tetapi tidak dekat dengan Yesus seperti Maria. Banyak pendeta sibuk ber-doing seperti Marta tetapi tidak dekat sebagai being dengan Yesus seperti Maria. Pendeta sibuk berkarya tentang ajaran Yesus tetapi kering dalam hal jalinan hubungannya dengan Yesus sebagai being.

Maka, beruntung sekali, kami sebagai pendeta emeritus difasilitasi oleh MPS GKSBS mengikuti Retret Pendeta Emeritus di bawah bimbingan singkat atau panduan Romo Manggo ini. Romo Manggo rupanya bukan hanya menyajikan materi berkualitas tinggi tetapi juga berkapasitas kocak dan jenaka. Malah boleh dikata selevel Sule, Cak Lontong dan Tukul Arwana tingkat kelucuannya, sehingga berhasil sukses membuat para peserta retreat pendeta emeritus terkesima mengikuti sesi yang dipandunya tanpa jenuh dan bosan apalagi mengantuk. Rasa capek dan kantuk sama sekali tak mampu menguasai ruang sesi retreat tersebut. Sepanjang sesi ini peserta selain memanen gelak tawa yang terus mengalir segar dan menghibur tetapi juga mudah mencerna dan mengingat uraian materinya.

Mengucap Syukur

Romo Manggo menjelaskan, Ketika orang berbicara tentang Cinta, ada istilah cinta tanpa syarat, namun ketika orang berbicara tentang Syukur, nampaknya berlaku istilah syarat dan ketentuan. Mengapa demikian? Sebab yang terjadi biasanya orang bersyukur untuk hal-hal baik yang diterima atau dialaminya. Sejak kecil orang sudah diajar dan belajar berterima kasih kepada sesamanya atas perbuatan baik yang mereka terima. Juga sejak usia dini orang sudah diajar untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas berkat, rahmat dan anugerah yang telah diterimanya.

Tetapi jarang sekali orang diajar dan belajar bersyukur kepada Tuhan untuk kegagalan, harapan yang sirna, kekecewaan hidup, atas penyakit dan bencana, penderitaan dan kesengsaraan yang dialami dalam hidupnya.

Jadi sekali lagi mengucap syukur memang berlaku istilah Syarat dan ketentuan. Padahal Paulus mengajarkan di Tesalonika 5:8 demikian: “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah dalam Kristus Yesus bagi kamu”. Artinya, bersyukur itu adalah sebuah ungkapan sukacita kepada Tuhan atas segala kebaikan yang telah dinyatakan kepada umatNya. Dan mestinya dilakukan oleh umat kepada Tuhan. Alasan pertama dan utama harus bersyukur tanpa syarat dalam segala hal, menurut Paulus karena itu kehendak Allah dalam Kristus.

Jadi berdasarkan ajaran Paulus ini, syarat dan ketentuan untuk bersyukur itu tidak ada. Seperti kasih tanpa syarat, begitulah kita harus bersyukur dalam segala hal kepada Tuhan. Dalam keadaan baik atau tidak baik kita harus mengucapkan hal baik kepada Tuhan dalam bentuk syukur daripada sebaliknya. Di Filipi 4:6 Paulus berkata: “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”

Maka berbahagialah dan bersyukurlah bahwa para pendeta emeritus boleh mengakhiri pertandingan pelayanan sampai emeritus. Tetapi ada catatan penting, emeritus terindah dan terbahagia adalah ketika emeritusnya berlangsung sesuai mengikuti alur aturan yang berlaku. Bila aturan masa emeritus harus di usia 55 atau 60 tahun, ikutilah aturan itu. Jangan dikurangi dan jangan pula ditambah. Jangan emerdin atau emeritus dini sebelum usia 55 atau 60 sesuai aturan sah dan resmi. Sebab emerdin lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Lebih banyak penderitaannya daripada bahagianya. Yang menderita bukan semata sang pendeta tetapi juga gereja atau lembaga yang dilayaninya. Emerdin mungkin saja jika secara kapasitas fisik memang tidak berdaya sama sekali.

Sebaliknya, bila aturan memaksa emeritus 55 atau 60 tahun, jangan kita menolak dengan meminta tambahan waktu kerja. Jangan kita meminta tambahan waktu untuk bekerja profesional aktif antara rentang 1-5 tahun. Sebab itu tanpa disadari sejatinya identik merampas hak generasi berikut. Mestinya para lulusan fresh graduate bisa mendapatkan lowongan pekerjaan dan berkesempatan mendapatkan hak menghidupi diri sendiri ini jadi terhambat, karena lowongan itu sudah ditutup dengan diduduki paksa oleh senior yang tidak mau mengikuti aturan emeritus lembaga. Ini bisa dinilai sebentuk ketamakan yang pada gilirannya juga bisa berujung mengubur rasa empati dan simpati dari rekan sejawat pelayanan terhadap dirinya. Begitu juga, jika sudah mengikuti aturan, jangan sampai para emeritus mengemis-ngemis untuk dijadwal pelayanan kepada lembaga gereja. Ini akan menghambat proses belajar cerdas organisasi dalam menghadapi masalah yang muncul di kemudiannya. Kalau sudah emeritus, mengucap syukurlah untuk menikmati masa emeritus dengan karya kreatif yang lain. Dan selama reuni pendeta emeritus ini, tanpa disadari kami ternyata satu sama lain juga saling berbagi kesukesan dan bercerita tentang kegagalan dalam membina jemaat maupun keluarga. Tentu ini menambah kesadaran kami terhadap nasihat Paulus bahwa kita memang harus bersyukur tanpa syarat dan ketentuan kepada Allah di dalam Kristus. Dalam sukses maupun gagal, dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, dalam segala hal kita harus menyatakan yang baik kepada Tuhan.

Akhirnya, bagi para pendeta emeritus yang memasuki masa lansia juga bagi para lansia umumnya, menurut Romo Manggo, untuk menjaga kesehatan jasmani adalah perlu menempuh hidup dengan budaya baru yaitu mengurangi porsi makan, menambah jalan kaki, dan memperbanyak tertawa. Itu semua bukan obat tetapi vitamin yang menjaga kebugaran jasmani.

Sedangkan untuk menjaga kesehatan dan kebugaran rohani diperlukan spritualitas dan etos berjalan dari Marta menuju Maria. Jika kita masih memberlakukan sikap terlalu sibuk ber-doing seperti Marta di masa lansia atau emeritus, saatnya kini berjalan menuju hidup seperti Maria untuk membangun hubungan batin atau being yang lebih intim dengan Allah di dalam diri Tuhan Yesus Kristus.

Selanjutnya mengakhiri perjumpaan dari reuni para pendeta emeritus yang terasa mengesankan dan megah adalah, ketika menyatunya para pendeta emeritus dengan pendeta aktif dan Majelis Jemaat dalam melayankan Sakramen Perjamuan Kudus di acara puncak yaitu ibadah perayaan HUT KE-35 SINODE GKSBS. Ibadah perayaan ini dipimpin oleh dua pendeta aktif. Yaitu Pdt. Kristiawan Heru Widianto adalah Konsulen GKSBS Tanjungkarang sebagai Pelayan Sakramen, serta Pdt. Yohanes Eko Prasetyo selaku Ketua MPS GKSBS sebagai Pelayan Firman yang dalam kotbahnya menekankan dan mendorong agar GKSBS mengutamakan kepedulian sosial bagi masyarakat, di bawah terang tema: MENJADI GEREJA YANG MANDIRI DAN TERBUKA, dengan sub tema: MEMBANGUN TRADISI BERBAGI KEHIDUPAN. Penyelenggara ibadah ini adalah GKSBS Tanjungkarang, meski itu berlangsung di Metro. Ada sekitar dua ratusan anggota jemaat yang hadir dalam ibadah itu dan wajar jika didominasi oleh anggota Jemaat GKSBS Tanjungkarang, selain dari sekitar Metro dan peserta reuni pendeta emeritus dan pendeta muda usia pelayanan antara 1-5 tahun.

Bisa diduga mungkin sepanjang sejarah gereja protestan, ini sebagai peristiwa langka dan istimewa, bahwa baru kali ini ada reuni pendeta emeritus, tetapi sekaligus para pendeta emeritus ini, dengan mengenakan atribut toga kehambaan jabatan gerejawinya, diberi kesempatan melayani menjadi petugas untuk mengedarkan roti dan anggur sakramen kepada jemaat yang turut serta beribadah. Ini tidak bisa diprediksi kapan lagi akan terjadi. Sebab ini adalah kebersamaan pelayanan para pendeta emeritus berpiranti toga kebesarannya yang pastinya sangat sangat sangat istimewa dan langka. Maka sungguh mengharukan dan sekaligus mencipta kerinduan.

Demikian tulisan ini. Mohon maaf bila ada pihak yang berkeberatan, dan dipersilahkan untuk menanggapi dan mengkritisi sehingga menjadi materi diskusi. Tetapi yang saya harapkan, seberapapun kurangnya tulisan ini semoga tetap bermanfaat dan menjadi berkat. Lehitra’ot (Sampai jumpa)

  • Ditulis oleh : Pdt. Em. Eko Prih Joko Sungkowo – GKSBS Tanjungkarang
  • (Tulisan mengalami editing seperlunya oleh admin berupa tanda baca, ejaan dan nama Jemaat yang tidak menrubah substansinya)
Silakan dibagi

1 thought on “Sebagai BEING Meski Tak Lagi DOING – Sebuah Cerita Dari Retreat Pendeta Emeritus

  1. Mksh pakde Eko PJS, saya bersuyukur dan bahagia sempet jumpa bbrp pdt.emiritus yg secara fisik tergopoh-gopoh tapi semangat dan cintanya pada GKSBS terpancar dari wajah mereka.
    Momen itu adalah bukan sekedar temu kangen atau reunian saja tapi sebagai momen perayaan bahwa apa yang pernah ditabur para sesepuh ini dituai oleh kami para pdt muda…sekaligus memberi pesan bahwa hari ini kami menabur dan besok para penerus yang akan menuai. Tidak harus kami yg menabur lalu kami pula yg menuainya. Kami cukup sampai pada tunduk dan menaikkan syukur pada Tuhan bahwa apa yg dulu ditabur kini sudah boleh dipetik hasilnya oleh mereka…Terpujilah nama-Nya.

Comments are closed.