Nyemplung Dalam Kemiskinan dan Kerendahan

Khotbah Minggu, 2 November 2025

Warna Liturgi :Hijau
MingguBiasaXXXI
Perikop: Lukas 6: 20-31

Ibu bapak dan saudaraku sekalian, para kekasih Allah,

Saya kira sebagian besar di antara kita pernah mendengar kata Ahimsa. Adakah yang bisa menjelaskan apa itu Ahimsa? (beri waktu beberapa detik kalau ada yang bersuara memberi jawab)…. ya… kurang lebih begitu, Ahimsa adalah sebuah ajaran hidup bersama yang menekankan anti kekerasan.

Dalam Wikipedia dijelaskan bahwa ahimsa adalah sebuah istilah Sanskerta yang berarti “antikekerasan”. Ahimsa merupakan bagian penting dari agama Hinduisme, Jainisme, dan Buddhisme. Konsep ini pertama kali digunakan dalam sebuah kitab Hindu yang disebut Upanishad, yang salah satu bagiannya berasal dari tahun 800 SM. Konsep ini kemudian dijelaskan lebih lanjut di Bhagavad Gita, Puranas dan kemudian teks-teks Buddhis.

Dalam sudut pandang teologi agama-agama atau hubungan antar agama, ajaran anti kekerasan Ahimsa ini disejajarkan dengan apa yang disampaikan Yesus dalam kotbah di Bukit. Dalam kotbah di Bukit, di mana hal Kerajaan Allah dijelaskan secara paradoks (berlawanan dengan tegas) justru ingin menekankan kehidupan yang mau dibangun dengan tanpa kekerasan (no violence). Hanya dalam pandangan Ahimsa, ajaran ini berbunyi relatif Pasif: “apa yang tidak kamu kehendaki orang perbuat padamu, jangan lakukan itu”. Sementara dalam ajaran Yesus berbunyi lebih aktif (ay. 31): “supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka”.

Ibu bapak dan saudaraku, para kekasih Allah,

Hari ini kita diajak untuk memahami ucapan bahagia yang paradoks itu untuk memahami  bagaimana Kerajaan Allah harus berlaku dalam hidup bersama. Kalau diperhatikan, pasal 6 ayat 20 sampai dengan akhir pasal ini merupakan pengajaran yang sama dalam kotbah di Bukit dalam Injil Matius pasal 5 dan pasal 7. Dua pasal diceriterakan dalam setengah perikop, sehingga dapat dikatakan pengajaran yang ada dalam Injil Lukas 6 ini merupakan ringkasan dari kotbah di Bukit yang bagian-bagiannya memiliki waktu dan tempat yang berbeda.  Mari kita perhatikan, bagian-bagian yang ada dalam Injil Matius itu dijadikan satu dalam pengajaran Yesus di Injil Lukas pasal 6:20-31 ini. Beberapa hal tidak ada dalam Injil Lukas menunjukkan Lukas ingin menghilangkan hal-hal yang secara khusus pesannya untuk kelompok Yahudi.

Di masa kini, tentu tidak mudah kita memahami ucapan bahagia yang paradoks ini. Tapi mari kita perhatikan lebih dalam lagi. Kepada siapa hal ini diucapkan dalam Injil Lukas? Engkau miskin, engkau telah meninggalkan segala sesuatunya untuk mengikut aku; pertama-tama ini diucapkan kepada para murid yang telah mengambil pilihan meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus, dan kemudian kepada orang banyak yang juga memberi diri untuk mengikut Yesus. Apa yang mau disampaikan sebagai spirit bagi mereka? Engkau harus kerja keras sama seperti orang miskin, karena Engkau diberkati dalam kemiskinanmu itu.

Sekarang engkau lapar (ay. 21), engkau tidak dikenyangkan seperti orang lain. Tetapi ini hanya di dunia ini saja. Kamu mendapat perlakuan yang berat, tetapi berbahagialah kamu, karena kebahagiaan tidak diambil daripadamu tetapi justru ditambahkan..

Ibu bapak dan saudaraku, para kekasih Allah,

Kerajaan Allah seperti apa yang mau kita hadirkan kini dan di sini? Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan justru berdampak bahagia. Apa itu? Mari kita tilik bersama-sama. Di mana kemiskinan yang berdampak pada terpresentasikannya Kerajaan Allah. Di sinilah mulai muncul menghubungkan antara kemiskinan dengan Kerajaan Allah, antara kemiskinan dengan  Anti kekerasan.

Begini rasanya… Ibu bapak sebagai orang tua tentu berkuasa atas anak-anak. Saat kita memilih tidak menggunakan hak dan kekuasaan itu untuk memberlakukan segala tatanan hidup di rumah dengan otoriter, maka sebenarnya kita telah memilih untuk hidup dalam kemiskinan. Bahagianya adalah, no violence selalu berdampak damai sejahtera.

Ibu bapak sebagai para pemimpin gereja ataupun pemimpin di dunia kerja, tentu dapat memberlakukan kepemimpinan yang full power atau sesukanya memberlakukan peraturan bersama, tetapi kalau yang ibu bapak lakukan sebaliknya, sebenarnya kita telah nyemplung dalam kehidupan no violence…. dan pasti berdampak pada indahnya kerajaan Allah.

Menahan diri tidak marah ketika direndahkan atau mendapat perlakukuan tidak adil, dan memilih untuk memahami dan memaafkan, sebenarnya pada saat itu kita telah memilih jalan kemiskinan. Dan bahagianya adalah kita semakin kaya pengampunan dan pengertian. Inilah presentasi Kerajaan Allah.

Ibu bapak dan saudaraku, para kekasih Allah,

Berat…. ini tetap berat…. karena pada kenyataannya sikap anti kekerasan dalam pengertian nyemplung dalam kemiskinan itu relatif jauh dari kehidupan kita. Benarkah? Iya benar… bukankah kita mudah sekali membalas “kesakitan” yang ditimbulkan oleh orang lain? Dalam kelompok/ komunitas yang kita bangun bersama betapa rapuhnya oleh perpecahan karena masing-masing kita mudah tersakiti dan ingin membalas kesakitan itu.

Pada akhirnya hanya murid yang benar-benar membaptiskan dirinya pada kemiskinan dan hidup dalam kehidupan anti kekerasan serta menjadikan itu menjadi nilai hidup di dalam Kristus yang mampu mempresentasikan Kerajaan Allah. Pada akhirnya kita menemukan diri kita sekalian untuk mencemplungkan diri (baca=dibaptis ulang) dalam kemiskinan dan kerendahan. Kiranya ini menjadi berkat bagi hidup bersama. Amin

Nas Pembimbing         : Mazmur 119:137-144
Berita Anugerah          : 2 Tesalonika 1:11-12
Nas Persembahan       : 2 Korintus 9:7-8

Nyanyian :

  1. Nyanyian Pembukaan : KJ 9:1-5
  2. Nyanyian Pujian : KJ 467:1-3
  3. Nyanyian Peneguhan : KJ 463:1-2
  4. Nyanyian Responsoria : KJ 460:1-3
  5. Nyanyian Persembahan : KJ 450:1-dsc
  6. Nyanyian Penutup : KJ 412:1, 3

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *