Wilayah Sumbagsel, yang menjadi medan pelayanan utama GKSBS, menghadapi tantangan krisis ekologi yang serius dan berkelanjutan. Akar masalah ini kompleks, sebagian terkait dengan warisan kebijakan pembangunan masa lalu seperti program transmigrasi pemerintahan Orde Baru dan Revolusi Hijau yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam (developmentalism), seringkali dengan dukungan modal internasional. Praktik ekspansi lahan untuk pertanian skala besar (agro-industri), eksploitasi hutan, dan pertambangan terus mendorong laju kerusakan lingkungan hingga saat ini. Indonesia secara keseluruhan pernah dicatat sebagai negara dengan laju deforestasi yang sangat tinggi (misalnya data Kompas, 21 Maret 2007 yang menyebut 1,87 juta hektar/tahun saat itu), dan wilayah Sumbagsel turut merasakan tekanan ekologis yang berat.
Kerusakan Hutan di Bengkuu
Pada tahun 1990 luas tutupan hutan di provinsi Bengkulu sekitar 1.009.209 hektar atau 50,4 % dari luasan darat yang mencapai 1.979.515 ha. Namun kini, hanya 685.762 ha dari luasan daratnya. Artinya, kurun waktu 25 tahun, ada penurunan tutupan hutan sebesar 323.447 ha. Ini sama saja kehilangan 36 ha per hari. faktor pendorong berkurangnya tutupan hutan mulai alih fungsi lahan, dijadikan perkebunan sawit atau hutan tanaman industri, hingga pertambangan. (Data Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Oktober 2019) Kerusakan lingkungan hidup akibat limbah batubara di sepanjang DAS Air Bengkulu hingga pesisir pantai di Kota Bengkulu dan Bengkulu Tengah. Indikasi lainnya seperti lubang bekas tambang tidak direklamasi, kerusakan kawasan hutan, kewajiban membayar jaminan reklamasi dan jaminan paska tambang yang tidak dipenuhi juga terkesan dibiarkan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) merilis documentary report yang berjudul Rimba Terakhir (27/4/2019). menyampaikan bahwa kondisi kawasan hutan di Bengkulu sudah sangat mengkhawatirkan. Hampir 60 – 70 % kawasan hutan sudah rusak. jelas Beni Ardiansya, Direktur WALHI Bengkulu. Beni menilai bahwa kerusakan tersebut diakibatkan oleh aktivitas para pengusaha kawasan hutan.
Kerusakan Hutan di Sumatera Selatan
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) menjadi sebuah fenomena yang berulang setiap tahunnya. Kebakaran di ekosistem gambut yang paling luas. Luas lahan Gambut yang ada sekitar 1,2 Juta sekitar 15% dari luasan Sumsel yaitu seluas 8,3 Juta ha. Izin korporasi yang berada pada lahan gambut di Sumatera Selatan yaitu sebanyak 135 IUP dengan luasan 746.000 ha yang berada di gambut lindung. WALHI Sumsel mencatat pada tahun 2018 ada 9 Kabupaten/kota terjadi karhutlah dengan luasan 37.169 ha. Kabupaten menjadi wilayah yang terluas kebakaran hutan dan lahan seluas 19.408 ha. Pada tahun 2019 wilayah karhutlah mengalami peningkatan awalnya ada 9 kabupaten/kota yang terbakar, menjadi 13 kabupaten/kota di Sumsel dengan luasan 361.857 ha. Ada 4 wilayah pada tahun sebelumnya tidak terjadi Karhutla. Pada tahun 2019 empat wilayah ini mengalami kebakaran di Kabupaten OKU 2.796 ha, OKUS 198 ha, Musi Rawas Utara 8.143 ha, dan Lahat 50 ha. Kabupaten Ogan Komering Ilir masih menjadi wilayah tertinggi kebakaran ada 204.974 Ha Kawasan hutan dan lahan yang terbakar. Data yang di keluarkan BPBD kebakaran lahan di Sumsel seluas 361.857 ha pada 31 Oktober 2019. Kebakaran tanah Gambut ada 220,483 ha. Gambut budidaya seluas 90,083 ha, Gambut Lindung seluas 130,400 ha. kebakara areal non gambut seluas 141,374 ha.
Kerusakan Lahan Gambut di Jambi
Organisasi lingkungan Perkumpulan Gita Buana mencatat saat ini hampir 80 % Taman Hutan Raya Orang Kayo Hitam di Provinsi Jambi mengalami kerusakan ekologi sehingga harus dilakukan restorasi, kata Koordinator Project Perkumpulan Gita Buana, Heri Kuswanto di Jambi. Dari total luasan Tahura OKH 18.140 ha yang berada di Kabupaten Tanjungjabung Timur dan Kabupaten Muarojambi, hanya 4.000 ha yang ditutupi tanaman mahang (tanaman perdu) dan beberapa tegakan meranti yang sudah mati. Sehingga kondisi Tahura yang merupakan hutan rawa satu-satunya di Provinsi Jambi itu rawan dialihfungsikan sejak kebakaran hutan dan lahan yang merusak kawasan itu pada 2015. Komunitas Konservasi Indonesia Warsi menyatakan kerusakan ekosistem di Provinsi Jambi sepanjang tahun 2019 telah mengakibatkan kerugian materi yang cukup besar. Berdasarkan catatan KKI Warsi, kerugian itu mencapai Rp 17 triliun lebih. Kondisi ekosistem Jambi memprihatinkan, antara lain akibat kebakaran hutan, illegal logging, dan penambangan emas tanpa izin. Sehingga dapat menimbulkan beragam bencana ekologis dan konflik. Tingginya nilai kebakaran di Jambi disebabkan 101.418 ha atau 64 % terjadi di lahan gambut. Dan hampir dari 25 % berada di gambut dalam yang memiliki kedalaman lebih dari 4 meter. Berdasarkan analisa citra satelit Lansat TM 8 yang dilakukan Unit GIS KKI Warsi menunjukkan bahwa tutupan hutan Jambi hanya tinggal 900.000 ha, menyisakan 17 % dari total luas Jambi. Hilang 20.000 ha jika dibandingkan analisis pada 2017. Angka ini memperlihatkan keseimbangan ekosistem Jambi berada di angka yang sangat memprihatinkan.
Krisis Ekologi di Lampung
Lampung memiliki hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Namun faktanya kondisi hutan itu saat ini baik kuantitas maupun kualitasnya telah mengalami penurunan. Fungsi ekologi dan ekonomi hutan di Provinsi Lampung yang mengalami kerusakan sekitar 37,42% dari lahan seluas 1.004.735 hektare. Hal itu diungkapkan Gubernur Arinal dalam Diskusi Publik di Auditorium Pascasarjana Universitas Bandar Lampung (UBL), Rabu (22/1/ 2020). Berdasarkan data Walhi Lampung, Bandar Lampung memiliki 33 bukit, dimana kondisi bukit di Kota Bandar Lampung beberapa sudah rusak bahkan rusak parah, hal ini disebabkan oleh alih fungsi menjadi pertambangan, pemukiman dan tempat wisata. Walhi mencatat ada 20 bukit yang kondisinya rusak sedang dan parah, artinya bisa dikatakan 70% bukit di kota ini sudah rusak sedang hingga parah. Tanggal 1 November 2019 Bukit Perahu/Bukit Onta mengalami longsoran.
Kerawanan Bencana Hidrometeorologi dan Geologi di SUMBAGSEL
Wilayah Sumbagsel, yang meliputi Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, dan Lampung, merupakan kawasan dengan tingkat kerawanan bencana yang sangat tinggi dan kompleks. Kerawanan ini tidak hanya berasal dari ancaman bencana hidrometeorologi yang bersifat musiman dan berulang, tetapi juga diperparah oleh potensi bencana geologi yang signifikan akibat posisi geografisnya. Secara hidrometeorologis, Sumbagsel secara rutin menghadapi berbagai ancaman. Musim kemarau, terutama saat fenomena El Niño, memicu Kebakaran Hutan dan Lahan (karhutla) hebat, khususnya di lahan gambut Sumatera Selatan dan Jambi, dengan dampak asap lintas batas, kerugian ekonomi, dan kerusakan ekologis (139 kejadian pada 2023-2024). Sebaliknya, musim penghujan membawa ancaman banjir dan banjir bandang akibat curah hujan tinggi yang bertemu dengan daya dukung lingkungan menurun di DAS-DAS besar seperti Musi dan Batanghari (84 kejadian berdampak pada ratusan ribu jiwa/rumah pada 2024). Hujan lebat juga memicu tanah longsor di daerah perbukitan Bukit Barisan (17 kejadian dengan korban/kerusakan pada 2023-2024). Ironisnya, kekeringan juga melanda saat kemarau panjang, mengganggu pertanian dan pasokan air bersih (53 kejadian berdampak pada puluhan ribu jiwa pada 2023-2024).5
Selain ancaman yang terkait cuaca dan iklim tersebut, posisi Sumbagsel di jalur Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire) dan dilintasi oleh Patahan Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) serta berdekatan dengan zona subduksi lempeng di Samudera Hindia, menempatkannya pada risiko tinggi bencana geologi. Ancaman gempa bumi sangat nyata dan berpotensi menimbulkan kerusakan parah, terutama di wilayah Bengkulu, Lampung, dan sebagian Sumatera Selatan yang berada dekat atau di jalur patahan aktif dan zona subduksi. Aktivitas tektonik ini juga menghasilkan deretan gunung api aktif di sepanjang Bukit Barisan, seperti Gunung Kerinci (perbatasan Jambi), Gunung Dempo (Sumsel), dan pengaruh dari aktivitas vulkanik Gunung Krakatau di Selat Sunda (dekat Lampung). Letusan gunung api dapat membawa risiko bahaya berupa hujan abu, awan panas, aliran piroklastik, dan lahar dingin yang mengancam jiwa dan infrastruktur. Lebih lanjut, gempa bumi kuat yang berpusat di laut (zona subduksi) berpotensi memicu tsunami yang dapat menerjang kawasan pesisir barat, khususnya di Bengkulu dan Lampung. Guncangan akibat gempa bumi juga dapat menjadi pemicu tanah longsor di area lereng yang tidak stabil, menambah lapisan risiko geologi.
Dengan demikian, kombinasi dari ancaman hidrometeorologi yang terjadi secara reguler dan musiman, ditambah dengan potensi bencana geologi (gempa bumi, letusan gunung api, tsunami) yang sewaktu-waktu dapat terjadi dengan dampak katastrofik, secara jelas menegaskan bahwa wilayah Sumbagsel memiliki tingkat kerawanan bencana yang sangat tinggi dan memerlukan kesiapsiagaan multidimensi.


Leave a Reply