Catatan awal:
Tulisan ini, dengan meminjam kerangka berfikir Yasraf Amir Piliang, yang membatasi kajian kebudayaan pada empat hal, yaitu ideologi budaya, politik kebudayaan, kondisi budaya (budaya benda), dan strategi budaya. Namun untuk tulisan ini, kerangka tersebut diubah strukturnya menjadi realitas budaya posmo, ideologi yang ada di balik budaya posmo dan strategi yang sering dipakai untuk mencapai kondisi tersebut. Asumsinya alur ini lebih familier sehingga lebih mudah dipahami.
Di antara kegalauan terminologis posmodernisme, terdapat upaya untuk menghubungkan istilah posmodernisme dengan istilah hipermodemisme. Posmodernisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kecenderungan baru pemikiran dan realitas budaya sebagai konsekuensi berakhirnya modernisme – yang ditandai oleh semakin terbatasnya gerak kemajuan (progress) dan kebaruan (newness), di dalam berbagai bidang kultural. Terkadang kebudayaan memalingkan mukanya ke wilayah-wilayah masa lalu, dalam rangka memungut kembali warisan bentuk, simbol, dan makna. Hipermodemisme, sebaliknya, adalah sebuah istilah yang digunakan menjelaskan kecenderungan perkembangan modernisme ke arah yang melampaui {hyper) atau yang melewati (beyond), yaitu perkembangan unsur-unsur modernitas ke arah garis-garis batas yang seharusnya tidak dilewati, sehingga menggiring modernitas pada kondisi ekstrim (Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang… hal.423-425). Hipermodernisme bukan keterputusan dari modernitas, tetapi radikalisasi modernitas (N. Aubert, 2004:14-15).
Berbagai kondisi realitas baru dapat digambarkan sebagai berikut :
Hiperealitas Budaya
Hipermodernisme adalah sebuah kondisi, yang di dalamnya berkembang fenomena melampaui (hyper), yang disebut juga fenomena ekses, ekstrimitas, dan superlatif. Segala sesuatu tumbuh dan berkembang melampaui batas yang seharusnya tidak dilampaui (overproduksi, overaksi, overekstasi, overinformasi, overkomunikasi). Setiap unsur kebudayaan berkembang ke arah titik yang seharusnya tidak dilewati (hyper): produksi berkembang ke arah hyper-production (produksi yang melampaui kapasitas konsumsi), konsumsi berkembang ke arah hyper-consumption (konsumsi yang melampaui kebutuhan), pasar ke arah hypermarket (pasar yang melampaui fungsi sebagai tempat transaksi barang), komoditi berkembang ke arah hyper-commodity (komoditi yang melampaui alam komoditi) dan komunikasi yang berkambang ke arah hypercommunication (komunikasi yang melampaui fungsi penyampaian pesan). Maka Kebudayaan berkembang tanpa fondasi, bergerak ke segala arah tanpa kendali dan dipenuhi dengan simulasi dan artifisialitas. Di dalamnya, fakta tidak lagi merefleksikan realitas, ada bercampur dengan tiada (nothingness), yang nyata tumpang tindih dengan yang tidak nyata (unreal), realitas melebur dengan fantasi, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara model (simulacrum) dengan realitas. Realitas budaya telah diambil alih oleh image, ilusi, halusinasi dan simulasi yang menghasilkan realitas yang melampaui alam, referensi, nature, sifat dan batasnya, sehingga ilusi dianggap lebih riil dari realitas yang direpresentasikannya.
Dromologi Budaya
Setelah lelah dalam pencarian makna dalam kehidupan modem, orang-orang di dalam dunia posmodern “ingin hidup di permukaan untuk sementara” (George Ritzer, Teori Sosial…hal.303-304). Akibatnya, produk-produk budaya posmodernisme hanya berupa image pada permukaan (imanen) yang tidak menyelidiki secara mendalam makna-makna yang mendasarinya.Budaya hipermodem adalah budaya yang dibangun di atas model kecepatan (produksi, distribusi dan konsumsi), yang menjebak manusia di dalam tekanan, tempo, irama dan durasi percepatannya (velocity).Ini menciptakan ruang kedangkalan makna dan menjauhkan manusia dari kedalaman, refleksi dan perenungan. Eskalasi pergantian citra, komoditi, gaya, fashion yang tinggi, telah mereduksi persepsi dan kesadaran manusia, sehingga menjauhkannya dari pesan yang disampaikan. Kebudayaan yang telah masuk dalam percepatan mengakibatkan kedangkalan kultural.
Banalitas Budaya
Banalitas kebudayaan merupakan konsekuensi logis dari mesin kecepatan kapitalisme yang memerangkap masyarakat dalam keharusan produksi dan konsumsi yang memenuhi dunia dengan produk dan komoditi. Kebudayaan kehilangan dimensi refleksi, yaitu dimensi internalisasi realitas (produk, hiburan, tontonan). Kondisi ini pada gilirannya menciptakan imanensi budaya, yaitu kecenderungan merayakan penampakan luar, peristiwa atau performansi, tanpa peduli dengan makna atau nilai-nilai dibaliknya. Konsekuensi kulturalnya adalah pembauran budaya yang bernilai luhur dan rendah, asli dan palsu, otentik dan tiruan. Segala sesuatu yang selama ini dianggap dianggap tidak bernilai, buruk, rendah,dan pinggiran kini mendominasi ruang-ruang kebudayaan dengan mengambil alih posisi budaya tinggi, luhur, asli. Dekonstruksi semacam ini menciptakan logika kultural baru, yaitu logika banalitas, yang di dalamnya yang rendah, tidak bernilai, asli mengambil alih nilai-nilai luhur kultural. Dalam dunia banalitas, budaya-budaya yang dulu dianggap tidak penting, seperti hiburan, gaya hidup, game, kini menjadi sangat penting dan mendominasi ruang-waktu setiap orang (Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang…hal.435).
Kompleksitas Budaya
Saling keterhubungan dan saling ketergantungan yang kompleks di antara berbagai unsur budaya dalam skala global dewasa ini, menciptakan berbagai pertukaran, persinggungan, persilangan, dan multiplisistas di antara unsur-unsur budaya yang sangat kompleks. Interaksi antara unsur-unsur budaya etnis, lokal dan daerah dengan unsur-unsur budaya modern dan hipermodern, telah mengembangkan kebudayaan dalam sebuah relasi dan jaringan yang sangat kompleks, yang di dalamnya tidak ada budaya yang dapat eksis tanpa berhubungan dengan kebudayaan lain. Dengan kata lain, tidak ada kebudayaan yang memiliki eksistensi otonom, karena intertekstualitas atau dialogisme antara berbagai kebudayaan akan selalu ada dalam konstruksi sebuah kebudayaan.
Strategi Kebudayaan Posmodernisme
Kebudayaan posmodern telah memutarbalikkan kategori kebudayaan; telah mengaduk- aduk bentuk-bentuk kebudayaan; telah menjungkirbalikkan nilai-nilai budaya; dan telah mengarah pada ‘turbulensi budaya’, yakni kekacauan budaya akibat bercampurnya kondisi keteraturan (order) dan ketidakteraturan (disorder) budaya. Bagaimana cara kebudayaan posmodern’ hingga dapat membuat perubahan kultural tersebut?
Pertama,
Dekonstruksi kultural (cultural decontruction). Dekonstruksi kultural adalah sebuah strategi budaya berupa pembongkaran kode, tanda, atau kesepakatan kultural, khususnya kode-kode oposisi biner (binary opposition) yang membentuk sebuah kebudayaan, dan membiarkannya dalam penangguhan makna (differance). Kebudayaan sudah dianggap terlalu bersandar pada pusat-eidos, arche, telos, energeia, ousia (hakikat, eksistensi, substansi, subjek) transendentalitas, kesadaran, kebajikan, Tuhan, manusia-yang padanya setiap makna bermuara, yang tidak toleran terhadap perubahan struktur atau makna-makna baru. Pusat-pusat yang bersifat metafisik itu dianggap dapat hadir sebagai jaminan dan fondasi kebudayaan. Dekonstruksi adalah gerakan melepaskan diri dari determinasi logosentrisme dan petanda transenden, agar mampu meningkatkan produktivitas kebudayaan, melalui permainan bebas penanda dan penolakan determinisme makna.
Kedua,
Simulasi kultural (cultural simulation). Simulakrum dan simulasi adalah konsep yang sangat sentral dalam pembicaraan dunia posmodern, khususnya kebudayaan hipermodem. Simulakrum adalah “sesuatu yang tampak atau dibuat seperti sesuatu yang lain,” seperti salinan (copy), imitasi, replika. Akan tetapi ia dibangun justru bukan karena oleh kesamaan, melainkan oleh ketidaksamaan, dalam pengertian penyimpangan (deviation) dengan bentuk aslinya. Sementara simulasi adalah simulakrum dalam pengertian khusus yang disebut pure simulacrum, yaitu sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri. Simulasi adalah penciptaan model secara artifisial, dalam rangka mendapatkan pengalaman sesuatu, yang seakan-akan sesuatu itu nyata, padahal tidak. Dalam simulasi, salinan dan asli, duplikasi dan original, model dan referensi adalah entitas yang sama. Eksistensi simulasi yang melanda kebudayaan posmodern telah mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dan yang imajiner, yang benar dan yang palsu. Ketika tidak ada lagi kebenaran atau realitas, maka tanda tidak lagi melambangkan segala sesuatu. Akibatnya, menurut Baudlirrad, “simulasi telah membunuh makna secara absolut”. Prinsip simulasi ini telah mendominasi penampakan budaya, yang dapat dilihat di berbagai aspek kebudayaan, seperti simulasi sosial, politik, hukum, media, teror, perang, skandal, seni, musik, televisi, seksualitas, dan spiritualitas.
Ketiga,
Nostalgia budaya. Posmodernisme adalah kondisi ketika kebudayaan memalingkan wajahnya ke masa lalu, lewat kecenderungan pastiche, yaitu kecenderungan peminjaman dari unsur-unsur budaya masa lalu dalam rangka mengangkat dan mengapresiasinya. Peminjaman idiom, bentuk dan bahasa dari fragmen historis tertentu dilakukan dengan mencabutnya dari semangat zamannya dan menempatkannya ke dalam konteks semangat zaman masa kini. Relasi posmodernisme dengan masa lalu, dalam hal ini tidaklah tunggal, yaitu berupa replika masa lalu, melainkan relasi yang jauh lebih kompleks yang melibatkan berbagai strategi bricolage, intertekstualitas, dan eklektisisme. Berbagai aspek budaya masa lalu diambil kembali dan dikombinasikan dengan berbagai unsur masa kini (hipermodem), yang menghasilkan ekspresi budaya yang sangat plural, beragam, dan kompleks. Semangat posmodernisme kembali ke masa lalu (back to the pass) adalah semangat imanensi kultural, yang cenderung merayakan aspek permukaan (surface) masa lalu itu, dan meninggalkan aspek mitologis dan transendentalnya.
Keempat,
Intertekstualitas kultural (cultural intertextuality). Intertekstualitas adalah salah satu konsep kunci dalam kebudayaan posmodernisme. Intertekstualitas, melihat pentingnya dimensi ruang dan waktu (time-space) dalam kebudayaan, khususnya dimensi perubahannya. Sebuah kebudayaan tidak pernah eksis dalam ruang kosong, tidak otonom, tidak self-determination, tapi diproduksi dalam ruang dan waktu yang kongkret, sehingga pasti ada relasi atau dialog antara satu unsur kebudayaan dengan unsur kebudayaan lain. Dialogisme (dialogism) adalah garis penghubung yang harus ada di antara kebudayaan-kebudayaan dengan segala ekspresinya.
Pokok-Pokok Haluan Program GKSBS 2025-2030 – Bag. Konteks Global


Leave a Reply