Landasan Teologis

Merawat kebersamaan internal GKSBS ke depan berarti mengakui dan mengatasi interkoneksi yang erat ini. Upaya penguatan finansial menuju kemandirian, peningkatan kapasitas dan efektivitas program dalam merespons isu eksternal (ekologi, bencana, sosial), serta komitmen nyata untuk membongkar berbagai hambatan menuju inklusivitas sejati adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Landasan Teologis KETEKUNAN (Yakobus 1:2-4)

Pilihan tema “Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang…” (Yakobus 1:4a) untuk memandu GKSBS periode 2025-2030 bersumber dari permenungan teologis yang mendalam atas panggilan gereja di tengah konteksnya. Sebagaimana telah disinggung dalam Surat Edaran MPS, pemilihan fokus pada Surat Yakobus ini juga selaras dengan semangat yang dihayati dalam perumusan Pokok-Pokok Ajaran Gereja (PPAG) GKSBS, yang menekankan iman yang bertindak dan teruji dalam kehidupan nyata. Yakobus 1:2-4 secara khusus memberikan fondasi teologis yang kaya mengenai bagaimana Allah membentuk karakter jemaat-Nya melalui tantangan menuju kedewasaan sejati.

Makna Teologis Ketekunan dalam Konteks GKSBS

Makna teologis sentral dalam perikop Yakobus 1:2-4 adalah ketekunan (Yunani: hypomonē), yang dihasilkan dari iman yang teruji (ay. 3). Ketekunan ini melampaui kesabaran pasif; ia adalah daya tahan iman yang aktif dan gigih di tengah berbagai peirasmoi (ujian atau pencobaan)27. Bagi GKSBS, pemaknaan hypomonē ini relevan secara historis dan kontekstual. Secara historis, ketekunan komunal ini telah teruji dalam perjalanan GKSBS, mulai dari perjuangan para perintis hingga resiliensi jemaat saat menghadapi pandemi COVID-19. Secara kontekstual, tantangan-tantangan masa kini yang meliputi krisis ekologi, dinamika sosial-politik, kerawanan bencana, disrupsi teknologi, pergumulan finansial internal merupakan peirasmoi kontemporer yang terus menuntut GKSBS mempraktikkan hypomonē, bukan hanya sebagai individu, tetapi terutama sebagai Tubuh Kristus yang memiliki ketahanan institusional berlandaskan iman. Penekanan pada ketekunan sebagai buah iman yang teruji ini juga bergema dengan fokus teologi Yakobus pada iman yang bekerja (lih. Yakobus 2:14-26), sebuah perspektif yang diindikasikan turut mewarnai penghayatan iman GKSBS sebagaimana dirumuskan dalam PPAG.

Makna Buah Yang Matang: Keutuhan, Kemandirian, Keterbukaan GKSBS

Yakobus 1:4 kemudian menjelaskan bahwa ketekunan (hypomonē) bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah proses yang harus dibiarkan bekerja hingga tuntas (ergon teleion) untuk menghasilkan “buah yang matang”. Buah matang ini adalah kondisi kedewasaan spiritual dan integritas karakter: “…supaya kamu menjadi sempurna dan utuh (teleioi kai holoklēroi) dan tak kekurangan suatu apa pun.” Dalam kerangka PPHP GKSBS 2025-2030, “buah matang” sebagai visi kedewasaan GKSBS ini secara spesifik diartikulasikan dalam tiga kata yang saling terkait: Keutuhan, Kemandirian, dan Keterbukaan. Kemandirian melanjutkan visi periode sebelumnya, sebagai kedewasaan GKSBS dalam bertanggung jawab atas kehidupan dan pelayanannya secara menyeluruh, termasuk penguatan finansial dan pengelolaan sumber daya. Keterbukaan juga berakar pada visi sebelumnya, menekankan kesediaan GKSBS untuk terus berdialog, bermitra, merangkul keragaman, dan relevan dengan konteksnya. Sementara itu, “keutuhan” (teleios kai holoklēros), yang bermakna matang, lengkap, dan tanpa cacat dalam semua bagiannya, menuntut pendalaman teologis lebih lanjut, khususnya dalam kaitannya dengan panggilan gereja untuk menjadi persekutuan yang inklusif bagi semua.

Secara teologis, keutuhan GKSBS sebagai persekutuan iman tidak dapat tercapai tanpa mewujudkan inklusivitas berdasarkan prinsip-prinsip yang ditekankan dalam Surat Yakobus itu sendiri. Yakobus secara konsisten menekankan bahwa iman yang sejati tidak dapat dipisahkan dari perbuatan nyata (Yakobus 2:14-17). Salah satu ujian paling keras terhadap keaslian iman jemaat yang disorotinya adalah dalam praktik relasi antar anggota persekutuan, khususnya dalam hal memandang muka atau partialitas (prosōpolēmpsia, Yakobus 2:1, 9). Yakobus dengan tegas mengecam tindakan membeda-bedakan orang berdasarkan penampilan luar atau status sosial-ekonomi di dalam pertemuan jemaat (Yakobus 2:2-4). Para penafsir umumnya sepakat mengenai kerasnya teguran Yakobus ini, yang menyatakan bahwa menunjukkan favoritisme adalah dosa (Yakobus 2:9) dan merupakan pelanggaran terhadap “hukum utama” (nomon basilikon) yaitu kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Yakobus 2:8).28 Pelanggaran terhadap satu aspek hukum kasih ini menjadikan seseorang bersalah terhadap seluruh hukum (Yakobus 2:10-11), menunjukkan betapa seriusnya isudiskriminasi ini bagi integritas iman jemaat. Jika sebuah persekutuan mempraktikkan partialitas, ia secara fundamental tidak lagi “utuh” (holoklēros) dalam pandangan Yakobus; ia mengalami keretakan internal yang mengkhianati inti iman yang dianutnya. Oleh karena itu, mencapai kondisi “sempurna dan utuh, tak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:4) secara logis menuntut penghapusan segala bentuk partialitas di dalam tubuh jemaat. Prinsip teologis di baliknya terdapat larangan keras terhadap diskriminasi dan penegakan hukum kasih yang universal akan memberikan landasan kuat dari dalam surat Yakobus sendiri untuk memperjuangkan persekutuan yang inklusif, yang menyambut dan memperlakukan semua orang dengan hormat dan kasih yang sama. Lebih lanjut, Yakobus mendefinisikan “ibadah yang murni dan yang tak bercacat” sebagai tindakan praktis mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka (Yakobus 1:27), sebuah ayat yang seringkali dilihat sebagai inti ajaran praktis Yakobus. Ini menunjukkan bahwa kepedulian aktif dan tanpa pamrih terhadap mereka yang rentan dan terpinggirkan adalah bagian esensial dari iman yang hidup dan utuh. Demikian pula, penekanannya pada belas kasihan (eleos) yang akan menang atas penghakiman (Yakobus 2:13) serta gambaran hikmat dari atas yang tidak memihak (imparsial) (adiakritos, Yakobus 3:17)29 semakin memperkuat gambaran bahwa keutuhan (holoklēros) yang menjadi tujuan dari ketekunan adalah sebuahkondisi di mana persekutuan GKSBS mempraktikkan iman yang tidak memandang muka, penuh belas kasihan, dan aktif dalam perbuatan kasih nyata kepada semua anggotanya. Mewujudkan persekutuan inklusif yang menyambut dan memberdayakan semua adalah bagian tak terpisahkan dari mencapai buah yang matang tersebut.

Secara ringkas, perjalanan teologis yang digambarkan dalam Yakobus 1:2-4 dari iman yang diuji (peirasmos), menghasilkan ketekunan aktif (hypomonē), hingga mencapai buah matang berupa kedewasaan (teleiotes) akan memberikan fondasi dan arah yang kokoh bagi GKSBS. Buah matang tersebut diterjemahkan secara kontekstual sebagai visi GKSBS yang mewujudkan Keutuhan (termanifestasi dalam inklusivitas radikal yang menyambut dan memberdayakan semua, berdasar pada prinsip non-partialitas Yakobus), Kemandirian (sebagai tanda kedewasaan institusional dan finansial), dan Keterbukaan (dalam relasinya dengan sesama dan dunia). Inilah horison teologis yang menopang dan mengarahkan setiap langkah GKSBS dalam bertekun menjalani panggilannya pada periode 2025-2030.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *