Hampir semua jemaat di lingkungan GKSBS Gunung Pasir Jaya (GPJ) berasal dari Jawa. Migrasi agaknya menjadi cara perpindahan penduduk secara besar-besaran dari pulau Jawa ke pulau Sumatera. Perpindahan penduduk tersebut bisa dikarenakan pelbagai alasan antara lain : berpindah karena program dari penjajah Belanda tempo dulu, berpindah karena program pemerintah setelah Indonesia merdeka/Orde Baru (yang kemudian disebut transmigrasi) agar rakyat mendapatkan penghidupan yang lebih baik, atau berpindah karena daerah asal yang ditempati penduduk tersebut digunakan untuk proyek tertentu secara paksa: ada juga yang mengikuti program pemerintah karena penawaran pemerintah yang ditanggapi dengan kerelaan dan itu memang berasal dari inisiatif penduduk sendiri; ada yang mengikuti program transmigrasi dari lembaga swasta atau memang pindah karena kehendak pribadi. Sabagaimana penduduk Jawa, banyak yang berpindah ke Lampung (Sumatera) karena transmigrasi, jemaat yang ada sekarang di GKSBS Gunung Pasir Jaya kebanyakan berasal dari pulau Jawa dengan berbagai alasan tersebut.
Menurut cerita-cerita dari anggota jemaat, kedatangan mula -mula dan pergumulan jemaat GKSBS GPJ di desa Gunung Pasir Jaya (dulu merupakan bagian dari Gunung Sugih Besar dan Gunung Agung (tepatnya Sinar Menanga), tidak bisa dituliskan sebagai satu kesatuan penulisannya, namun menurut kelompok perkelompok. Ini karena memiliki latar belakang yang berbeda. (Nama GKSBS Gunung Pasir Jaya baru ada setelah pendewasaannya pada tahun 2000).
Jemaat/Kelompok IMANUEL (Sudah menjadi jemaat dewasa pada 20 Februari 2020)
Untuk membaca sejarah Kelompok IMANUEL ini sila baca di Sejarah GKSBS Imanuel Pasir Luhur – Sinode GKSBS
Jemaat/Kelompok GLORIA
Kedatangan orang-orang yang sekarang menjadi jemaat kelompok Gloria, tidak terlepas dari proses transmigrasi yang diadakan oleh Yayasan Transmigrasi Kristen (YTK) Trukajaya Salatiga, Jawa Tengah. Orang-orang yang datang ke Lampung ini diakomodir oleh YTK Trukajaya yang terlebih dahulu menampung mereka dan memberi pelatihan-pelatihan di Base Camp Yayasan tersebut di Salib Putih Salatiga. YTK Trukajaya Salatiga sudah menyiapkan lahan yang luas di desa Gunung Sugih Besar untuk menampung mereka, baik sebagai tempat tinggal maupun lahan pertanian, yang dibeli oleh Yayasan tersebut dari orang-orang Lampung. Orang-orang dari Jawa mengikuti tawaran transmigrasi itu karena banyak sebab / alasan. Tetapi alasan yang utama adalah ingin mencari penghidupan yang lebih baik, yang tidak mereka dapatkan di tanah Jawa. Lokasi tempat tinggal dan lahan pertanian itu berada di dekat dusun Pasir Luhur sekarang. Warga yang datang tidak semuanya Kristen. Yang sudah Kristen sejak dari Jawa sejumlah 16 KK dari 140 KK yang datang secara bergilir sejak tahun 1970-1974. 140 KK tersebut berasal dari Celengan, Tuntang, Salatiga, Temon, Ungaran, Cilacap, Bringin, Purworejo, Semarang, Purwodadi, dan Kopeng, yang kemudian ditempatkan di bedeng-bedeng. Hingga sekarang ini, untuk menunjukkan lokasi rumah yang tinggal, nama bedeng masih disebut dan digunakan.
Dalam masa itu GKL Pugungraharjo memiliki tugas untuk melayani para transmigran Kristen yang berasal dari Jawa tersebut. Seiring berjalannya waktu banyak dari mereka yang bukan Kristen mengajukan diri untuk dibaptis. Baptisan massal sering terjadi pada masa itu dan dilayani oleh Pdt. Siswo Dwijo. Belum diketahui secara pasti mengapa mereka menjadi Kristen, padahal YTK Trukajaya tidak pernah mewajibkan mereka yang transmigrasi menjadi Kristen.
Ujian hidup dan persekutuan bagi warga yang bermukim di tanah bukaan Trukajaya (waktu itu masih menjadi bagian dari desa Gunung Sugih Besar) sempat terjadi. Ketika mereka mengalami kegetiran, disamping karena bersusah payah untuk mengolah tanah, juga bersitegang dengan penduduk asli Lampung (pribumi) di sekitar daerah itu. Konflik terjadi karena memperebutkan tanah yang sudah dibeli oleh Yayasan Trukajaya, bahkan sempat mengakibatkan ketegangan psikis bahkan bentrokan fisik. Puncaknya adalah peristiwa terbunuhnya Emanuel, sebagai pimpinan pelaksana lapangan YTK Trukajaya pada tahun 1977. Kasus ini mengakibatkan kegelisahan para transmigran yang tidak terbiasa menghadapi kejadian seperti ini. Dalam benak mereka ada kegelisahan untuk memutuskan apakah akan tetap bertahan di tanah bukaan Trukajaya Lampung, atau apakah kembali ke tanah Jawa karena pertimbangan adanya konflik yang mengkuatirkan mereka. Mereka berjaga secara fisik untuk menghadapi serangan yang mungkin terjadi dan berdoa memohon kekuatan dan perlindungan Tuhan. Iman mereka diuji dalam menghadapi tantangan ini. Bahkan dalam perkembangannya, terbunuhnya Emanuel menyebabkan persekutuan jemaat menjadi terganggu, ditambah lagi adanya kasus pidana yang ditujukan kepada salah satu anggota jemaat karena terbunuhnya Emanual.
Pembangunan Gedung Gereja
Tempat kebaktian mula-mula sebagai gedung gereja, berada pada bangunan yang dibuat dalam rangka Base Camp pemuda GKI Jakarta (jemaat tidak mengetahui secara pasti GKI mana), sebagai fasilitator transmigrasi khusus pemuda pada tahun 1972. Beberapa tahun kemudian, setelah jemaat bertambah, dirasakan bahwa gedung gereja yang ada tidak mencukupi lagi menampung jemaat dalam kebaktian. Maka dengan kesepakatan bersama, jemaat mulai membangun gedung gereja yang baru, terletak di sebelah timur PT Miwon Indonesia di Gunung Pasir Jaya Kec. Sekampung Udik Lampung Timur. Dalam pembangunan gedung gereja tersebut yang dimulai tahun 1976, banyak dari mereka seperti menerawang membayangkan masa lalu. Betapa mereka dalam masa serba kekurangan, berani membangun sebuah gedung gereja. Anak-anak sampai orang tua bahu membahu membangun gedung gereja. Ada yang membuat batu bata, mencari pasir, memberi dana, memasak atau menyediakan makan dan air minum, menjadi tukang dan banyak lagi yang mereka dapat lakukan. Ternyata bukan hanya warga transmigran Trukajaya saja yang bergotong royong, warga jemaat kelompok Imanuel pun turut membantu. Walaupun mereka berbeda latar belakang, tetapi mereka mempunyai kerinduan sebagai sebuah persekutuan Tubuh Kristus. Persoalan muncul ketika dana yang ada tidak mencukupi pembangunan gedung yang direncanakan berbentuk salib tersebut. Karena itu proses pembangunan menjadi begitu lama, kemudian jemaat memanfaatkan gedung SD Kristen yang sudah berdiri di lahan itu sebagai tempat ibadah. Sekitar tahun 1981, gedung gereja sudah terbangun walau belum sempurna. Bangunan itu kemudian ditempati untuk kebaktian. Belum begitu lama Gedung dipakai sebagai tempat ibadah, di depan gereja akan dibangun PT Miwon Indonesia. Kemudian timbullah kebijakan dari YTK Trukajaya yang mendapat ganti rugi dari PT Miwon Indonesia karena tanahnya dipakai untuk pendirian pabrik, bahwa gedung gereja sebaiknya pindah dan Yayasan tersebut berjanji akan membangunnya dengan uang Yayasan. Jemaat tidak perlu bersusah payah membangunnya, karena jemaat tinggal terima kuncinya atau terima jadi. YTK Trukajaya lewat pengurusnya menjanjikan pembangunannya, baik dari segi dana, beban, dan prosesnya. Juga sebagian jemaat setuju pindah, karena berpendapat bahwa jika lokasi gedung gereja masih ada di dekat pabrik, maka ketenangan dalam beribadah akan sering terusik. Usulan ini ternyata tidak serta-merta disetujui oleh sebagian warga yang lain. Bagi sebagian warga yang merasakan berjuang dengan susah payah membangun gedung gereja tersebut, rencana kepindahan itu tidak begitu saja diterima dengan sikap yang lepas. Masih ada ganjalan di hati mereka. Agaknya ini juga yang menjadikan persekutuan jemaat Gloria sedikit mengalami disharmoni. Kemudian setelah sebagian besar setuju dan dengan pertimbangan yang masak, akhirnya dicarilah lokasi yakni di bedeng M. Menurut beberapa jemaat, di lokasi ini tidak jadi didirikan bangunan gereja, karena warga sekitar yang mayoritas muslim tidak mengijinkan. Mereka tidak memberikan tanda tangan persetujuan. Akhirnya lewat pergumulan, doa, dan usaha didapatlah lokasi yang tepat untuk didirikan gedung gereja yakni disebelah tanah milik Yayasan Pendidikan Kristen. Bangunan yang baru segera didirikan. Pembangunan mulai didirikan pada tahun 1988 dan ditangani oleh orang-orang YTK Trukajaya. Persoalan timbul kembali sekitar tahun 1991, ketika bangunan belum jadi secara sempurna, kap atas (atap) gedung gereja hampir runtuh. Ini dikarenakan perhitungan yang kurang matang. Bangunan terbengkalai begitu lama, karena lamanya tidak diperhatikan lagi oleh YTK Trukajaya, maka jemaat kemudian mengajukan klaim kepada YTK Trukajaya dan Sinode GKJ di Salatiga. Sekitar tahun 1997, jemaat mengutus : Pdt. Kristanto Budi Prabowo (sebagai gembala jemaat saat itu) bersama dengan Pdt. Purwadi Pranoto Hadi (gembala jemaat GKSBS Pugungraharjo), dan Bp. Sukadi sebagai wakil panitia pembanguna gedung gereja untuk mengklaim hal tersebut.
Dan pada saat itu YTK Trukajaya tidak mau memberikan biaya renovasi total, tetapi hanya sebagian saja karena tidak memiliki dana lebih. Dana itu sama sekali tidak mencukupi untuk memperbaiki atap yang sudah runtuh. Sama sekali meleset dari janji semula. Jemaatpun mengalami kekecewaan yang luar biasa kepada YTK Trukajaya. Jemaat marah dan mengapa jemaat diperlakukan seperti itu? Mereka juga mengalami kebingungan, bagaimana melanjutkan pembangunan kembali. Dari mana uangnya?
Kemudian dalam pergumulan mereka, ada yang mengusulkan kalau gedung gereja dekat PT Miwon dijual saja sebagian dan tambahan untuk membangun gedung yang baru tersebut. Tetapi ada sebagian juga yang tidak rela jika gedung itu dijual, dengan pertimbangan gedung itu adalah bukti sejarah betapa pahit getirnya membangun gedung gereja pada masa kekurangan atas dasar kerinduan memiliki tempat ibadah. Selama gedung belum diperbaiki, kebaktian tetap berlangsung di gedung yang lama.
Dalam pada itu, jemaat terus berusaha dan berdoa, hingga kemudian terbentuk panitia pembangunan gedung gereja yang baru. Sekitar tahun 1999, terbangunlah atap yang kokoh dari besi menggantikan atap dari kayu yang telah runtuh. Harganya memang mahal, tetapi berkat pertolongan Tuhan, atap sudah ada. Banyak donatur baik warga jemaat maupun dari luar yang membantu. Bukan hanya atap yang bisa dibangun, tetapi juga lantai keramik dan segala kelengkapan gedung dapat terealisasi sehingga menjadi sebuah gedung gereja yang megah. Sebelum pendewasaan jemaat tanggal 8 Juni 2000, warga sudah lebih dulu menikmati kebaktian di gedung yang baru dengan sukacita tanpa rasa was-was gedung akan runtuh seperti atap dari kayu dahulu.
Jemaat/Kelompok Sinar Menanga
Sebagai orang Kristen, Parman sekeluarga membutuhkan siraman rohani. Mereka kemudian mendapati gereja di daerah Sumber Wangi, dengan jarak kurang lebih 7 km dari Sinar Menanga. Di Sumber Wangi itu, GKL kelompok Sumber Wangi berada dan merupakan kelompok dari GKL Mengandung Sari. Setiap hari Minggu, mereka menyempatkan diri beribadah disana. Sebagai gembala jemaat GKL Mengandung Sari dan pendeta konsulen di GKL Pugungraharjo pada waktu itu, Pdt. Ramlan Hadi Suwito juga sering melayani jemaat Sumber Wangi. Pada suatu Minggu, setelah ibadah selesai, Parman mendekati Pdt. Ramlan Hadi Suwito dan mengatakan bahwa dia dan beberapa orang Kristen minta dilayani baptisan. Ternyata orang Kristen di Sinar Menanga bertambah karena ajakan keluarga Parman. Dan permintaan ini disanggupi oleh Pdt. Ramlan Hadi Suwito. Karena kesibukan beliau sebagai gembala jemaat, maka sebelum pelaksanaan baptisan, katekisasi hanya bisa dilakukan beberapa kali saja, dan menurut Pdt. Ramlan itu sangat kurang. Akhirnya pada tahun 1985, 30 orang (7 KK) termasuk anak-anak di baptis. Baptisan masal terjadi. Namun Pdt. Ramlan Hadi Suwito sangat menyesal karena pelayanan kesana baik oleh dirinya maupun majelis GKL Mengandung Sari sangat minim dikarenakan jarak yang jauh, medan yang sulit, pelayanan yang begitu banyak dan tenaga pelayan yang amat sedikit. Menurut Pdt. Ramlan Hadi Suwito, ini mengakibatkan jemaat yang dibaptis mempunyai iman Kristen yang amat minim.
Pdt. Ramlan Hadi Suwito mencoba untuk membuka wawasan rohani maupun kehidupan sehari-hari warga Sinar Menanga, baik yang Kristen maupun yang bukan. Pada awal tahun 1987, Pdt. Ramlan Hadi Suwito mengajak pemuda-pemudi GKL dari Pugungraharjo, Mengandung Sari dan Jayaguna untuk berkemah selama 3 hari di Sinar Menanga. Dalam acara kemah itu, para pemuda-pemudi melakukan bersih desa bersama dengan warga setempat, mengadakan ceramah kesehatan dengan mengundang dr. Wisnu dari RS. Mardi Waluyo, WC-nisasi dan juga mengundang Pdt. Sugianto sebagai pembicara.
Pembangunan Gedung Gereja
Sejak adanya baptisan baru pada tahun 1985, mereka kemudian mendirikan bangunan yang berfungsi sebagai gedung gereja di pekarangan milik Parman. Peristiwa yang mengenaskan terjadi ketika bangunan sudah menjadi rangka dan atap sudah naik, warga sekitar melarang bangunan itu dilanjutkan. Alasannya adalah karena warga Kristen belum banyak jumlahnya dan memerlukan tempat untuk beribadah. Percakapan-percakapan dengan warga dan perangkat desa tidak membuahkan hasil. Akhirnya Pdt. Ramlan Hadi Suwito berinisiatif menemui camat setempat. Dia mengatakan kepada camat, jika jemaat tidak boleh mendirikan tempat ibadah, maka jemaat akan meminta ijin menggunakan SD dan lapangan yang ada di dusun itu sebagai tempat ibadah. Camat tidak memperbolehkannya dan kemudian mengirim surat kepada kepala desa setempat agar jemaat boleh mendirikan tempat ibadah. Tempat ibadah dapat berdiri, walau berdinding papan dan digunakan sampai saat tulisan ini dibuat. Berkat pertolongan Tuhanlah semua ini dapat terjadi. Selanjutnya sejak tahun 2012 jemaat wilayah Sinar Menanga (selanjutnya disebut jemaat wilayah Anugerah Sinar Menanga, telah memiliki gedung gereja permanen yang cukup megah.
Terintegrasi
Hasil pertumbuhan jemaat mula-mula yang berada di kelompok-kelompok tersebut merupakan hasil Pekabaran Injil (PI) kelompok awam (tentu dengan cara mereka sendiri) yang berhasil menarik orang menjadi Kristen. Gereja lokal baik GKL Pugungraharjo, maupun GKL Mengandung Sari saat itu dan para pelayannya, merupakan pemelihara dan fasilitator penumbuhkembangan jemaat. Ini merupakan hal yang menarik karena pola penginjilan kaum awam telah terjadi pada masa itu. Idealismenya PI pada jaman invansi negara-negara dari Eropa bahkan sampai sekarang, PI dilakukan dengan mengirim utusan-utusan atau para misionarisnya ke pelbagai tempat agar banyak orang menjadi Kristen. Bukan bermaksud meremehkan peran GKL Pugungraharjo dan GKL Mengandung Sari beserta pelayan-pelayannya pada saat itu dalam PI, tapi pada kenyataannya peran PI tidak diambil secara nyata. Peran PI kaum awam yang nampak hasilnya. Namun para klerus ternyata mengambil peran dalam pemeliharaan dan pengembangan iman jemaat.
Memang dalam sejarah tercatat bahwa GKL Pugungraharjo saat itu mempunyai kerinduan untuk melayani jemaat yang ada di Pasir Luhur maupun para transmigran Trukajaya, tetapi ini lebih dikarenakan kerinduan anggota kelompok-kelompok tersebut yang ingin dilayani. Mereka masih belum mampu melayani diri sendiri. Demikian pula yang terjadi di jemaat kelompok Sinar Menanga, GKL Mengandung Sari tinggal mengadopsinya, sekaligus memeliharanya dalam iman Kristen.
Perubahan terjadi ketika kelompok jemaat yang ada di Gunung Pasir Jaya merasa bisa untuk mandiri dari asuhan GKSBS Pugungraharjo. Jemaat Imanuel dan Gloria kemudian diberi kesempatan untuk menjadi dewasa dan menjadi GKSBS Gunung Pasir Jaya pada tanggal 8 Juni 2000. Pendewasaan ini rupa-rupanya dilihat oleh GKSBS Mengandung Sari untuk melimpahkan tugas pelayanan jemaat di Sinar Menanga kepada GKSBS Gunung Pasir Jaya, alasannya karena jarak yang lebih dekat dengan GKSBS Gunung Pasir Jaya dan gereja itu kekurangan tenaga pelayan. Dan sejak saat itu, GKSBS Gunung Pasir Jaya mempunyai 3 kelompok jemaat yaitu Imanuel, Gloria, dan Sinar Menanga. Nama Gloria dan Imanuel dipakai dengan tujuan supaya tidak terjadi kelompokisme berdasar asal mula atau latar belakang. Sedangkan nama Sinar Menanga tetap dipakai karena memiliki sejarah tersendiri dan baru bergabung saat pendewasaan.