Ibu bapak dan saudaraku sekalian, para kekasih Allah,
Beberapa di antara kita mungkin pernah menyanyikan perikop ini dengan nyanyian yang berjudul “Seperti Rusa Rindu SungaiMu”. Mari yang hafal kita nyanyi bersama…. “Seperti rusa rindu sungaimu, jiwaku rindu Engkau… Kaulah Tuhan hasrat hatiku, Kurindu menyembahMu. Kaulah kekuatan dan perisaiku Kepadamu aku berserah. Kaulah Tuhan hasrat hatiku kurindu menyembahMu ..”.
Nyanyian ini dengan sangat baik digubah menggambarkan kerinduan Pemazmur kepada Allah, secara khusus tempat kediaman Allah, seperti Rusa haus merindukan sungai. Tetapi dalam nyanyian ini ada situasi atau suasana hati dari Pemazmur yang agak terabaikan, yaitu pada ayat 3-4. Saat Pemazmur mengungkapkan air matanya menjadi makanannya sepanjang hari… rasanya ingin menunjukkan betapa kesedihan atau beban atau tekanan hidup sedang dirasakan oleh Pemazmur. Bukan minum air dari Tuhan, tetapi malah minum air matanya sendiri.
Pemazmur mengingat dengan hati yang bersukacita saat-saat ketika ia menemukan kesegaran rohani di tempat suci di Yerusalem, namun ia belum dapat kembali ke sana. Mungkin inilah yang menjadi beban, atau tekanan tersendiri bagi Pemazmur, yaitu saat kerinduan, keinginan, harapan dalam hidupnya belum tercapai.
Bagaimana caranya Pemazmur menyembuhkan kerinduannya ini? Pemazmur meyakinkan diri bahwa dia akan kembali memuji Tuhan di Yerusalem, di BaitNya yang Kudus. Dia terus dan terus berharap kepada Tuhan sampai waktu yang dinantikan itu tiba. Mengapa? Rupanya Pemazmur berada jauh dari Yerusalem yang adalah pusat tempat suci.
Dalam pemaknaan yang berbeda, kata jauh sebagai jarak antara pemazmur dengan Bait Allah ini diartikan sebagai jauh dari Tuhan dalam arti melanggar perintah Tuhan.
Ibu bapak dan saudaraku, para kekasih Allah,
Kalau bagian awal perikop menceriterakan kerinduan Pemazmur, di bagian kedua ini (ay. 6-11) Pemazmur memusatkan perhatian pada musuh-musuhnya daripada kepada Tuhan. Namun, ia kembali menunjukkan ekspresi percaya diri yang sama saat ia mengakhiri bagian awal/ pertama. Pemazmur memandang masalahnya seperti ombak yang mengalir menimpa dirinya, seolah-olah dia sedang di bawah gulungan ombak yang mengerikan. Dia membandingkan kebisingan dan kedasyatan ombak dengan kesusahannya, yang dia wujudkan sebagai seruan satu sama lain untuk datang dan mengalahkannya.
Meski begitu, dia yakin Tuhan akan tetap setia kepadanya. Pada siang hari Tuhan mencurahkan kasih-Nya kepada pemazmur, dan pada malam hari ia membalasnya dengan memuji Tuhan. Kasih Allah yang tiada henti merupakan penghiburan bagi jiwa yang terus-menerus dilanda pertanyaan dan duka.
Dalam doanya, dia juga menanyakan kepada Tuhan alasan penderitaan fisik dan emosional yang terus dia alami. Ejekan yang berulang-ulang dari musuh-musuhnya diharapkan dapat menggerakkan Tuhan untuk menyelamatkannya. Dan sekali lagi pemazmur menyemangati dirinya sendiri dengan pengulangan meyakinkan diri untuk berharap pada Tuhan sumber kekuatan.
Ibu bapak dan saudaraku, para kekasih Allah,
Pernahkah kita mengalami situasi seperti yang dialami oleh Pemazmur? Dalam konteks dan tantangan hidup yang berbeda-beda, saya yakin bahwa kita semua pernah mengalaminya. Kapan itu? Ketika kerohanian kita terasa kering, saat doa-doa terpanjatkan terasa tidak sampai ke Telinga Tuhan,…. pada saat itu sebenarnya kita berada dalam situasi “jarak” yang jauh seperti yang dialami oleh Pemazmur. Nah, pada saat itu terjadi, hendaknya kita yang beriman mengingatkan diri kita sendiri bahwa Tuhan mampu mencukupi segala kebutuhan kita. Ingatan ini akan mendorong kita untuk terus mempercayai-Nya saat kita melewati masa-masa sulit karena semua itu bersifat sementara ketika kita terus mengandalkan Tuhan.
Ibu bapak dan saudaraku sekalian,
Tidak bisa dipungkiri memang,… saat hidup kita sarat dengan pergumulan, Saat hati sarat dengan pertanyaan tentang pembelaan Tuhan dalam hidup kita, kita merasakan begitu rapuh dan jauh dari Tuhan. Pada akhirnya ini menjadi sesuatu yang tidak mudah bagi kita untuk menjadi penyemangat dalam diri bukan? Bukankah lebih mudah kita mencari kesalahan dan mulai mengutuk diri sendiri, orang lain, atau bahkan Tuhan? Situasi ini melelahkan dan tidak jarang membawa kita berada di ambang keputusasaan.
Nyanyian rindu dari Pemazmur menjadi kekuatan kita untuk tetap berharap kepada Tuhan. Menyanyikan nyanyian kerinduan tentang nikmatnya berada dan tetap dekat denganNya menjadi penyembuh dalam diri. Bukan lari dan berputus-asa, tetapi setia mempertaruhkan kehidupan ini hanya kepada Allah.
Dengan proses itu kita mampu berdamai dengan segala pergumulan hidup kita. Saat kita begitu dekat erat dengan Tuhan, saat kita terasa jauh dariNya, kita mempu melaluinya menjadi bagian dari proses hidup beriman kita. Dengan begitu kita tidak hanya mampu menjadi penyembuh dalam diri, tetapi juga menjadi penyembuh bagi sesama kita yang mengalami hal sama.
Ibu bapak dan saudaraku, para kekasih Allah,
Percaya dan terus berharap kepada Tuhan, akan kemahakuasaan Allah menjadikan kita menjadi pribadi yang beriman dewasa. Saat jauh maupun saat dekat dengan Allah, kita mampu menyanyikan nyanyian rindu seperti Pemazmur.
Kita tahu kini. Kerinduan itu jarak yang kalau kita dapat melaluinya akan menjadi kekuatan iman yang luar biasa. Seperti alm. Didi Kempot dalam lagunya “Sewu Kuto” ia menemukan dirinya dalam kerinduan itu harus berjalan dari kota ke kota. Hal ini menjadi bagian dari caranya menyembuhkan diri dari kerinduan yang menekan.
Ibu bapak dan saudaraku sekalian,
Proses dan tindakan iman seperti itulah yang menjadikan kita menjadi sang penyembuh jiwa kehausan. Amin.
Nas Pembimbing : Mazmur 22:19-24
Berita Anugerah : Galatia 3:23-29
Nas Persembahan : Roma 12:1
Nyanyian :
- Nyanyian Pembukaan : PKJ 11:1-3
- Nyanyian Pujian : PKJ 248:1-3
- Nyanyian Peneguhan : PKJ 250:1-3
- Nyanyian Responsoria : PKJ 239:1-3
- Nyanyian Persembahan : PKJ 149:1-dsc
- Nyanyian Penutup : PKJ 183:1-2
Leave a Reply