Transpolri dan Komunitas Kristen
Pada tahun 1972-1974, Transpolri (Transmigrasi Polisi Republik Indonesia) diselenggarakan di daerah Kabupaten Lampung Tengah, tepatnya di Gunung Sugih dan Margatiga (sekarang wilayah Lampung Timur). Dalam penempatannya, transpolri tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: wilayah Jayaguna 1, Jayaguna 2 dan Jayaguna 3. Wilayah Jayaguna 1 terdiri dari blok A sampai blok E yang terletak di Desa Sukarajatiga. Wilayah Jayaguna 2 sendiri terletak di Gunung Sugih, Lampung Tengah. Sedangkan Wilayah Jayaguna 3 terdiri dari blok F sampai blok I yang terletak di Desa Jayaguna. Desa Sukarajatiga dan Jayaguna ini merupakan bagian dari Kecamatan Margatiga, Lampung Timur dan dipisahkan oleh sungai Sekampung.
Pada tahun 1972, para transpolri datang dan menempati rumah papan yang disediakan oleh pemerintah. Mereka membuka lahannya yang masih berbentuk hutan, dan seringkali dikerjakan secara bersama-sama dan bergiliran. Hiburan ‘geladak’ merupakan kegiatan yang sering mereka lakukan bersama-sama untuk memperoleh binatang liar yang mereka inginkan. Untuk memenuhi kebutuhan air, mereka berupaya membuat sumur secara bergantian. Di antara mereka terdapat 14 keluarga yang beragama Kristen dan Katolik. Mereka beribadah bersama-sama dari rumah ke rumah secara bergiliran
Pada tahun 1974, transpolri, gelombang berikutnya tiba di Jayaguna (blok F – I). Dari antara mereka terdapat orang-orang Kristen. Dalam komunitas di tempat yang baru mereka mengadakan ibadah bersama di rumah warga jemaat secara bergantian. Kadangkala mereka bergabung dengan komunitas Kristen yang ada di Sukarajatiga.
Pertumbuhan dan Perkembangan Gereja
Secara umum kedatangan para transpolri dan pendatang perorangan pada tahun 1972 – 1980 merupakan cikal bakal pertumbuhan dan perkembangan jemaat GKSBS Jayaguna dan kelompok-kelompok pelayanannya. Pada tahun 1972, para transpolri datang di Jayaguna 1 (desa Sukarajatiga) dan di antara mereka terdapat 10 KK (Kepala Keluarga) Kristen. Di tahun yang sama, pertumbuhan di kelompok Ululinjing dimulai dari tiga pendatang dari Jawa Timur, yang sebelumnya pernah tinggal di Natar. Pada tahun 1973, jumlah anggota jemaat bertambah karena petobat-petobat baru. Sedangkan transpolri Jayaguna 3 dilakukan di desa Jayaguna pada tahun 1974. Di antara mereka pun terdapat sejumlah KK Kristen yang kemudian membentuk dua kelompok, yaitu blok F dan blok I. Di dekat blok F (atau kelompk Sinar Sumedng) juga tumbuh kelompok Sinar Jaya dan Gisting.
Sebelum pendewasaan jemaat, jemaat DPB (Daerah Pertumbuhan Baru) Jayaguna pernah melayani kelompok Raman di desa Sukarajatiga yang berdiri pada tahun 1973. Mereka sudah memiliki gereja sederhana dari papan. Sampai pada tahun 1980-an terdapat 17 KK di sana. Akan tetapi jemaat mengalami penurunan jumlah anggota jemaat, karena sebagian warga jemaat pindah ke Kalianda, Lampung Selatan, sebagian lagi meninggal dunia dan ada yang pindah ke gereja lain. Sampai pada tahun 1982, jemaat tersisa 4 KK yang kemudian bergabung dengan kelompok Jayaguna.
Dari masa perintisan sampai pertumbuhan GKSBS Jayaguna sangat dipengaruhi oleh adanya keterbukaan dalam bermasyarakat. Baik masyarakat kelompok Kristen maupun non Kristen saling terbuka. Keterbukaan itu tercermin dengan saling berkunjung pada hari raya dan kehadiran seseorang dalam kegiatan seremonial; misalnya orang Kristen menghadiri undangan kenduri dan kunjungan Idul Fitri di rumah-rumah warga muslim, sebaliknya orang non Kristen bersedia menghadiri ibadah dan perayaan Natal di gereja dan berkunjung di rumah-rumah warga Kristen. Mereka saling menghormati perbedaan itu. Ada juga dari antara mereka yang mengenal kekristenan, menjadi simpatisan dalam PA, dan akhirnya menjadi Kristen.
Pertumbuhan gereja terjadi karena peran pelayan yang setia dan kesaksian orang Kristen sendiri. Orang-orang awam yang setia bersedia saling melayani dalam persekutuan baik menjadi majelis maupun aktivis gereja. Demikian juga dengan para guru Injil dan Pendeta yang terlibat di dalamnya. Pelayan yang terlibat dalam perintisan jemaat DPB Jayaguna adalah Pdt Ramelan, pendeta yang melayani jemaat GKSBS Mengandung Sari dan bapak Suharno, guru Injil yang melayani di GKSBS Batanghari. Sedangkan pendeta yang dipendetakan di Jemaat GKSBS Jayaguna adalah Pdt. Sukardi dan Pdt. Sri Yuliana.
Pendewasaan GKSBS Jayaguna
Sebagai gereja DPB (Daerah Pertumbuhan Baru) Jayaguna, tumbuh pemikiran untuk pendewasaan jemaat dan menyampaikan maksud tersebut kepada Klasis Metro serta mensosialisasikan kepada warga jemaat. Berbagai alasan yang menjadi latar belakang dari keinginan warga jemaat untuk dewasa, yaitu: pertama, adanya kesadaran wilayah pelayanan yang sangat luas, pelayanan dirasa kurang efektif atau maksimal. Sehingga pendewasaan jemaat dimaksudkan untuk mengembangkan dan memaksimalkan pelayanan. Kedua, jemaat merasa mampu untuk mandiri, baik dari segi sumber daya manusia maupun sumber dana, sehingga dapat mengelola keuangan sendiri, dan mengambil kebijakan sendiri untuk pelayanan di Jayaguna. Ketiga, jemaat ingin memiliki pendeta sendiri. Keempat, jarak antar kelompok cukup jauh, sehingga memungkinkan majelis tidak hadir dalam persidangan majelis. Karena pada waktu itu hanya beberapa majelis saja yang memiliki sepeda, apalagi motor. Sehingga, sebagian majelis merelakan diri berjalan kaki untuk mengikuti persidangan majelis.
Pada tanggal 29 April 1985, sidang majelis DPB Jayaguna bersama dengan wali GKL Mengandungsari dan visitor klasis Metro (4 orang) menyatakan DPB Jayaguna layak didewasakan dan diajukan ke persidangan Klasis Metro. Adapun jumlah jemaat saat itu 70 KK dan simpatisan (dalam pemuridan) yang berjumlah 38 orang. Pada Sidang Klasis Metro XXIX tanggal 13-15 Mei 1985 di Pugungraharjo mengesahkan berdirinya GKL Jayaguna. Peresmian GKL Jayaguna yang terdiri dari enam kelompok yaitu Jayaguna, Ululinjing, Blok F, Blok I, Sinar Jaya dan Gisting dilaksanakan pada tanggal 16 Juli 1985.
Sejarah Empat Kelompok Pelayanan
Berikut ini gambaran singkat tentang sejarah empat kelompok pelayanan di GKSBS Jayaguna, yaitu kelompok Jayaguna, Ululinjing, Sinar Sumedang, dan Blok I.
- Kelompok Jayaguna.
Warga jemaat kelompok Jayaguna berada di tiga kelurahan, yaitu Sukarajatiga, Gedong Wani dan Negeri Agung. Sebagian besar warga jemaatnya berada di Desa Sukarajatiga dan beberapa keluarga berada di dusun Sumber Rejeki, Desa Gedong Wani yang jaraknya 1,5 km dari gereja kelompok Jayaguna dan berada di Negeri Agung, 3 km dari gereja kelompok Jayaguna. Rentetan sejarah kelompok Jayaguna tidak dapat dipisahkan dari transpolri di wilayah Jayaguna 1 (sekarang desa Sukarajatiga) pada tahun 1972. Di antara mereka terdapat 14 keluarga yang beragama Kristen dan Katolik. Mereka tidak melupakan ibadahnya; ibadah menjadi kebutuhannya. Selain dimaksudkan mereka untuk berbhakti kepada Tuhan Allah, ibadah dimaksudkan sebagai kesempatan untuk kumpul bersama. Ibadah itu dilakukan dari rumah ke rumah secara bergantian dan dilayani oleh beberapa orang dari mereka sendiri karena belum adanya tenaga pelayan. Pada tahun 1973, seorang polisi memberikan rumah papan kepada komunitas Kristen tersebut. Mereka menggunakan rumah itu sebagai gereja. Beberapa waktu kemudian mereka menerima kunjungan dari Kapolda Jakarta dan yang kemudian memberikan tanah untuk rumah ibadah kepada umat Kristen, Katolik, Islam dan Hindhu, tepatnya di wilayah Jayaguna 1, Desa Sukarajatiga. Pada akhirnya orang Kristen dan Katolik bersepakat membangun gedung gereja dan beribadah masing-masing. Walaupun demikian hubungan mereka tetap terjalin baik. Dewasa ini warga jemaat terdiri dari 20 KK. Kegiatan pelayanan yang dilakukan di kelompok Jayaguna dalam rangka membangun iman mereka antara lain Ibadah Minggu di gereja dan Pendalaman Alkitab (PA) Kelompok bagi semua warga jemaat secara bergiliran di rumah jemaat.
- Kelompok Ululinjing.
Jemaat kelompok Ululinjing berada di dusun Ululinjing, Desa Negeri Jemanten, 3 km jaraknya dari kelompok Jayaguna. Pada tahun 1970-an, desa ini sudah dihuni oleh suku Lampung dan suku pendatang, Sunda, Jawa dan Bali, akan tetapi desa ini masih berbentuk ‘induh’ yang berarti belukar. Pada tahun 1972, terdapat tiga pendatang yang beragama Kristen, yaitu bapak Wiranto dan isterinya, ibu Sunyarpi, serta bapak Sonto. Mereka berasal dari Blitar, Jawa Timur, yang pernah menjadi pendatang di daerah Natar, Lampung Selatan pada tahun 1968. Pada tahun 1969, mereka telah dibaptis dan dilayani oleh gereja GPIB. Mereka mencari orang-orang patunggilan agar dapat bersekutu bersama dan menemukan patunggilan itu di Tanjungkari. Mereka beribadah di GKL Tanjungkari (sekarang GKSBS Batanghari kel. Tanjungkari) setiap hari minggu yang dilayani oleh guru Injil Suharno. Setelah beberapa bulan kemudian, bapak Suharno merencanakan penginjilan di Ululinjing dan mendoakannya bersama ketiga orang tersebut. Ia datang di Ululinjing melakukan penginjilan kepada 4 keluarga, termasuk keluarga bapak Sonto sendiri. Kemudian keempat keluarga itu bersedia mengikuti katekisasi. Mereka mendapat tekanan dari kepala suku dan Poldes (Polisi Desa), secara khusus bapak Wiranto diinterogasi terkait isu kristenisasi. Namun ia dapat menjelaskan hal itu dengan bijak dan katekumen tetap mengikuti pembinaan. Pada tanggal 6 Mei 1973, terlayani pembaptisan 30 orang dari 4 keluarga. Atas pertimbangan pertumbuhan jemaat dan jangkauan pelayanan, bapak Suharno menyerahkan jemaat tersebut kepada GKL Mengandung Sari. Mereka bergabung dan beribadah di kelompok Jayaguna. Pada tahun 1975, mereka memikirkan dan berupaya bagaimana dapat beribadah sendiri terkait jarak yang relatif jauh. Seorang yang bernama bapak Cokro berinisiatif meminjamkan rumahnya yang kosong untuk dipergunakan tempat ibadah warga jemaat. Demikian mereka dengan semangat dan setia beribadah bersama. Keinginan memiliki gereja sendiri muncul dan mendirikan gereja sederhana yang beratapkan welit dan dinding papan di samping lapangan sepak bola yang kemudian pindah di pekarangan bapak Wiranto. Beberapa kali mereka berpindah-pindah tempat ibadahnya karena belum memiliki tanah untuk gereja sendiri. Pada tahun 1983, warga jemaat memulai pembangunan gedung gereja kelompok Ululinjing dengan ukuran 7 x 12 m2 di tanah seluas 10 x 25 m2, yang merupakan tanah hibah dari bapak Wiranto dan bapak Tohir, masing-masing 5 x 25 m2 (penandatangan surat hibah tanah gereja dilakukan pada tahun 1984). Warga jemaat memberikan dukungan dana, tenaga dan doa untuk pembangunan gedung gereja. Mereka gotong-royong membangun gereja yang diimpikan. Pada akhirnya, gereja dapat berdiri meskipun membutuhkan waktu cukup lama untuk pembangunan gereja karena keterbatasan dana. Berbagai kegiatan pelayanan yang dilakukan di kelompok Ululinjing dalam rangka membangun iman mereka antara lain ibadah Minggu di gereja, Sekolah Minggu, PA kelompok bagi semua warga jemaat secara bergiliran di rumah jemaat, Katekisasi Remaja dan PA Remaja di gereja. Dewasa ini warga jemaat terdiri dari 22 KK dan dilayani oleh 3 majelis.
- Kelompok Blok I.
Kedatangan transpolri pada tahun 1974 merupakan bagian sejarah berdirinya jemaat kelompok blok I yang terletak di desa Jayaguna dan blok F (Sinar Sumedang) yang terletak di desa Sinar Sumedang. Jarak antara kelompok blok I dan gereja kelompok Jayaguna adalah 7 km. Transpolri Jayaguna 3 yang ditempatkan di desa Jayaguna merupakan program kelanjutan dari pemerintah setelah dilaksanakannya transpolri Jayaguna 1 dan 2. Para transpolri menempati rumah papan atau geribik yang disediakan pemerintah, namun beberapa keluarga di antara mereka harus membangun rumah sendiri karena terbatasnya rumah yang disediakan pemerintah. Mereka bergotong royong untuk mendirikan rumah; ada yang menebang pohon untuk tiang dan pohon bambu untuk geribik, ada juga yang menebas alang-alang lalu dijemur dan dibuat welit sebagai atap rumah. Demikian untuk membuka hutan, bercocok-tanam mereka juga lakukan dengan gotong-royong dan bergantian. Kerjasama dan kebersamaan tersebut terus dipelihara dalam bermasyarakat. Selain bekerja dan memelihara hubungan sosial, secara khusus warga Kristen transpolri juga tetap memelihara hubungan pribadi dengan Allahnya. Mereka beribadah di rumah jemaat. Adapun pelayan yang melayani mereka dalam ibadah adalah beberapa jemaat dari antara mereka sendiri dan dilakukan secara bergiliran. Selain itu, jemaat mengadakan bébel (sebutan orang Jawa dari kata Bible) atau pendalaman Alkitab 1 kali dalam seminggu. Karena bébel dilakukan pada malam hari, maka mereka membuat oncor atau obor sebagai penerang dalam perjalanan. Dengan setia mereka melakukannya dan memelihara paseduluran (persaudaraan) yang telah terbangun. Warga jemaat kadangkala beribadah bersama-sama dengan warga jemaat Wilayah Jayaguna 1. Untuk datang ke sana atau sebaliknya, mereka harus menyeberangi sungai Sekampung. Pada Desember 1975, mereka mengadakan ibadah dan perayaan Natal dengan sederhana. Bukan hanya jemaat yang hadir dalam acara tersebut, tetapi juga warga non Kristen hadir di dalamnya. Mereka semua menikmati ibadah dan perayaan natal dan acara makan bersama mempererat relasi mereka. Bagi orang non Kristen, natal menjadi hal yang berkesan; mereka mengenal tradisi Kristen dan mengenal Tuhan Yesus. Pada akhirnya, beberapa simpatisan hadir dalam bébel dan di kemudian hari mereka bersedia dibaptiskan. Pertumbuhan jemaat diketahui melalui bertambahnya jumlah anggota jemaat, sehingga timbul pemikiran bagaimana gereja dapat berdiri. Mereka mengumpulkan dana untuk pembangunan gereja. Pada tahun 1978, warga jemaat memulai pembangunan gereja di blok I. Dengan gotong royong, pendirian gereja dikerjakan. Selain warga jemaat, warga tetangga pun turut dalam pembangunan. Dewasa ini jemaat kelompok Blok I berjumlah 4 KK dengan 7 orang dan dilayani 1 orang majelis. Dua orang di antaranya merantau. Penurunan jumlah jemaat dikarenakan jemaat yang meninggal, sebagian jemaat yang kembali ke Jawa, pindah ke daerah lain terkait masalah ekonomi, dan sebagian pindah agama. Walaupun hanya 5 orang tersisa, mereka setia beribadah, dan majelis jemaat pun tetap setia melayani jemaat di sana.
- Kelompok Sinar Sumedang.
Sejarah berdirinya jemaat kelompok Sinar Sumedang (blok F) bersamaan dengan jemaat kelompok blok I dimana warganya dari transpolri pada tahun 1974. Kelompok ini merupakan perubahan nama dari kelompok blok F. Pada waktu itu orang-orang Kristen berkumpul dan mengadakan ibadah di rumah mbah Marto di Blok F tiap hari minggu. Ketika jemaat mengalami pertumbuhan, mereka berkeinginan untuk membangun gereja. Pada tahun 1989, mereka membuat pondasi gereja di atas tanah seluas 20 x 40 m2 di blok F. Beberapa material mulai terkumpulkan. Akan tetapi pembangunan itu terbengkalai karena banyak warga jemaat yang pindah ke Menggala, Tulang Bawang. Beberapa jemaat yang tersisia pindah tempat ibadah dari rumah mbah Marto ke rumah mbah Ruminto di Sinar Sumedang, karena di sana warganya lebih banyak dibandingkan dengan blok F. Jumlah warga berkurang lagi. Pada akhirnya, tempat ibadah pindah di rumah mbah Samin sampai sekarang. Kelompok ini terdiri dari 2 KK yang berjumlah 2 orang. Kegiatan pelayanan hanya ibadah minggu dan dilayani oleh majelis jemaat secara bergiliran.
Nilai-Nilai Dalam Sejarah
Dari kesaksian para warga jemaat tentang sejarah mereka dalam bergereja, dapat dipahami adanya nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan mereka. Adapun nilai-nilai tersebut ialah:
Pertama, saling berbagi. Sebagai pendatang, warga jemaat harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun mereka tidak hanya mementingkan diri sendiri, mereka mau saling berbagi dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hal tersebut terbukti ketika ada pendatang baru, mereka memberi tumpangan dan makan bersama-sama hingga berbulan-bulan. Ketika ada yang sakit, mereka memberikan pengobatan, misal di blok F, mereka rela menandu atau menggotong orang sakit dengan jarak 3-4 km untuk mengantar si sakit kepada bidan. Hal itu membuatkekeluargaan terbangun di antara warga jemaat karena mereka menyadari hidup bersama-sama sebagai pendatang.
Kedua, kekeluargaan. Dalam kehidupan warga jemaat tercipta kehidupan yang rukun, guyup, saling mengasihi dan kebersamaan yang terus terpelihara. Bukan hanya berlaku di dalam berjemaat saja, tetapi mereka juga srawung terhadap orang-orang di sekitarnya.
Ketiga, gotong-royong atau kerjasama. Nilai ini telah membudaya dalam kehidupan jemaat. Mereka terbiasa mengerjakan sesuatu dengan gotong-royong atau kerjasama. Ketika mereka mendirikan rumah, tandur atau tajuk, membuat atau membersihkan jalan, itu dikerjakan secara gotong-royong. Budaya yang telah berkembang dalam masyarakat pada umumnya tersebut, dipelihara dan berkembang di jemaat.