(Catatatn: Tulisan sejarah ini diambil dari tulisan Sejarah GKSBS Gunung Pasir Jaya karena GKSBS Imanuel Pasir Luhur didewasakan pada 20 Februari 2020)
GKSBS Imanuel Pasir Luhur pada awalnya menjadi bagian dari GKSBS Pugungraharjo, kemudian menjadi bagian dari GKSBS Gunung Pasir Jaya dan saat ini sudah menjadi jemaat dewasa dengan nama GKSBS Imanuel Pasir Luhur pada 20 Februari 2020. Daerah tempat tinggal jemaat ini bernama Dusun Pasir Luhur yang dulu merupakan bagian dari desa Gunung Sugih Besar. Saat ini sudah masuk wilayah Gunung Pasir Jaya, Kec. Sekampung Udik, Kab. Lampung Timur.
Kedatangan mula–mula ini berasal dari dua orang perintis pembuka lahan baru yang bernama Wongso Rejo dan Amat Supingi (Banyu Mas, Jawa Tengah). Kedatangan dua orang sahabat ini dilatarbelakangi oleh kerinduan mereka untuk memperoleh penghasilan hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Wongso Rejo berasal dari daerah transmigrasi Seputih Raman sedangkan Amat Supingi dari Seputih Banyak (Lampung). Mereka mendengar bahwa kepala desa Gunung Sugih Besar telah mengumumkan bahwa akan ada penambahan warga baru sekitar 60 KK agar desanya bertambah maju. Setiap KK akan mendapat jatah lahan seluas 2 Ha dengan cara membuka lahan sendiri dan membayar 1 kwintal padi untuk biaya administrasi. Ini berlaku bagi siapa saja. Rupanya dua orang ini menanggapi tawaran tersebut. Tahun 1965 mereka datang dan diijinkan membuka lahan seluas luasnya oleh kepala desa, dan mereka berhasil membuka seluas 15 ha dengan dana pribadi. Ketika lahan sudah dibeli dan dibuka, mereka kedatangan beberapa rekan mereka dari Seputih Raman dan Seputih Banyak. Mereka adalah keluarga : Yatikun, Wiradi, Sarno, Mingun, dan Mirso Adi. Beberapa keluarga ini kemudian membeli lahan dari Wongso Rejo dan Amat Supingi masing-masing 4,5 rantai. Setelah menetap di daerah baru tersebut, mereka semakin memperluas lahan baru disekitar mereka. 8 KK sudah mendiami daerah baru itu, dan mereka sepakat untuk menamai daerah itu dengan nama Dusun Pasir Luhur, sesuai dengan desa asal perintis mereka yakni Wongso Rejo dan Amat Supingi yang berasal dari dusun Pasir Luhur, Banyu Mas, Jawa Tengah. Hal itu dimaksudkan supaya mereka kerasan/betah dan tidak merasa asing dengan daerah baru tersebut . Dan sampai tulisan ini dibuat, gaya bicara, dan aksen masing-masing daerah asal masih nampak di dusun Pasir Luhur melalui kehidupan kesehariannya, yakni aksen “ Ngapak”.
Benih yang Tumbuh dan Pergumulannya
“Benih” yang sudah ada, ketika “disemaikan” oleh Tuhan di dusun Pasir Luhur ini, mulai menunjukkan perkembangannya. Pada April 1966, Amat Supingi (saat itu belum Kristen diantara 8 kk lainnya) meminta kepada Majelis Jemaat Gereja Kristen Lampung ( GKL) Pugung Raharjo untuk dibaptis. Amat Supingi dahulu di Seputih Banyak pernah mengenal Yesus secara pribadi. GKL Pugungraharjo adalah gereja terdekat dari dusun Pasir Luhur dan merupakan kelompok pelayanan GKL Batang Hari. Amat Supingi dan keluarga kemudian dibaptis oleh Pendeta Siswo Dwijo sebagai pendeta utusan GKJ yang ditugaskan di Lampung untuk melayani jemaat GKL.
Setelah menjadi Kristen, Amat Supingi dan keluarga bergabung dengan KK yang lain, sepakat membentuk persekutuan jemaat dusun Pasir Luhur. Ketika tahun 1967 GKL Pugungraharjo menjadi jemaat dewasa, maka jemaat Pasir Luhur memohon agar dilayani sebagai kelompok pelayanan GKL Pugungraharjo.
Persemaian menghasilkan benih-benih yang baru, dimana pada tahun 1967, ada keturunan keluarga dan tujuh orang yang berasal dari luar Kristen, menyediakan diri untuk menjadi keluarga Tuhan Yesus.
Dalam pertumbuhannya sampai tahun 1980, anggota jemaat Pasir Luhur mencapai 56 KK. Suatu pertumbuhan yang nyata nampak ketika dari anggota jemaat tersebut banyak yang berasal dari orang-orang diluar Kristen yang dibaptis dan masuk menjadi anggota jemaat Allah.
Pada saat itu proses perjalanan kekristenan di dusun Pasir Luhur dialami dengan cara yang tidak mudah. Banyak pergumulan yang mereka rasakan. Pada tahun 1970, sewaktu orang-orang yang tinggal di dusun Pasir Luhur mulai banyak belajar tentang kekristenan, terjadilah pergolakan yang pelik. Ada orang-orang tertentu yang tidak menyenangi apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen saat itu. Mereka menuduh adanya Kristenisasi. Adanya orang-orang suku asli yang tidak senang karena keberhasilan kehidupan para pendatang yang ingin merebut lahan yang sudah dibuka sekaligus tidak menyukai kekristenan, membuat orang-orang itu mengadakan pergerakan yang mengancam ketenangan warga pendatang. Orang-orang tersebut bahkan sampai mengadakan tindakan yang mengancam jiwa, khususnya terhadap Wongso Rejo dan Amat Supingi yang dianggap sebagai pelopor Kekristenan di dusun itu. Jemaat menghadapinya dengn rendah hati, pasrah dan memohon pertolongan Tuhan Yesus. Atas penyertaan Tuhan, “persemaian” di dusun itu dapat menghasilkan tanaman-tanaman yang menghasilkan buah dan memperoleh “bibit-bibit” baru lagi. Bahkan sebagai ucapan syukur atas penyertaan Tuhan dalam kehidupan dan pergumulan mereka yang begitu berat, mereka memberi nama jemaat Pasir Luhur menjadi GKL Imanuel Pasir Luhur. Sebuah nama yang menjadi refleksi atas pergumulan hidup mereka.
Pasang surut anggota jemaat pernah dialamai oleh jemaat Imanuel. Pada tahun 1985, jemaat Imanuel mengalami pengurangan sejumlah 15 KK yang pindah ke Palembang dengan tujuan mencari penghidupan yang lebih baik. Dan kabar yang diterima Amat Supingi, mereka disana tetap dalam iman kepada Kristus. Jemaat yang tinggalpun tidak luput mengalami pasang surut. Banyak yang masuk dan keluar anggota gereja karena pernikahan. Jumlah yang ada sampai sekarang ada 46 KK.
Pembangunan Gedung Gereja
Pada saat jemaat Imanuel membangun gedung gerejanya, hambatan yang berarti hampir tidak ada. Jemaat Imanuel mengalami masa pemilikan gedung gereja sejak saat diterima menjadi kelompok GKL Pugungraharjo pada tahun 1967. Gedung gereja itu amat sederhana, berdiri dilokasi gedung gereja sekarang, yang merupakan cikal bakal gedung gerja pada saat ini. Pada tahun 1980, mulailah jemaat Imanuel membangun gedung gereja yang permanen hingga sekarang ini, dengan beberapa kali mengalami renovasi. Uniknya selama membangun gedung gereja tersebut, banyak warga sekitar gereja yang bukan Kristen turut membantu dengan dana, barang maupun tenaga. Menurut Amat Supingi, mereka mau membantu karena merasa dapat memilki tanah di dusun Pasir Luhur dengan biaya yang murah dan merasa diterima dengan baik oleh warga mula-mula. Balasannya ketika mereka membangun Masjid, banyak orang Kristen juga yang mau membantu. Sebuah keunikan yang terjadi di dusun Pasir Luhur.