Syalom, saudara-saudari yang terkasih!
Merdeka! Sebuah kata yang menarik, terutama bagi bangsa yang pernah berjuang untuk meraihnya. Namun, pernahkah kita merenungkan, apa sebenarnya makna ‘merdeka’ itu? Apakah sekadar bebas dari penjajahan fisik, atau ada makna yang lebih dalam lagi?
Bayangkan dua orang yang sama-sama berada di sebuah ruangan. Yang satu terikat tangan dan kakinya, jelas ia tidak bebas. Yang lain, tangan dan kakinya tidak terikat, ia bisa bergerak ke sana kemari. Tapi, jika ia memilih untuk hanya duduk diam di sudut ruangan, apakah ia benar-benar bebas? Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali terjebak dalam sangkar kenyamanan, rutinitas, atau bahkan ketakutan. Kita mungkin merasa ‘bebas’ secara fisik, namun terbelenggu oleh rasa takut, kebencian, atau keserakahan.
Hari ini, kita akan menyelami konsep kebebasan dari sudut pandang iman Kristen. Kita akan belajar dari surat Paulus kepada jemaat di Galatia, yang mengajak kita untuk memahami bahwa kebebasan sejati bukanlah sekadar tidak terbelenggu, melainkan sebuah panggilan. Dalam teologi Kristen, kebebasan tidak hanya dilihat dari aspek fisik atau eksternal, tetapi juga dari aspek internal atau spiritual. Kita bisa saja ‘bebas’ secara fisik, namun terbelenggu oleh rasa takut, kebencian, atau keserakahan. Sebaliknya, kita bisa saja berada dalam situasi yang membatasi secara fisik, namun tetap memiliki kebebasan batin untuk memilih kasih, pengampunan, dan pengharapan.
Paulus mengingatkan jemaat di Galatia bahwa mereka telah dimerdekakan oleh Kristus dari belenggu dosa. Namun, ia juga memberikan peringatan tegas agar mereka tidak menyalahgunakan kebebasan ini untuk memuaskan keinginan daging semata. Jangan Jadi Budak Lagi! Kata Paulus. Dalam teologi Paulus, kebebasan dalam Kristus bukanlah sekadar kebebasan dari hukum Taurat, tetapi juga kebebasan dari kuasa dosa yang memperbudak manusia. Kebebasan ini bukanlah sebuah lisensi untuk hidup semaunya, melainkan sebuah panggilan untuk hidup dalam Roh Kudus, yang menghasilkan buah-buah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:22-23).
Paulus mengingatkan kita bahwa perbudakan tidak hanya berbentuk fisik. Kita bisa saja terbelenggu oleh berbagai macam ‘sangkar’ modern. Misalnya, kita bisa menjadi budak konsumerisme, terjebak dalam lingkaran setan membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan, hanya untuk memenuhi keinginan sesaat atau mengikuti tren. Dalam psikologi ada istilah FOPO. FOPO adalah singkatan dari Fear of Other People’s Opinions, atau ketakutan terhadap pendapat orang lain. Ini adalah kondisi di mana seseorang merasa cemas atau takut secara berlebihan tentang apa yang orang lain pikirkan atau katakan tentang mereka. Kita juga bisa menjadi budak hedonisme, mengejar kesenangan duniawi secara berlebihan, mengabaikan nilai-nilai spiritual dan moral. Atau, kita bisa terkurung dalam sangkar ketakutan dan kecemasan, hidup dalam bayang-bayang kegagalan atau penolakan, sehingga membatasi diri untuk melangkah maju. Bahkan, rutinitas yang monoton dan tanpa makna juga bisa menjadi sangkar yang membelenggu kita, membuat kita kehilangan semangat hidup dan kreativitas.
Paulus mengajak kita untuk keluar dari segala bentuk perbudakan ini dan menemukan kebebasan sejati dalam Kristus. Kebebasan ini bukan berarti kita bebas melakukan apa saja, melainkan kita dipanggil untuk menggunakan kebebasan kita untuk melayani dan mengasihi sesama.
Paulus memberikan perintah yang sederhana namun mendalam: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Kasih adalah esensi dari ajaran Kristen, lem yang mempersatukan dalam ikatan persaudaraan yang erat. Dalam kajian sosiologi, ini berkaitan dengan konsep ‘solidaritas sosial’ atau ‘kohesi sosial’. Kasih menciptakan rasa kebersamaan, kepedulian, dan tanggung jawab satu sama lain, yang sangat penting dalam membangun komunitas yang kuat dan harmonis.
Namun, Paulus secara radikal memperluas konsep kasih ini melampaui batas-batas agama, suku, bahkan status sosial. Frasa sesamamu manusia mengindikasikan bahwa kasih Kristen harus bersifat universal, menjangkau semua orang tanpa diskriminasi. Ini adalah tantangan sekaligus panggilan bagi kita untuk keluar dari zona nyaman dan membangun jembatan kasih dengan mereka yang berbeda dari kita. Kasih dalam teologi Paulus bukanlah sekadar perasaan sentimental, tetapi sebuah tindakan nyata yang didorong oleh kasih Allah yang telah dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus (Roma 5:5). Kasih yang diajarkan Yesus bukanlah kasih yang posesif atau menuntut balasan. Kasih ini adalah kasih agape, kasih yang memberi tanpa pamrih, kasih yang rela berkorban, kasih yang melihat potensi baik dalam diri setiap orang. Kasih seperti ini membebaskan kita dari egoisme dan kebencian, serta memampukan kita untuk membangun hubungan yang sehat dan bermakna dengan sesama.
Paulus juga memberikan peringatan agar kita tidak saling menggigit dan saling menelan. Ia menggambarkan betapa destruktifnya (merusaknya) konflik dan perpecahan dalam komunitas. Paulus mengajak kita untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan, di mana semua pihak bisa bertumbuh bersama. Ini menunjukkan bahwa Paulus tidak hanya prihatin tentang masalah teologis, tetapi juga dampak sosial dari perpecahan. Konflik dan perpecahan dalam komunitas dapat merusak kesaksian gereja dan menghambat karya keselamatan Allah di dunia.
Kita hidup di zaman yang katanya bebas, tapi banyak orang malah terperangkap. Kebebasan sejati itu bukan tentang melakukan apa aja kita mau, tapi tentang memilih untuk melakukan apa yang baik dan benar, sesuai dengan nilai-nilai kasih Kristus. Ini adalah tantangan, terutama di era media sosial di mana kita dibombardir dengan berbagai informasi dan godaan. Kita harus mampu menyaring informasi, berpikir kritis, dan tidak mudah terombang-ambing oleh opini publik. Kebebasan sejati menuntut kita untuk bersikap bijaksana dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan kita.
Kita semua memiliki peran dalam membangun komunitas yang lebih baik. Mulai dari hal-hal sederhana seperti menyapa tetangga, membantu teman yang sedang kesulitan, hingga terlibat dalam pelayanan di gereja dan masyarakat. Di tengah masyarakat yang semakin terpolarisasi (terkotak-kotak), kita dipanggil untuk menjadi agen perubahan, membangun jembatan kasih dan kepedulian, serta menciptakan ruang di mana setiap orang merasa diterima dan dihargai. Kristen menjadi komunitas peduli yang mencerminkan kasih Kristus, yang tidak membeda-bedakan.
Dalam konteks Indonesia yang multikultural, pesan ini sangat relevan. Kita harus berani melawan segala bentuk diskriminasi dan intoleransi, serta membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis. Kita dipanggil untuk merayakan keberagaman dan membangun persatuan berdasarkan kasih Kristus yang melampaui segala perbedaan. Kebebasan dalam Kristus seharusnya mendorong kita untuk menghargai dan merangkul perbedaan. Jangan biarkan perbedaan mengalahkan kita.
Saudara-saudari, marilah kita tunjukkan kepada dunia bahwa orang Kristen adalah orang-orang yang merdeka, yang bebas untuk menyebarkan kasih Kristus ke mana-mana. Tidak peduli apakah kita perantau atau bukan, kita semua dapat menjadi berkat bagi sesama dan lingkungan sekitar kita. Mari kita hidup dalam kebebasan yang sejati, yaitu kebebasan untuk mengasihi dan melayani. Amin.
Nas Pembimbing : Yohanes 8 : 34-36
Berita Anugerah : 1 Yohanes 4:19
Nas Persembahan : Galatia 5:14
Nyanyian :
- Nyanyian Pembukaan : KJ 454
- Nyanyian Pujian : KJ 58
- Nyanyian Peneguhan : PKJ 121
- Nyanyian Responsoria : KJ 381
- Nyanyian Persembahan : KJ 393
- Nyanyian Penutup : PKJ 183
Leave a Reply