Sejarah GKSBS Siloam Palembang

Gereja GKSBS Siloam Palembang di Jl. Gajah Mada No.1 Kota Palembang

Gereja Gereformeerde Kerk van Palembang

Prasejarah jemaat GKSBS Siloam sangat terkait dengan sejarah sebuah jemaat yaitu jemaat Gereformeerde Kerk van Palembang (GKP). Jemaat itu, yang terdiri dari orang Belanda , diresmikan pada tanggal 13 Agustus 1933 dan pada tahun berikutnya menerima pendeta yang pertama, yaitu Pdt. G.J. Sybesma. Pada tahun 1935 jemaat membangun sebuah gedung gereja baru untuk ibadah. Sebagai eksperimen, dibangunlah dengan konstruksi beton. Oleh karena itu gedung gereja itu kemudian dikenal masyarakat Palembang disebut ‘Gereja Beton’.

Pada tahun 1930-an, kadang-kadang ada orang kristen Jawa yang menetap di Palembang dan sekitarnya. Jika mereka berasal dari Jawa Tengah pasti mereka membawa surat atestasi (surat pindah gerejawi), yang kemudian diserahkan kepada majelis GKP. Itulah mengapa sudah sejak waktu itu GKJ memiliki kerja sama erat dengan Gereja Gereformeerd di Belanda. Salah satu contoh adalah seorang bidan yang bernama Ibu Soemilah, yang pada bulan November 1938 pindah dari Solo dan menjadi anggota GKP. Ada pula orang Jawa lain yang masuk menjadi jemaat Gereformeerd palembang adalah Pak Notodihardjo. Jadi, dalam masyarakat yang mengalami pembedaan etnis waktu itu, jemaat GKP yang bersala dari orang Jawa dan orang Belanda sudah merasa persekutuan di dalam Tuhan.

Pdt. Sybesma itu sering tinggal diluar kota, karena warga jemaatnya tersebar di seluruh Sumatra Bagian Selatan, yaitu Bengkulu sampai Bangka dan dari Lampung sampai Riau. Dalam perjalanan-perjalanan itu, ia sering bertemu dengan orang-orang kristen Jawa, teristimewa dalam daerah-daerah transmigrasi. Seringkali orang kristen Jawa itu meminta perawatan rohani dan bimbingan. Menindaklanjuti hal ini maka majelis GKP membentukkan sebuah Komisi PI.

Sementara itu Sinode GKJ (waktu itu masih GKD, menggunakan ejaan lama) mempertimbangkan untuk menyelenggarakan pekerjaan PI di Sumatera, teristimewa bagi transmigran di Lampung. Pada tanggal 7 Juni 1936, dua pemerhati dari Sinode di Jawa, yaitu Pdt. J, Darmohatmodjo dan Pdt. A. Siswowasono, bersama dengan Pdt. B.J. Esser seorang pendeta misioner di Jawa Tengah, tiba di Palembang. Di sana mereka mengadakan rapat dengan majelis GKP serta Komisi PI-nya. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa GKJ akan memperhatikan nasib para transmigran di daerah Lampung dan GKP akan menyelenggarakan perawatan para migran kristen Jawa dan PI di Palembang sekitarnya dan daerah Belitang dan Tugumulyo, yang baru dibuka untuk transmigrasi. Persetujuan itu menentukan kerja sama untuk tahun-tahun lamanya.

Majelis jemaat GKP menyadari dan mengerti bahwa pelaksanaan tugas itu akan melebihi kemampuan jemaat kecil di Palembang itu. Bersamaan dengan keadaan ini, Pemerintah kolonial Belanda ingin memindahkan tiga juta orang Jawa bertransmigrasi ke Sumatera Bagian Selatan. Oleh karena itu Majelis di Palembang tetap berhubungan dengan GKJ dan juga meminta bantuan kepada gereja induknya, Gereja Gereformeerd di Nederland (GKN). Bantuan dari Nederland itu memberi kesempatan kepada Majelis untuk memangil seorang guru injil dari Purworejo bernama Pak Moeljono, untuk diberi tugas pekerjaan di Tugumulyo.

Sementara itu juga di kota Palembang jumlah orang kristen Jawa meningkat, terutama di Plaju. Majelis menyadari bahwa untuk perawatan dan PI di antara transmigran dari Jawa ini sangat membutuhkan seorang tenaga dari Jawa. Syukurlah, Pdt. Darmohatmodjo dari Purworejo, yang tetap memperhatikan kepentingan orang kristen di Sumatra, dapat memberikan jalan keluar terhadap keadaan pentingnya tenaga dari gereja untuk memperhatikan para transmigran ini. Pak Darmohatmodjo sendiri mendidik beberapa tenaga penginjil. Salah seorang diantara murid-muridnya adalah Pak Sangidjo Dwidjoasmoro, memiliki perhatian besar terhadap Sumatera. Majelis kemudian memanggil Pak Sangidjo itu untuk ‘menyelenggarakan kehidupan gerejawi Jawa di dalam dan sekitar kota Palembang dan untuk pekerjaan kolportase (penyebaran lektur Kristen). Dalam warta bulanan jemaat GKP pada bulan April 1939, pengangkatan itu dijelaskan kepada warga untuk selanjutnya dapat mencari nama dan alamat orang Jawa yang ingin bergabung dalam jemaat.

Pak Sangidjo, yang tiba di Palembang pada tanggal 4 April 1939, menetap di Plaju. Perusahaan Perminyakan BPM memberi bantuan berupa sebuah rumah untuk Pak Sangidjo. Kemudian setelah direnovasi secukupnya dipersiapkan menjadi bangunan gereja. Dalam gereja itu pada tanggal 7 Mei 1939 kebaktian pertama diadakan dalam bahasa Jawa. Tidak lama lagi, pada tanggal 27 Mei, secara resmi kelompok tetap yang terdiri dari jemaat-jemaat orang Jawa dibentuk. Pengurusnya adalah sebagai berikut: Pak Sangidjo, ketua, Pak Semedi, sekretaris, Pak Soekiman, bendahara dan Pak Notodihardjo sebagai anggota. Malam itu juga diputuskan mendirikan sebuah kelompok PA. Dengan bimbingan Pak Sangidjo kelompok orang kristen Jawa itu berkembang dengan baik. Dari sinilah langkah-langkah pertama menuju pembentukan sebuah jemaat untuk orang Jawa sudah jadi.

Karena Pdt. Sybesma cuti dan pulang ke Belanda maka setiap bulan ada seorang pendeta misioner dari Jawa Tengah yang datang untuk menggantinya di Palembang. Para warga kelompok orang kristen Jawa sangat menikmati kunjungan itu karena para pendeta misioner itu dapat berkhotbah dalam bahasa Jawa. Pada bulan Maret 1940 kelompok itu sudah mengadakan dua kebaktian, pagi di Plaju dan sore hari di kota Palembang di rumah Pak Notodihardjo. Pada Januari 1941. Pdt. L.W. Korvinus tiba dan menetap di Palembang untuk mengganti Pdt. Sybesma yang menjadi pendeta tentara. Selama satu tahun ia bergaul dengan kelompok Jawa secara intensif sekali. Disamping itu ia juga beberapa kali mengunjungi kelompok dan jemaat kristen Jawa di Belitang dan Tugumulyo.

Jaman Pendudukan Jepang

Perkembangan yang begitu baik menuju pembentukan sebuah jemaat kristen Jawa di Palembang tiba-tiba berubah ketika perang dunia di Asia Tenggara mulai. Pasukan Jepang maju ke selatan. Bukan hanya orang Belanda, tetapi banyak juga orang Jawa meninggalkan Palembang dan lari ke Jawa. Kelompok orang kristen Jawa akhirnya terpecah. Para warga yang tinggal di Palembang bergabung diri pada gereja-gereja lain. Nasib rakyat Indonesia pada zaman Jepang susah sekali. Di seluruh Sumatera bagian Selatan orang kristen mengalami kesulitan untuk bertumbuh. Mereka dicurigai oleh tentara Jepang yang menuduh bahwa mereka memihak musuh sebagai teman orang Belanda.

Waktu Jepang menyerah, di Lampung tidak timbul krisis kewibawaan. Polisi dan tentara Indonesia tanpa ketegangan apapun mengambil alih wewenang dari tentara Jepang. Semua pegawai Indonesia melanjutkan pekerjaannya. Hal ini nampak lain sekali dengan keadaan di Palembang. Di sana pemerintahan Indonesia sulit dapat berkembang. Tentara Jepang, setelah mereka menyerah, oleh para sekutu ditugaskan dengan penjagaan keamanan dan ketertiban hukum, karena dari beberapa kamp orang sekutu yang masih hidup dikumpulkan di Palembang. Tugas itu beberapa bulan kemudian diambil alih oleh pasukan Ghurka (India) yang juga ditugaskan untuk melakukan perlucutan tentara Jepang. Setelah pasukan India itu tiba ketegangan di kota mulai meningkat.

Petugas-petugas pemerintahan Belanda sudah tiba pada bulan Oktober 1945, dipimpin oleh Mr. H.J. Wijnmalen. Ia juga menjadi ketua kelompok orang Gereformeerd Belanda di Palembang.

Pada tanggal 28 Oktober 1946 pasukan Belanda tiba di pantai Palembang. Tanpa kesulitan besar mereka menduduki pusat kota dan juga lapangan terbang serta peralatan perminyakan di Plaju. Dua minggu kemudian tentara Inggris meninggalkan Palembang. Kemudian ketegangan diantara tentara Indonesia dengan tentara Belanda mengalami peningkatan hingga akhir bulan December 1946. Terutama di sekeliling benteng kuno Belanda, pertempuran berlangsung ketat. Pada akhirnya tentara Republik terpaksa mundur dan meninggalkan kota. Kemudian sampai akhir tahun 1949 masih ada pemerintahan Belanda di kota.

Setelah Kemerdekaan

Pada tahun 1946 Gereja Gereformeerd Palembang secara baru didirikan kembali. Mula-mula jemaat itu masih kecil. Tetapi tahun 1951 jemaat itu akhirnya dapat memanggil seorang pendeta, yaitu Pdt. K.L.F. le Grand. Pdt. Le Grand sebetulnya datang ke Indonesia sebagai pendeta tentara, tetapi setelah pasukan Belanda pulang, ia lebih suka tinggal di Indonesia. Seperti Pdt. Sybesma sebelum perang dunia, demikian juga Pdt. Le Grand mendatangi warga jemaatnya di seluruh Sumatera bagian Selatan. Dan sama seperti Pdt. Sybesma juga dia memberi perhatian besar kepada orang kristen Jawa di wilayahnya. Ia mengunjungi para warga Kristen Jawa di Tugumulyo, Belitang, Metro dan sekitarnya.

Pada bulan Agustus 1952, Pdt. J.S. Hardjowasito datang ke Palembang. Ia menjelaskan kepada panitia penginjilan setempat bahwa jemaat-jemaat Jawa di Sumatra Bagian Selatan sudah membentukkan klasis tersendiri. Hal itu tidak berarti bahwa Gereja Gereformeerd di Palembang tiba-tiba lepas dari tanggungjawab bersama. Sebaliknya, langkah jemaat-jemaat Jawa itu menandai perkembangan besar didalam pekerjaan gerejawi yang masih membutuhkan bantuan besar. Seperti sebelum perang dunia, disepakati bahwa GKJ akan memperhatikan pekerjaan di Lampung sedangkan GKP akan mendukung jemaat Jawa yang ada di Belitang dan Tugumulyo. Tetapi bukan hanya itu saja, dalam rangka kerja sama antara GKJ dan Gereformeerd maka Pak Hardjowasito sebagai pendeta utusan dari GKJ juga secara teratur akan mengunjungi Belitang, Palembang dan Tugumulyo.

Sementara itu di kota Palembang masih terdapat beberapa keluarga kristen Jawa yang berharap sekali terbentuknya sebuah kelompok tetap. Perintis diantara mereka adalah Ibu Prijohardjo. Berangsur-angsur jumlah orang kristen Jawa meningkat. Kelompok itu mendapat dukungan dan perhatian besar dari Pdt. Le Grand serta majelisnya.
Majelis itu sangat menyadari tanggungjawabnya untuk para transmigran di Belitang dan Tugumulyo. Pdt. Le Grand secara teratur mengunjungi jemaat itu dan sudah mulai cukup lancar dalam bahasa Jawa. Ia menyatakan kepada majelisnya bahwa daerah Belitang sangat memerlukan seorang pendeta Jawa. Keinginan itu akhirnya terwujud. Berdasarkan usul dari Pak Hardjowasito maka majelis memanggil Pak Budiadi Adiwinarto sebagai pendeta misioner untuk wilayah Belitang. Jadi, aneh sekali, seorang Jawa dipanggil dan diutus oleh jemaat Belanda untuk menjadi pendeta misioner diantara orang Jawa di Belitang. Untuk menekankan bahwa penginjilan diantara orang transmigran Jawa pada prinsipnya adalah tanggungjawab gereja Jawa maka majelis di Palembang ingin bahwa Pdt. Budiadi ditahbiskan di GKJ di Jakarta, sebagai pendeta-utusan dari GKJ. Kebaktian pentahbisan dilaksanakan pada bulan November 1954.

Sementara itu juga di kota Palembang jumlah orang Kristen Jawa tetap meningkat secara jumlah.Pada bulan Mei 1954 kebaktian pertama dalam bahasa Jawa setelah perang dunia diadakan di rumah keluarga Prijohardjo. Kebaktian itu dipimpin oleh Pdt. Harjowasito. Dua tahun kemudian kelompok itu sudah cukup besar dan layak untuk jemaat dewasa. Pada tanggal 25 November 1956 Pdt. Budiadi dapat menahbiskan tiga tua-tua dan dua diaken dan mendewasakan jemaat. Jemaat ini menjadi no. 8 di Sumatra bagian Selatan; jumlah anggotanya 95 orang. Setiap hari minggu jemaat ini berkumpul di Gereja Putih (Gereja Gereformeerd). Hubungan dengan Gereja Gereformeerd baik sekali. Kadang-kadang pendeta Le Grand membantu dalam katekisasi.

Pada tahun 1959, ketika semua orang Belanda terpaksa harus kembali, gedung gereja dan pastori oleh Gereja Gereformeerd secara resmi diserahkan kepada jemaat Jawa. Karena letaknya dekat kolam besar, gereja itu di kemudian hari diberi nama Gereja Siloam, dengan tidak lagi menambah kata ‘Jawa’. Sayang pastori di Jalan Gajah Mada no. 1 disita sebagai milik Belanda dan lama sekali diduduki oleh penguasa militer saat itu. Baru setelah perjuangan tahun-tahun lamanya hak milik gereja diakui. Selama waktu yang panjang itu Pak Hardjowasito sekeluarga tidak dapat tinggal di pastori. Oleh karena itu Pak Hardjo membeli rumah sendiri, Jalan Bangka no.8.

Pdt. Hardjowasito

Jemaat di Palembang menerima dorongan kuat oleh kedatangan Pdt. Hardjowasito. Pak Hardjowasito sudah beberapa tahun melayani di Sumatra Utara. Atas anjuran Pdt. Le Grand, pada tahun 1961 Pdt. Hardjowasito dipanggil ke Palembang. Dengan cepat pertumbuhan jemaat mulai terlihat. Orang yang sudah lama tidak menghadiri kebaktian akhirnya datang kembali. Katekisasi dilanjutkan dengan lancar.
Perubahan rohani setelah G-30-S juga terjadi di Palembang. Banyak orang kristen hidup dengan kesadaran yang lebih kuat dan menghidupkan jemaat. Jemaat juga turut dalam program siaran radio Palembang. Jemaat Palembang terdiri dari tiga kelompok, yaitu: Kota Palembang, Plaju dan Kenten, daerah sekitar 12 km barat daya Palembang. Di Kenten jemaat membangun gedung gereja dengan keuangannya sendiri. Karena Pak Hardjowasito sangat kesulitan dalam hal geografis dan waktu, pelayanan di tiga kelompok ini maka majelis ingin mengangkat seorang pembantu-pendeta, khususnya untuk Kenten. Pada permulaan tahun 1972 majelis dapat mengangkat calon pendeta Harsono, seorang yang masih muda, yang asal dari klasis sendiri dan baru membulatkan studi teologinya di Yogyakarta.

Pdt. Harjowasito dapat menyediakan banyak waktu untuk pekerjaan Pekabaran Injil. Ia aktif sekali dalam bermacam-macam kegiatan setempat, bahkan juga menjadi ketua Komisi Pekabaran Injil (PI) menggantikan Pdt. Le Grand. Sebagai ketua, ia dapat mengembangkan bakatnya sebagai misioner yang strategis selama bertahun-tahun. Ia sangat menyadari perkembangan dalam masyarakat dan tantangan untuk gereja.

Dalam sidang Klasis Palembang pada tahun 1970, ia mulai memikirkan nasib transmigran kristen yang berada di Provinsi Jambi. Bersama dengan Pak Basar dari Belitang, ia melakukan kontak pertama dengan orang-orang Kristen Jawa di Jambi. Ia juga menjadi pemrakarsa untuk kontak dengan orang kristen Jawa yang berada di propinsi Bengkulu. Kadang-kadang timbul ketegangan antara Pak Hardjowasito sebagai ketua komisi PI, dengan tenaga-tenaga di lapangan. Perlu disadari bahwa pada waktu itu hubungan komunikasi dengan Belitang sulit dan bahwa Pak Hardjowasito, meskipun ia sering mencoba, tidak berhasil membentuk komisi PI yang kuat. Ia sendiri sering mengeluh: ‘Jika tak ada orang lain yang dapat dilibatkan, saya perlu memutuskan sendirian.’ Dalam bidang pendidikan pun keadaannya sama. Semua sekolah yang ada di Belitang, semua keputusan diambil dari Palembang. Suatu pembagian tanggung jawab barangkali dapat lebih positip. Meskipun demikian semua mengakui bahwa Pak Hardjowasito sampai usia lanjutnya tetap berupaya dengan energi yang besar untuk membangun pendidikan Kristen.

Jemaat Siloam Dalam Lingkungan GKSBS

Waktu jemaat Siloam mandiri pada tahun 1956, jemaat ini tergabung dalam lingkungan Klasis Sumatra Selatan, yang berlangsung dari tahun 1953 s/d 1959. Klasis itu merupakan bagian dari GKJ (Gereja Jawa di Jawa Tengah). Pada tahun 1959 Klasis Sumatra Selatan dibagi dua, menjadi Klasis Lampung dan Klasis Palembang. Alasannya adalah jarak yang jauh dan hubungan yang sulit dan mahal. Klasis Lampung pada tahun 1968 kemudian menjadi empat klasis. Klasis Palembang masih untuh sampai tahun 1975, meskipun Belitang sudah lama ingin menjadi klasis sendiri.

GKSBS terutama terdiri dari orang transmigran. Pada tahun 1970-an hanya ada tiga jemaat kota: Palembang, Tanjungkarang dan Metro. Kebanyakan transmigran adalah rendah dalam pendidikan. Oleh karena itu gereja transmigran lama sekali melakukan pemberdayaan dan jumlah pemimpinnya sangat terbatas. Sebab itu gereja melalui dua yayasan, ingin mendirikan banyak sekolah kristen. Halangan utama adalah dukungan keuangan yang tidak cukup kuat. Lama sekali kedua yayasan menerima bantuan dari Belanda untuk sekolah, tetapi akhirnya gereja gereja mitra di Belanda tidak mampu memikul beban itu yang terus bertambah.

Pada tahun 1950-an sampai 1960-an, di semua jemaat mengembangkan kegiatan PI secara terbuka. Banyak orang ditarik dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut. Cara PI yang sedemikian ini tidak diizinkan lagi di Indonesia sekarang ini. Dalam bidang diakonia, jemaat Palembang berupaya untuk membantu para transmigran di Bengkulu yang dikunjungi oleh Pak Hardjowasito. Mereka menghadapi kemiskinan yang hebat. Setelah beberapa tahun Pak Harsono dipanggil menjadi pendeta daerah-daerah pertumbuhan baru di propinsi Bengkulu. Selanjutnya jemaat di Palembang memangil Pdt. Rumanto, yang ditahbiskan pada tanggal 10 Juni 1979. Ia mengganti Pak Hardjowasito yang memasuki emeritus. Pada tahun 1987 warga jemaat Palembang telah berjumlah 710 orang.

Sementara itu disebelah timur Palembang, pada tahun 1970-an, proyek besar dibuka di daerah Cintamanis, tepatnya di daerah mulut sungai Musi. Proyek itu letaknya di daerah pasang surut dan hanya dapat didatangi dengan kapal bermotor. Ada nilai positif juga, letaknya hanya beberapa puluhan kilometer dari kota Palembang. Untuk Pdt. Hardjowasito tidak terlalu jauh. Karena para transmigran di proyek itu hidup dalam kemiskinan, perhatian dari jemaat Palembang terutama bersifat diakonal. Problema terbesar dalam daerah itu adalah kekurangan air minum.

Pada awalnya, GKII (Gereja Kristen Injili Indonesia) mengembangkan kegiatan di Cintamanis. Karena kegiatan GKII tidak disambut baik oleh banyak orang kristen Jawa, akhirnya GKII mundur dari pelayanan di daerah proyek Cintamanis. Lalu pada awal tahun 1974, Klasis Palembang dapat menempatkan seorang pembantu pendeta di Cintamanis. Beliau adalah Pak Yosef Syarno. Tidak lama seterlah itu, klasis Palembang membantu kelompok kristen di sana untuk membangun gereja. Dinas transmigrasi sudah menyediakan sebidang tanah untuk pembangunan gereja. Setelah tiga tahun, Pak Yosef Syarno ditahbiskan menjadi pendeta untuk daerah pertumbuhan baru Cintamanis. Kelompok Cintamanis pada tahun 1977 terdiri dari 13 kepala keluarga dan 11 keluarga ikut dalam persiapan babtis suci.

Silakan dibagi