Tersedia banyak alasan bagi kita untuk merasa bahagia/sukacita. Merayakan momen spesial bersama orang terkasih, mendapatkan bonus besar dari kantor, melihat anak mendapatkan prestasi tertentu, atau mungkin keberhasilan kita membeli benda-benda tertentu yang telah lama diidamkan. Namun sebagai umat Tuhan, kita percaya bahwa dibalik hal-hal fisik yang mendatangkan kebahagiaan tersebut, hanya satu sumber sukacita yang sejati yakni karya Tuhan semata.
Pada kisah hari ini kita melihat perjumpaan dua insan yang memiliki ikatan persaudaraan, yakni Maria dan Elisabet, mereka sama-sama menggemakan penghayatan akan kebahagiaan besar yang telah dihadirkan Allah. Elisabet seorang perempuan yang telah lanjut usianya, tetapi ia boleh dilibatkan dalam rencana Allah dengan mengandung seorang anak yakni Yohanes yang kelak menjadi pembuka jalan bagi Kristus. Sementara Maria adalah seorang perempuan muda yang menyediakan dirinya untuk mengandung Sang Juru Selamat. Mereka menyadari betul bahwa anak yang mereka kandung, pada saatnya nanti akan berperan besar dalam tata sejarah penyelamatan Allah. Itulah sumber kebahagiaan mereka.
Sesungguhnya saat kedua perempuan yang sedang mengandung ini berjumpa, mereka juga tengah meneguhkan satu sama lain dalam perjumpaan mereka. Kebahagiaan yang membuncah di antara mereka sekaligus menjadi pengingat dari Tuhan bahwa kelak tugas mereka tidaklah mudah karena Tuhan menitipkan dalam rahim mereka dua pribadi yang akan merubah sejarah dunia.
Saat membaca perikop ini mungkin kita akan didera berbagai pertanyaan seperti misalnya mengapa tiba-tiba Maria melantunkan pujian dan apakah maksud yang sesungguhnya dari pujian tersebut? Jika kita perhatikan dengan seksama, bait-bait dalam nyanyi puji Maria dalam ayat 46-56, sarat dengan pernyataan-pernyataan yang tegas, keras, tetapi di saat yang sama menggemakan pengharapan bagi umat Tuhan. Puji-pujian ini paralel dengan nyanyi puji Hana yang juga mengungkapkan kegembiraannya saat Tuhan memberkatinya dengan seorang anak yakni Samuel.
Tradisi gereja abad pertengahan mengenal syair ini berdasarkan kalimat pertama dari pujian Maria yakni, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku.” Dalam bahasa latin dikenal dalam frase Magnificat Anima Mea Dominum (jiwaku memuliakan Tuhan) sering disingkat dengan sebutan magnificat. Inilah pernyataan iman Maria berdasarkan refleksinya atas peristiwa besar yang terjadi pada dirinya. Menariknya nyanyi pujiannya tidak berkutat pada dirinya sendiri melainkan karya Allah yang kelak akan diperantarai oleh Sang Anak Allah dan menghadirkan pembebasan bagi manusia. Pembicaraan mengenai pembebasan pada pujian ini tidak hanya tentang karya Tuhan pada setiap orang secara personal, melainkan juga dalam lingkup sosial, moral, maupun ekonomi.
Tengoklah sebentar Lukas 1: 52, “Ia menurunkan orang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang yang rendah.” Bukankah ucapan tersebut bernada sangat subversif terutama bagi pembaca saat itu yang tengah menderita di bawah tangan dingin imperium Romawi. Bait demi bait mengungkapkan nada yang serupa. Seperti misalnya Tuhan akan mencerai beraikan orang-orang yang congkak hatinya (ayat 51). Mereka yang selama ini hidup dari penindasan sesamanya dan juga bersenang-senang atas penderitaan orang lain akan segera dijungkir balikkan karena Tuhan sudah datang dan menegakkan keadilan yang selama ini jarang ditemui. Harapan itu sudah semakin nyata menampakkan diri.
Warta pembebasan dalam syair pujian Maria ini telah menjadi pengingat dan sumber kekuatan bagi banyak orang di sepanjang sejarah zaman yang tengah berjuang mencapai kebebasan dan didera penderitaan yang teramat berat. Seorang pujangga besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pernah mengutip ayat 52 tersebut dalam bahasa latin sebagai penutup novel termahsyurnya yakni Bumi Manusia, deposuit potentes de sede et Exaltavit Humiles. Dalam rangka memotret perjuangan tokoh utama novel tersebut yang tidak pernah usai melawan tirani. Sementara itu para diktator di Guatemala tahun 1980-an melarang pelafalan/pengucapan nyanyi pujian Maria ini karena mengandung nada revolusioner. Pujian Maria pada akhirnya lebih menyerupai ucapan kenabian yang memberi pengharapan bagi mereka yang lapar, miskin, dan tertindas, serta kegelisahan dan kecemasan bagi para tirani dan penindas di sepanjang zaman.
Bersukacitalah Menanti Karya Sang Pembebas
Hal lainnya yang dapat kita tangkap melalui pujian Maria dalam Injil Lukas ini adalah nyanyian tersebut menjadi semacam pendahuluan yang disematkan penulis Injil Lukas untuk memperkenalkan karya Yesus Sang Juruselamat dunia. Bayi yang tengah dikandung Maria itu nantinya akan menggemakan warta pembebasan dari Allah di seantero provinsi Yudea dan seluruh dunia. Ia hadir bagi mereka yang selama ini mengalami penderitaan. Membebaskan mereka yang ditawan dan hidup dalam belenggu baik itu secara sosial, ekonomi, maupun politis. Mereka yang lapar dan haus akan kebenaran kelak akan dipuaskan. Dosa yang mencengkram manusia dan menuntun pada maut akan dikalahkan dalam karya Tuhan Yesus Kristus.
Minggu adven ketiga dikenal juga dengan minggu gaudete atau bersukacitalah. Kehadiran Tuhan dalam Natal telah semakin mendekat. Kebahagiaan yang meluap tidak terhindarkan lagi. Dalam segala gegap gempita itu kita diajak untuk mengingat kembali apa yang menjadi sumber kesukacitaan kita yakni karya pembebasan Allah dalam Tuhan kita Yesus Kristus. Maka pada akhirnya dalam Natal kita diajak untuk bersukacita atas belarasa Allah kepada umat-Nya dan pada saat yang sama hati kita kembali diteguhkan untuk mewujudkan bela rasa pada dunia yang tengah dirundung berbagai derita.
Sudahkah kita berbela rasa terhadap sesama dalam segala penderitaan yang dihadapi sebagaimana kita menghayati bela rasa Allah melalui kehadiran anak-Nya yang tunggal, Tuhan kita Yesus Kristus?
Sumber: alkitab.or.id