Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan, 1 dari 5 anak usia sekolah 5-12 tahun (20 persen atau 7,6 juta), 1 dari 7 remaja (14,8 persen, atau 3,3 juta), dan 1 dari 3 orang dewasa (35.5 persen, atau 64.4 juta) di Indonesia hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas. Menurut ahli gizi Unicef di Indonesia David Colozza, kondisi ini sudah masuk kategori berbahaya.
Kelebihan berat badan dan obesitas dapat berdampak langsung pada kesehatan dan perkembangan psikososial seseorang. Selain itu juga dapat menyebabkan peningkatan risiko penyakit tidak menular di kemudian hari, seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, stroke, dan beberapa jenis kanker.
Prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas di Indonesia lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dengan rincian 15,9 persen di antaranya remaja perempuan dan remaja laki-laki 11,3 persen. Kemudian, hal serupa terjadi pada 44,4 persen perempuan dewasa dan 26,6 persen pria dewasa.
Pemerintah Indonesia sudah banyak membuat program untuk mengatasi masalah kelebihan berat badan dan obesitas. Beberapa kebijakan baik yang sudah ada, antara lain, target nasional pencegahan obesitas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, program Gerakan Nusantara Tekan Angka Obesitas (Gentas) dan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), kontrol pada minuman beralkohol, dan pelabelan kandungan gizi pada bagian depan kemasan produk.
Namun, kebijakan yang secara gagasan baik belum diimplementasikan dengan baik pula oleh pemerintah. Kebijakan penerapan cukai minuman berpemanis gula atau makanan tinggi gula, garam, dan lemak belum dilakukan, serta kebijakan memperbaiki pangan di lingkungan sekolah juga belum maksimal.
Menurunkan konsumsi minuman berpemanis dengan cukai telah berhasil diterapkan di sejumlah negara, seperti Meksiko dan Inggris.
Sumber : Unicef Desak Indonesia Segera Terapkan Cukai Minuman Berpemanis – Kompas.id